Marsose Membungkam Rakyat Ende
Penyerbuan Marsose membuat pemimpin perlawanan rakyat Ende tewas dalam pertempuran. Seorang prajurit dianugerahi bintang.
Ende di Flores, Nusa Tenggara Timur, merupakan daerah bersejarah dalam perjuangan kemerdekaan. Ende dikenal sebagai tempat pengasingan Sukarno selama empat tahun (1934–1938). Jauh sebelum Sukarno dibuang ke sana, rakyat Ende di bawah pimpinan Mari Longa telah melakukan perlawanan terhadap Belanda. Mereka memberontak karena menolak penerapan pajak sebagaimana pemberontakan di daerah-daerah lain.
Mari Longa lahir sekitar tahun 1885 di desa Watunggere, Lio Utara. Ayahnya bernama Longa dan ibunya bernama Kemba Kore. Mari Longa bersama pasukan Ana Fua mengadakan perlawanan terhadap Belanda dari tahun 1893 sampai 1907 dalam lima kali peperangan yang disebut Perang Koloni I sampai V.
“Perang Koloni V pada 1907 Mari Longa akhirnya gugur dalam pertempuran di depan Benteng Watunggere,” tulis F. X. Sunaryo dalam Sejarah Kota Ende.
Baca juga: Ende dan Perenungan Bung Karno
Untuk menghadapi perlawanan rakyat Ende, pemerintah kolonial Belanda mengirimkan pasukan khusus yang dipimpin Kapten Hans Christoffel, veteran Perang Aceh yang terkenal kejam.
Kapten Christoffel dan pasukannya tiba di Ende pada 10 Agustus 1907. Selama dua minggu dia menghadapi perlawanan rakyat Ende: ke utara menyerang pasukan Rapo Odja dari Woloare dan rakyat Mosolaki Mari Longa dari Watugggere; ke timur menyerbu rakyat Ndori dan Lise; ke barat menggempur rakyat Watusipi. Rapo Odja ditahan di kampung Warowajo.
“Oleh karena dahsyatnya pasukan Christoffel yang terkenal dengan sebutan angin topan, musuh-musuh dapat dilumpuhkan hanya dalam waktu dua minggu,” tulis Sunaryo.
Baca juga: Aksi Brutal KNIL di Enrekang
Setelah selesai memadamkan perlawanan di Ende, Kapten Christoffel melanjutkan operasi militernya ke Flores bagian barat, yaitu daerah Ngada dan Manggarai. Di Ngada juga terjadi beberapa perlawanan terhadap Belanda. Di antaranya yang cukup terkenal dipimpin oleh Panglima Nipa Do yang keberaniannya tidak kalah dengan Baranuri, Mari Longa maupun Rapo Odja. Manggarai berhasil ditaklukkan oleh Belanda pada 10 Desember 1907.
Sementara Kapten Christoffel dengan pasukannya mengadakan operasi militer di daerah Flores bagian barat, ternyata di Ende terjadi serangan lagi. “Serangan berasal dari rakyat Woloare di bawah pimpinan Mosolaki Mari Longa,” tulis Sunaryo.
Baca juga: KNIL dari Eropa ke Bumiputera
Kehadiran pasukan Kapten Christoffel telah membantu pasukan Letnan Satu De Vries yang memimpin pasukan KNIL (Koninklijk Nederlandsche Indische Leger). Mereka tak dapat melupakan pertempuran di benteng Watunggere, daerah asal Mari Longa.
De Vries memimpin sekitar 50 orang serdadu bersenjata karaben (senapan pendek) untuk menyerang Watunggere pada 11 Desember 1907. Pasukannya dibagi tiga kesatuan di bawah pimpinan Sersan Van Rijen, seorang sersan Ambon, dan Kopral Katuuk. Pasukan ini dibantu orang hukuman (strapan) yang menyiapkan makanan dan mengangkut perbekalan militer.
Dalam kesatuan Sersan van Rijen terdapat pemuda berusia 25 tahun bernama Willem Constantinus Ferdinandus. Ketika berada di Ende, dia baru tiga tahun jadi serdadu pasukan khusus Marsose.
Baca juga: Marsose dari Eropa sampai Perang Aceh
De Vries dan pasukannya sudah bersiap sejak pukul 10 malam pada 11 Desember 1907, kemudian diam-diam mendekati benteng Watunggere. Mereka masuk dari sisi barat yang ternyata banyak musuh. Mereka bergerak pada pagi 12 Desember 1907.
“Marsose Ferdinandus naik pertama di benteng itu, di mana ada lagi terdapat musuh,” tulis majalah Trompet No. 72 Januari 1940.
Sersan Van Rijen mengikuti gerak maju Ferdinandus yang menewaskan tiga orang Ende dan sisanya lari. Dalam penyerbuan ini Mari Longa dan saudaranya terbunuh.
Ferdinandus pun jadi pahlawan dalam serangan itu. Dia dianugerahi bintang voor Moed en Trouw (keberanian dan kesetiaan).
Baca juga: Bintang untuk Sanin
Pemuda kelahiran Saparua, Maluku, 19 Februari 1883 itu masuk KNIL pada 1 Maret 1905. Semasa berdinas di KNIL, dia pernah bertugas di Sulawesi Selatan (1906) dan Aceh (1911–1917).
Ferdinandus paling sering dikirim ke daerah Nusa Tenggara Timur. Dia pernah bertugas di Flores, Timor, dan pulau lainnya. Penugasannya ke daerah-daerah berbahaya bagi pemerintah kolonial membuatnya punya banyak bintang selain bintang voor Moed en Trouw.
Namun, Ferdinandus tergolong lambat naik pangkat. Pada 20 Desember 1912, dia menjadi infanteri kelas satu yang biasa disebut spandrig (garis tiga). Dia baru dipromosikan menjadi kopral pada 30 Juni 1918 kemudian sersan kelas dua pada 24 Desember 1921.
Ketika Jenderal Van Heutsz meninggal pada 1927, Ferdinandus termasuk prajurit KNIL yang dikirim ke Negeri Belanda untuk menghadiri pemakaman resmi sang jenderal yang menaklukkan Aceh itu. Dia pensiun pada 17 Maret 1930 setelah 25 tahun berdinas. Dia menjalani masa pensiunnya di Yogyakarta.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar