Jenderal Choltitz Penyelamat Paris
Nasib Paris akan mengikuti sejumlah kota sarat sejarah-budaya yang hancur pada PD II. Namun, itu bergantung pada nurani Jenderal Choltitz.
SUATU hari di tahun 1959, Pierre Léjévac tak menyangka akan kedatangan tamu istimewa. Kepala pelayan bar di Hotel Meurice, Paris itu mulanya sempat keheranan pada sang tamu, pria paruh baya berpostur pendek dan gempal yang celingukan memperhatikan suasana bar. Pierre pun menyapa tamunya dengan ramah dan menawarkan bantuan.
Alih-alih menjawab dengan permintaan, sang tamu malah menceritakan kenangannya bahwa ia pernah tinggal di hotel itu selama beberapa pekan. Dia lalu meminta izin Pierre untuk melihat kamar lamanya di lantai empat.
Pierre yang makin memperhatikan tamunya yang dilihatnya familiar, segera insyaf. Tamu berjas biru gelap rapi itu tak lain adalah Dietrich von Choltitz, mantan jenderal Jerman yang menjabat sebagai Gubernur Militer Prancis dari 7 Agustus-25 Agustus 1944. Maka begitu yakin tamunya merupakan sosok yang dikenal sebagai “penyelamat Paris”, Pierre segera mengontak manajer hotel.
“Pak, Anda takkan mempercayai hal ini tapi Dietrich von Choltitz ada di sini dan dia ingin melihat kamarnya,” kata Pierre kepada manajernya via telefon, dikutip Donald dan Petie Kladstrup dalam Wine and War: The French, the Nazis, and the Battle for France’s Greatest Treasure.
Sang manajer buru-buru mendatangi bar dan menyambut tamu lamanya itu. Dia langsung mengabulkan permintaan Choltitz dan mengantar sang jenderal ke kamar lamanya yang kebetulan sedang kosong.
Di kamar itu, Choltitz langsung melempar pikirannya ke masa lalu dan selama 15 menit tak banyak bicara. Dia melangkah ke balkon sebagaimana kebiasaannya dulu. “Ah ya, (pemandangan) ini yang paling saya ingat,” katanya saat berdiri di balkon dengan view Taman Tuileries di seberang hotel. Setelah 15 menit bernostalgia, Choltitz kembali ke bar diantar manajer.
“Kita harus mengenang momen kembalinya Anda, mon général,” ujar sang manajer sambil menawarkan membuka botol sampanye.
“Saya sudah melakukan hal yang saya inginkan dan sekarang saya harus pergi lagi,” Choltitz menolak secara halus. Maklum, hari itu Choltitz juga punya agenda bertemu kawan lamanya, Pierre Taittinger, walikota Paris di masa Perang Dunia II.
Hari itu jadi kali terakhir Choltitz menginjakkan kaki di Hotel Meurice. Tujuh tahun berselang, 5 November 1966, atau empat hari menjelang ulangtahunnya yang ke-72, ia mengembuskan nafas terakhir di Baden-Baden.
Baca juga: Erwin Rommel Si Rubah Gurun
Aristokrat Prusia Penentu Nasib Paris
Lahir pada 9 November 1894, Choltitz berasal dari keluarga bangsawan Moravia-Silesia. Sejak kecil ia hidup sebagai aristokrat di kastil ayahnya yang seorang perwira di Tentara Kerajaan Prusia, Hans von Choltitz, di Graflich Wiese (kini Łąka Prudnicka, Polandia).
Ketika tumbuh remaja, Choltitz dimasukkan ke sekolah kadet militer di Dresden dan lulus beberapa bulan sebelum Perang Dunia I pecah. Dia ditempatkan di Resimen ke-8 Prinz Johann Georg. Pascaperang, Choltitz meneruskan karier militernya, antara lain terlibat dalam pendudukan Sudetenland pada 1938. Choltitz saat itu sudah menyandang pangkat oberstleutnant (letnan kolonel).
Memasuki masa Perang Dunia II, sepakterjang Choltitz merentang dari Invasi Polandia (1 September 1939), Pertempuran Rotterdam (10 Mei 1940), Operasi Barbarossa ke Uni Soviet (22 Juni 1941) sebagai komandan Resimen Linud ke-16 AD Jerman, Front Italia (Maret 1944) sebagai Deputi Panglima Korps Panser ke-76, hingga mengomandani Korps Infantri AD Jerman ke-85 di Normandia (Juni 1944). Seiring kian terdesaknya Jerman pasca-D Day (Invasi Sekutu ke Normandia), Choltitz mengemban tanggungjawab besar sebagai gubernur militer di kota Paris per 7 Agustus 1944.
Baca juga: Aliansi Amerika-Jerman di Pertempuran Kastil Itter
Penunjukan itu, diungkapkan David Schoenbrun dalam Soldiers of the Night: The Story of the French Resistance, dilakukan langsung oleh Hitler kala memanggil Choltitz ke Wolfsschanze, markas Hitler di Görlitz (kini Gierłoż, Polandia). Itu jadi momen kedua terakhir Choltitz bertemu führer. Hitler mempercayakan Choltitz untuk jadi panglima Paris yang akan jadi kota garis depan dan kota benteng.
“Choltitz ditunjuk sebagai befehlshaber, panglima benteng Paris yang diberi wewenang dan tanggungjawab langsung kepada Hitler. Dia diperintah untuk membasmi semua tindakan terorisme dan mempertahankan posisi dengan meledakkan setiap jembatan, pertempuran dari jalan ke jalan dan dari rumah ke rumah,” tulis Schoenbrun.
Penunjukan itu membuat Choltitz bimbang. “Dalam perjalanan pulang dengan keretaapi, Choltitz sadar bahwa dia telah ditunjuk oleh seorang tidak waras. Terlepas dari sifatnya yang loyal dan tradisi profesional sebagai perwira yang taat pada atasan, nurani dan keyakinan Choltitz mulai goyah pada misi barunya itu,” imbuhnya.
Tanggungjawab Choltitz kian berat karena hanya punya pasukan berjumlah relatif kecil, 20-25 ribu personil, yang kebanyakan bukan kombatan berpengalaman dari Divisi ke-48 dan Divisi ke-338 ditambah beberapa unit artileri dan tank. Sekitar 15 ribu di antaranya berbasis di pusat kota Paris dan sisanya di batas kota, di tepi Sungai Seine.
Baca juga: Dari Mława hingga Benteng Modlin
Terang saja Jenderal Choltitz pesimis. Pendapatnya kepada Kepala Staf Komando Barat Jenderal Günther Blumentritt bahwa mempertahankan Paris adalah kesia-siaan belaka justru menuai hardikan. Pada 13 Agustus, Choltitz menghadap sendiri ke Panglima OB West Marsekal Günther von Kluge di Saint-Germain-en-Laye. Choltitz meminta pasukan tambahan, namun berujung kandas.
“Dua hari kemudian Kluge mengadakan rapat militer untuk memaparkan perintah bumi hangus Paris dari Hitler. Rencana itu dipresentasikan Jenderal Blumentritt yang mengatakan strateginya sangat penting. Jika industri-industri di Paris tak dilumpuhkan, nantinya akan menjadi bumerang bagi Jerman dalam beberapa pekan. Termasuk sektor bahan bakar, listrik, dan sistem air minum,” ungkap Jean Edward Smith dalam The Liberaton of Paris: How Eisenhower, de Gaulle, and Von Choltitz Saved the City of Light.
Choltitz yang datang dalam rapat itu mengajukan keberatan. Dia lebih condong untuk mempertahankan Paris, bukan meratakannya dengan tanah. Rencana yang disampaikan Blumentritt menurutnya hanya bisa efektif jika pasukan Jerman sudah meninggalkan kota. Jika rencana tersebut dilakoni prematur, ibarat menyerahkan ribuan buruh ke tangan kelompok Resistance. Lagipula, kata Choltitz, “pasukan kita juga butuh air minum.”
Kluge dan Blumentritt bersikeras tetap menjalankan perintah Hitler (membumihanguskan Paris). Bumi hangus itu kemudian tak hanya menyasar sejumlah infrastruktur vital, namun juga menyasar sejumlah situs sejarah dan budaya seperti Louvre, Notre Dame, dan bahkan Menara Eiffel, serta sejumlah jembatan bersejarah.
Baca juga: Horor Warsawa dari Mata Lensa Pewarta
Sesuai keputusan rapat, Choltitz dengan berat hati memerintahkan pasukannya untuk memasang peledak di sejumlah tempat itu, termasuk 65 jembatan di atas Sungai Seine. “Tetapi jangan ledakkan apapun tanpa persetujuan pribadi saya!” Choltitz memerintahkan Kapten Werner Ebernach, komandan sebuah unit yang bertanggungjawab atas peledakan, dalam memoar yang dituliskannya bersama putranya Timo von Choltitz, Brennt Paris? Adolf Hitler (1951, terj. Is Paris Burning?).
“Adalah tanggungjawab saya untuk menjaga ketertiban dengan pasukan yang ada dan memfasilitasi penarikan mundur pasukan yang melewati kota. Perintah meledakkan semua jembatan sepenuhnya jadi tanggungjawab saya yang membuat situasinya makin sulit. Di balik pertimbangan militer, ada niat saya untuk melindungi populasi sipil dan kota mereka yang indah. Saya harus melakukan segalanya untuk mencegah kehancuran Paris,” kata Choltitz.
Namun, aktivitas kelompok-kelompok perlawanan bawah tanah makin meresahkannya. Terlebih setelah aksi mogok aparat Kepolisian Paris yang berujung kericuhan. Sejak 1943, Kepolisian Paris banyak disusupi kelompok bawah tanah pimpinan Henri Rol-Tanguy yang hanya manut pada Jenderal Charles de Gaulle, pemimpin pemerintah pelarian Prancis di Inggris.
Untuk itulah Choltitz menggelar pertemuan dengan Walikota Taittinger pada 17 Agustus 1944 di markasnya, Hotel Meurice. Walikota mulanya mempertanyakan maksud pasukan Choltitz menempatkan sejumlah peledak di berbagai lokasi. Choltitz sekadar menjelaskan itu langkah preventif untuk melindungi rombongan pasukan Jerman yang tengah mundur dari Normandia. Choltitz juga mengemukakan soal kekacauan dalam ruang-ruang publik. Ia meminta Taittinger yang punya otoritas untuk bisa meredam.
Taittinger hanya berjanji akan melakukan sebisanya lantaran kelompok-kelompok Resistance terdiri dari berbagai sel yang bergerak sendiri. Yang terbesar, pimpinan Rol-Tanguy, hanya patuh pada Jenderal de Gaulle.
Sebagai niat baik dalam negosiasi itu, Choltitz menjanjikan akan mencegah Gestapo (Polisi Rahasia Jerman Nazi) mengeksekusi para tahanan, di samping melepaskan lebih dari empat ribu tahanan serta mencegah warga Paris kelaparan dengan membagikan ransum dari persediaan pasukan Jerman. Timbal-baliknya, ia minta aparat Paris membantu mengatur 40 ribu personil nonmiliter Jerman menyeberangi perbatasan Prancis-Jerman.
Akan tetapi, pada 23 Agustus datang telegram dari Hitler yang berbunyi “Paris tidak boleh jatuh ke tangan Sekutu kecuali dalam kondisi reruntuhan.” Sementara, di sisi lain pikiran Choltitz dikacaukan oleh garis depan Sekutu yang sudah mencapai batas kota. Choltitz lantas menemui Konsul Jenderal Swedia di Paris Raoul Nordling.
“Choltitz mengatakan satu-satunya hal yang bisa mencegah penghancuran Paris adalah kedatangan Sekutu dengan sangat cepat. Choltitz mengatakan: ‘Anda harus sadar bahwa apa yang akan saya katakan kepada Anda bisa diartikan sebagai pengkhianatan, karena saya ingin minta bantuan Sekutu’,” sambung Smith.
Baca juga: Selusin Jenderal yang Disingkirkan Hitler (Bagian I)
Choltitz lalu memberi Raoul surat jalan agar bisa menembus area Sekutu agar bisa menyampaikan maksudnya untuk menyelamatkan Paris dari kehancuran. Itu artinya Choltitz menolak perintah Hitler; keluarganya di Baden-Baden turut terancam. Namun bila Sekutu yang mendahului merebut Paris, keluarganya bisa aman dari murka Hitler.
Negosiasi yang lantas dilanjutkan Rolf Nordling, adik sang konsul jenderal, karena Raoul terkena serangan jantung, berjalan lancar. Choltitz yang menepati janjinya untuk melepas semua peledak yang sudah dipasang, menyerahkan diri pada 25 Agustus 1944.
Atas izin Panglima Tertinggi Sekutu Jenderai Dwight Eisenhower, pasukan terdepan, Divisi Lapis Baja ke-2 Prancis pimpinan Jenderal Philippe Leclerc, menerima penyerahan Choltitz dan Garnisun Paris secara tertulis di Kantor Kepolisian Paris. Namun Choltitz meminta pengumuman gencatan senjata dan penyerahan itu tak disiarkan lewat radio karena akan segera sampai ke telinga Hitler.
“Oleh karenanya kendaraan-kendaraan militer Jerman dan Kepolisian Paris berkeliling kota dengan pengeras suara untuk mengumumkannya. Warga Paris pun dengan hangat menyambut gencatan senjata dan pembebasan kota yang diiringi pengibaran bendera Prancis di segenap penjuru kota,” tambah Smith.
Baca juga: Selusin Jenderal yang Disingkirkan Hitler (Bagian II–Habis)
Choltitz yang dijuluki “penyelamat Paris” kemudian ditahan dan diserahkan ke pihak Inggris, lalu diterbangkan ke kamp interniran Trent Park di utara London sebelum ke Kamp Clinton di Mississippi, Amerika Serikat. Choltitz, yang kemudian diduga terlibat dalam pembantaian Yahudi di Ukraina dan Prancis serta tindakan brutal dalam Pertempuran Sevastopol, dibebaskan pada 1947.
“Ayah saya tergerak dan mendengarkan hati kecilnya untuk melestarikan ibukota Prancis demi generasi mendatang. Mungkin keputusannya dipengaruhi Pertampuran Normandia sebelum menjabat di Paris. Keputusannya didukung Konsul Jenderal Swedia di Paris,” kata Timo von Choltitz, dikutip Karen Farrington dalam Victory in Europe: D-Day to the Fall of Berlin.
“Tetapi pemerintah Prancis sampai sekarang (2005) menolak menerima hal itu dan menyatakan Resistance yang membebaskan Paris dengan dua ribu senjata menghadapi tentara Jerman. Bagi pemerintah Prancis, ayah saya adalah babi Nazi namun setiap orang Prancis yang terdidik tahu apa yang dia lakukan buat mereka. Saya bangga pada memori ini,” lanjutnya.
Meski beberapa pejabat Prancis enggan mengakui julukan “Penyelamat Paris”, militer Prancis justru sebaliknya. Sejumlah perwira tinggi militer Prancis datang ke Baden-Baden guna menghadiri pemakaman Choltitz yang wafat pada 5 November 1966 akibat penyakit kronis pada paru-paru. Empat hari berselang mereka bahkan memberikan upacara penghormatan militer dalam pemakaman yang dihadiri para perwira Bundeswehr dan Kementerian Pertahanan Jerman Barat, Kolonel Wagner, Kolonel d’Omezon, dan Kolonel de Ravinel dari Markas Komando Militer Prancis di Baden-Baden.
“Hidup seorang prajurit luar biasa telah berakhir. Hari ini kita menundukkan kepala bersama keluarga yang berduka, termasuk Bundeswehr. Di liang ini terbujur seorang perwira yang menjalankan tugasnya di masa perang. Kami, prajurit di Bundeswehr, hanya bisa berterimakasih atas apa yang dilakukan Jenderal von Choltitz di Paris. Kami akan selalu mengenangnya sebagai prajurit yang berani dan humanis,” ujar Mayjen Kohler dalam pidatonya mewakili Bundeswehr, dikutip suratkabar Süddeutsche Zeitung, 11 November 1966.
Baca juga: Albert Speer Arsitek Kebanggaan Nazi
Tambahkan komentar
Belum ada komentar