Dari Eropa ke Bumiputera
Dibentuk setahun lebih tua dari Legiun Asing Prancis, pada akhirnya KNIL membuka diri untuk kaum pribumi.
PASCA penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1949, secara berangsur militer Belanda menarik diri dari bumi Indonesia. Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) sendiri pada 26 Juli 1950 dibubarkan lewat keputusan kerajaan Nomor K 309 tertanggal 20 Juli 1950 yang secara langsung ditandatangani oleh Ratu Juliana.
Dalam keputusan itu, para anggota KNIL (baik dari kalangan Eropa maupun bumiputera) ditawari tiga opsi: pensiun, khusus bagi prajurit Eropa dimutasi ke Tentara Kerajaan Belanda (KL) atau bergabung dengan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS).
Bisa dikatakan KNIL merupakan salah satu kesatuan militer modern yang paling tua usianya. Berdiri pada 10 Maret 1830, KNIL langsung dilibatkan dalam berbagai palagan di Nusantara. Kiprahnya yang mumpuni, membuat kesatuan ini menjadi perhatian dunia. Setahun kemudian, Prancis yang merupakan salah satu negara terkuat dalam bidang militer saat itu, baru mendirikan Legiun Asing yang legendaris tersebut.
“KNIL dibentuk dengan alasan untuk menjaga kepulauan yang luas dengan 20 uta penduduk bumiputera agar tetap patuh (pada) pemerintah Belanda,” ungkap catatan diplomat Prancis Dabry de Thiersant seperti dikutip Jean Rocher dan Iwan Santosa dalam KNIL: Perang Kolonial di Nusantara dalam Catatan Prancis.
Awal pendiriannya, KNIL banyak merekrut para “pengangguran” Eropa dari berbagai kelas dalam masyarakat. Mereka dijanjikan upah yang menggiurkan untuk bertugas di Hindia Belanda selama jangka waktu tertentu.
“Belanda saat itu butuh serdadu yang banyak untuk (ditempatkan) di Hindia Belanda. Mereka banyak merekrut dari Belgia, Swiss, Prancis dengan bayaran sampai 300 gulden. Orang Prancis sendiri banyak yang ikut daftar (KNIL). Tetapi mereka kecewa ketika tiba di Jawa karena gajinya tak sesuai yang dijanjikan,” kata Rocher yang juga mantan atase militer di Kedutaan Besar Prancis di Jakarta itu.
Rocher juga menyatakan bahwa beberapa dari mereka yang kecewa itu memilih desersi. Namun sebagian besar tetap bertahan lantaran jauh dan sulit untuk kembali pulang ke Eropa.
Seiring kebutuhan, KNIL kemudian menambah tenaga tempurnya dari kawasan Afrika dan Maluku. Tercatat dalam sejarah, mereka ikut terlibat dalam sejumlah peperangan di Sumatera, Jawa, Bali, Lombok dan Aceh. Bahkan dalam Perang Aceh (1873-1904), sekira 40.000 serdadu KNIL telah menjadi korban
Kekuarangan tenaga tempur, secara berangsur, KNIL membuka perekrutan dari golongan bumiputera, baik dari golongan ningrat hingga masyarakat kelas bawah. Alasannya, perekrutan serdadu asal Eropa dianggap lebih memakan biaya lebih.
RP Suyono dalam Peperangan Kerajaan di Nusantara menyebutkan: hingga tahun 1916 di tubuh KNIL sudah mulai dibanjiri kalangan bumiputera. Mereka terdiri dari 17.845 dari Jawa, 5.925 orang Manado, 3.519 orang Maluku, 1.792 orang Sunda, 1.066 orang Melayu (Sumatra), 151 orang Madura dan 36 orang Bugis. Para bumiputera tersebut dididik di Koninklijke Militaire Academie (KMA) Breda di Belanda, KMA Bandung, hingga Inlandsche Officieren School di Meester Cornelis (kini Jatinegara, Jakarta Timur).
Pada Maret 1942, militer Jepang merambah Nusantara. Masuknya mereka tidak hanya mengakhiri kolonialisme Hindia Belanda, tapi juga eksistensi KNIL. Kendati demikian, sesungguhnya KNIL tidak sepenuhnya bubar, tapi hanya terpaksa angkat kaki dari Nusantara. Sebagian yang tertangkap dijebloskan ke kamp interniran. Sementara sebagian kecil diketahui sempat kabur ke Australia. Pasca-Perang Dunia II, perekrutan KNIL kembali dilakukan sebagai kepanjangan tangan Belanda yang ingin kembali menguasai wilayah Nusantara.
Namun tidak bisa dinafikan, jika militer Republik Indonesia juga dibentuk dan diperkuat oleh para eks-KNIL (selain dari unsur Pembela Tanah Air bentukan Jepang). Tercatat sejumlah nama eks-KNIL yang turut membesarkan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Sebut saja nama-nama Abdul Haris Nasution, Alexander Evert Kawilarang, Didi Kartasasmita, Tahi Bonar Simatupang, Oerip Sumohardjo, Soerjadi Soerjadharma dan Halim Perdanakusuma.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar