Aksi Brutal KNIL di Enrekang
Kapten Andi Abubakar Lambogo tertawan militer Belanda dalam suatu pertempuran di Enrekang. Alih-alih diperlakukan secara baik, dia malah dipenggal dan kepalanya dipertontonkan kepada khalayak.
Hari-hari ini Ricky Lambogo merasa senang sekaligus getir. Terhadap keputusan Pengadilan Sipil Den Haag pada 30 September 2020 yang mewajibkan Pemerintah Kerajaan Belanda untuk minta maaf kepada ayahnya Malik Abubakar (78), dia merasa bersyukur.
"Sebagai manusia tentunya kami akan memaafkan," ungkap salah satu cucu tokoh pejuang Sulawesi Selatan, Kapten Andi Abubakar Lambogo itu.
Namun, pembayaran ganti rugi sebesar €874.80 (sekira Rp15.000.000) yang mengiringi permohonan maaf itu sungguh membuat Ricky merasa getir sekaligus bertanya-tanya. Pikirnya, bagaimana bisa kematian tragis sang kakek di tangan militer Belanda pada 1947 dihargai dengan uang sejumlah tersebut.
"Saya sempat berpikir, apakah ini dalam rangka menghina atau apa?" ujarnya.
Ricky memang layak geram. Dalam sejarah Perang Kemerdekaan Indonesia (1945-1949) di Sulawesi Selatan, Andi Abubakar Lambogo bukanlah nama sembarangan. Dalam suatu wawancara yang pernah saya lakukan pada 2013, tokoh pejuang kemerdekaan Sulawesi Selatan H. Maulwi Saelan menyebut kawan seperjuangannya tersebut sebagai seorang patriot.
"Kematiannya memang mengenaskan, tapi itulah salah satu risiko yang harus dihadapi seorang patriot. Saya rasa Kapten Abubakar sudah memperhitungkan semuanya," ujar eks pengawal Presiden Sukarno itu.
Baca juga: Kekerasan Seks Serdadu Belanda
Kematian Kapten Abubakar berawal dari adanya rencana Wakil Kepala Staf Divisi Hasanuddin Mayor M. Saleh Lahade dan Komandan Seksi IV Kapten Andi Odang untuk meresmikan Resimen III Divisi Hasanuddin di Palopo. Diputuskan kedua pemimpin itu akan dikawal oleh Batalyon I Resimen I yang dipimpin oleh Kapten Andi Abubakar Lambogo.
"Kapten Abubakar saat itu bertugas di Enrekang," ungkap Andi Sapada dalam Bunga Rampai Perjuangan & Pengorbanan Jilid IV yang disusun oleh Markas Besar LVRI.
Dalam perjalanan melalui jalur Masseurengpulu-Tana Toraja-Palopo, rombongan Lahade kerap bersirobok dengan grup-grup patroli pasukan KNIL. Tak jarang pertemuan itu menimbulkan bentrok yang sengit antar kedua pihak. Namun untunglah, pada akhirnya rombongan Lahade bisa sampai dengan selamat di Palopo.
Baca juga: Gereja Belanda Kutuk Tentara Belanda
Pada 12 Maret 1947, rombongan Lahade berjumpa dengan rombongan Andi Selle Mattola, pejuang Republik dari Suppa. Selle kemudian mengajak Lahade untuk menuju basisnya di Suppa. Menurut Jupri dalam "Abu Bakar Lambogo dalam Perjuangan Rakyat Enrekang, 1945-1947" tesis pascasarjana di Pendidikan Ilmu Sosial dan Politik Universitas Negeri Makassar (UNM), Lahade mengiyakan ajakan Selle. Namun karena tetiba sakit, Kapten Abubakar meminta izin untuk tidak ikut dan memilih bertahan sementara di Maiwa bersama pasukannya.
Kesaksian Nawa (salah seorang eks anak buah Kapten Abubakar yang sempat diwawancari Jupri pada 10 November 2018), rombongan Abubakar lantas bermalam di Salu Wajo. Tanpa disadari oleh mereka, satu unit pasukan KNIL sudah menguntit pergerakan Abubakar dan anak buahnya sejak dari Maiwa. Kamis subuh, 13 Maret 1947, saat Abubakar dan beberapa anak buahnya tengah mandi, secara mendadak pasukan KNIL melakukan serangan.
"Pasukan tidak sempat melakukan perlawanan dan terpencar kemana-mana," ungkap Nawa seperti dikutip Jupri dalam tesisnya.
Baca juga: Di Balik Kematian Wolter Mongisidi
Akibat serbuan mendadak itu, banyak anggota Batalyon I Resimen I gugur dan tertangkap. Setelah ditelanjangi, mereka kemudian digiring ke pos KNIL di Enrekang dan diikat di tiang listrik selama sehari semalam sambil disiksa secara brutal tiada henti.
Kapten Abubakar sendiri tertembak di paha dalam insiden itu. Dalam keadaan terluka dia kemudian dibawa ke markas besar KNIL di Enrekang bersama salah satu anak buahnya. Keesokan harinya, para prajurit Batalyon I yang ditahan di pos KNIL kemudian diangkut ke markas besar KNIL Enrekang. Para prajurit KNIL mengatakan bahwa mereka akan dipertemukan dengan komandannya di sana.
Alangkah geram dan sedihnya para prajurit Batalyon I ketika sampai di Enrekang, mereka hanya menemukan kepala Kapten Abubakar yang sudah terpenggal dan terpajang di atas sebilah bayonet pada sepucuk senjata api tepat di pintu gerbang Pasar Enrekang. Tidak cukup itu, mereka kemudian dipaksa satu persatu untuk mencium potongan kepala tersebut.
Baca juga: Masa Bersiap dan Ironi Belanda
Saelan sangat mafhum upaya itu dilakukan oleh militer Belanda untuk melemahkan perlawanan para pemuda. Namun, dia mengecam aksi KNIL tersebut sebagai aksi brutal yang tidak bisa dibenarkan secara kemanusiaan. Menurut Saelan, seharusnya pihak militer Belanda minimal memperlakukan seorang pemimpin pasukan musuh secara manusiawi, alih-alih mengobati luka-lukanya.
Apa yang menyebabkan pasukan KNIL di Enrekang bersikap begitu brutal?
Bisa jadi itu terkait dengan peristiwa yang terjadi beberapa bulan sebelumnya. Menurut Remy Limpach dalam Kekerasan Ekstrem Belanda di Indonesia, selama September 1946, para pejuang gerilya Sulawesi Selatan melakukan aksi pembersihan besar-besaran terhadap sekira 1.000 orang pribumi yang bekerja sama dengan pihak Belanda atau dianggap pro-Belanda.
Baca juga: Zaman Berdarah
"Pembunuhan itu, yang menunjukkan kemiripan dengan kasus Bersiap di Jawa, sampai betul-betul kelewatan, bahkan perempuan dan anak-anak yang diduga sebagai 'kolaborator' juga tidak selamat," ungkap Limpach.
Catatan-catatan intelijen Belanda juga mengungkap praktik-praktik brutal tersebut. Seorang perwira KNIL bernama G.J. Horsthuis menyebut cara pembunuhan dilakukan seperti menyembelih seekor kerbau: menekan korban di tanah dan memotong lehernya dengan badik.
Menurut Limpach, metode ekstrem dari kelompok-kelompok milisi itu membangkitkan kesan mendalam pada orang-orang Belanda bahwa mereka tengah berhadapan dengan teror berskala luas.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar