Kekerasan Seks Serdadu Belanda
Sejumlah saksi merekam pemerkosaan yang dilakukan serdadu Belanda terhadap perempuan Indonesia.
TIGA tahun lalu, media-media di Belanda memberitakan kemenangan gugatan Temiri atas pemerintah Kerajaan Belanda. Di pengadilan tinggi Den Haag, nenek berusia 86 tahun itu dapat membuktikan bahwa dirinya adalah salah satu korban pemerkosaan sejumlah prajurit KST (Korps Pasukan Khusus Angkatan Darat Belanda) di Peniwen, Malang pada 19 Februari 1949.
Seperti dilansir Dutchnews, atas kemenangan tersebut, Temiri berhak mendapatkan ganti rugi sebesar €7.500 (tahun 2016 sama dengan Rp114 juta), sesuai putusan yang dibacakan oleh Pengadilan Den Haag pada 27 Januari 2016. Namun, uang ganti rugi itu tidak akan bisa menebus penderitaan batin Temiri sepanjang hidupnya.
Sejatinya aksi brutal yang dilakukan serdadu Belanda tidak hanya terjadi di Peniwen. Beberapa kesaksian sempat terekam dalam pengalaman beberapa tentara Belanda dan Indonesia. Salah satunya diungkapkan oleh J.C. Princen, serdadu Belanda yang membelot ke TNI.
Baca juga: Gereja Belanda Kutuk Tentara Belanda
Sekira pertengahan tahun 1947, Princen bertugas di Bogor. Laiknya anak muda, saat bertugas di kota hujan itu, dia terlibat hubungan asmara dengan remaja perempuan bernama Asmuna, yang tinggal persis di belakang pasar dekat Kebun Raya Bogor. Suatu hari Asmuna datang mencari Princen ke markasnya yang terletak persis depan Istana Bogor (sekarang Hotel Salak). Alih-alih diantarkan menemui Princen, perempuan itu malah ditembak mati karena melawan saat dilecehkan oleh para petugas jaga.
“Ketika terdengar tembakan, aku langsung berlari ke depan sambil membawa sten. Betapa terkejut dan marahnya aku ketika melihat Asmuna terbaring di ruangan jaga dengan tubuh setengah telanjang dan dipenuhi lubang peluru,” kenang Princen.
Rupanya saat tiba di pos penjagaan, Asmuna dipaksa untuk melayani nafsu bejat tiga serdadu Belanda. Tentu saja gadis Bogor itu menolak dan berusaha lari. Karena panik, salah seorang serdadu lalu menembak mati Asmuna.
Baca juga: Seks Serdadu Belanda
Kasus Asmuna ini tidak pernah ditindaklanjuti oleh pihak militer Belanda. Alih-alih mendapat keadilan, Asmuna yang sudah meninggal justru dituduh sebagai mata-mata Republik yang akan menyelinap ke markas tentara Belanda dan terpaksa ditembak mati.
“Aku merasa muak dengan fitnah keji itu dan sejak itulah kebencianku terhadap perilaku negaraku yang tidak adil terhadap orang-orang Indonesia semakin menguat,” ujar Princen.
Aksi kekerasan seks juga pernah disaksikan secara langsung oleh Mayor Soegih Arto, Komandan Batalyon 22 Djaja Pangrerot Divisi Siliwangi. Tahun 1948, pada suatu malam menjelang subuh, dari balik semak-semak di sebuah bukit dekat Gunung Halu (sebuah kecamatan yang sekarang masuk wilayah Bandung Barat), dia menyaksikan para prajurit KST mengumpulkan sejumlah perempuan lalu memperkosanya secara terbuka dan beramai-ramai.
Baca juga: Spesialis Pencabut Nyawa
“Rasanya masih terdengar jelas jeritan dari para perempuan yang diperkosa itu,” ujar Soegih Arto dalam biografinya, Sanul Daca.
Soegih Arto sendiri mengaku tidak bisa berbuat apa-apa. Selain jumlah pasukannya lebih sedikit dan kalah persenjataan, dia pun lebih mengkhawatirkan keselamatan ratusan orang kampung lainnya yang tengah ditawan pasukan Baret Hijau tersebut. Menurutnya posisi orang-orang kampung lainnya, termasuk anak-anak dan orang tua, persis ada di tengah kumpulan para prajurit KST.
Aksi pemerkosaan yang dilakukan tentara Belanda juga dilaporkan oleh seorang komandan gerilyawan di Sumatera Barat bernama Taswar Akip. Dalam buku Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan Jilid III terbitan LVRI (Legiun Veteran Republik Indonesia), Taswar menyebut bahwa seorang wakil dari penduduk Muara Labuh, Solok Selatan meminta pasukannya untuk melindungi desanya dari keganasan serdadu Belanda.
“Mereka sering datang untuk membunuh dan memperkosa para perempuan di desa kami,” ungkap orang Muara Labuh itu.
Baca juga: Trauma Serdadu Belanda
Dalam Insiden Sulawesi Selatan pada 1947, selain pembunuhan massal, serdadu Belanda juga memerkosa perempuan-perempuan yang terlibat dalam aksi bawah tanah melawan militer Belanda. Salah satu korban adalah Sitti Hasanah Nu’mang. Selain mendapatkan penyiksaan, penghinaan dan pelecehan, Sitti juga diperkosa oleh seorang perwira tinggi militer Belanda bernama Mayor De Bruin.
“Dalam kesendirian, saya meratapi nasib. Ayah ditembak, saya tercemar dan tidak berdaya,” ujar Sitti seperti dikisahkannya dalam Seribu Wajah Wanita Pejuang dalam Kancah Revolusi 45 suntingan sejarawan Irna H.N. Hadi Soewito.
Di Peniwen sendiri, Temiri bukanlah satu-satunya korban pemerkosaan. Menurut A.H. Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan: Perang Gerilya Semesta II Jilid X, ada tiga perempuan aktivis Gereja Protestan di Peniwen yang juga mengalami nasib yang sama. Bahkan mereka lebih malang lagi, setelah diperkosa kemudian dibunuh secara kejam oleh prajurit KST.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar