Zaman Berdarah
Ribuan orang yang dianggap pro-Belanda tersapu badai revolusi Indonesia. Sebagian besar anak-anak, perempuan, dan orangtua.
Di Pemakaman Menteng Pulo, Jakarta Selatan, nisan-nisan putih berbentuk salib berbaris rapi. Sebagian berukuran kecil. Yang tertera bukan hanya nama-nama berbau Belanda namun juga nama-nama khas Minahasa, Maluku, dan Tionghoa.
“Itu sebagian korban dari ‘masa bersiap’. Yang ukuran kecil adalah makam anak-anak,” ujar Robert van de Rijdt, direktur Yayasan Makam Kehormatan Belanda di Indonesia (OGS).
“Masa bersiap” (bersiap-tijd) adalah istilah Belanda yang mengacu pada situasi kacau di Indonesia, terutama Pulau Jawa sejak pertengahan Agustus 1945 hingga awal 1946. Orang-orang yang dianggap pro-Belanda –sebagian kecil Belanda totok, kaum Indo Belanda, Minahasa, Maluku, dan Tionghoa– menjadi sasaran kebencian orang-orang Republik. Mereka dijarah, dibunuh.
Hingga kini, tak ada kejelasan berapa angka pasti orang-orang yang tewas dalam “masa bersiap”. Menurut Michel G.M. Maas, jurnalis Belanda, sumber-sumber Belanda menyebut angka 7.000-20.000 jiwa. “Tapi yang penting, sebagian kecil saksi dari kejadian itu masih hidup di Belanda saat ini,” ujar Maas kepada Historia.
Salah satu dari mereka adalah Jeanette Tholense. Perempuan kelahiran Bandung tahun 1936 tersebut, mengenang situasi kala itu sebagai zaman berdarah. Masih segar dalam ingatannya, suatu siang di bulan Oktober 1945, segerombolan pemuda bersenjata menggeruduk rumah orangtuanya di Kerkstraat (kini Jalan Pemuda), Depok. Selain merampok, para pemuda membunuh Hendrick Tholense, salah seorang saudaranya.
Merasa tak aman, Jeanette dan keluarganya mengungsi ke rumah saudara di Jalan Bungur. Alih-alih terlindungi, mereka malah jatuh ke tangan para pemuda ekstremis itu. “Semua disuruh buka baju. Dengan kondisi setengah telanjang, kami digiring ke Stasiun Depok Lama,” ujarnya.
Bisa jadi nasib Jeanette termasuk mujur. Hanya sekitar 20 km dari Depok, pada waktu yang sama, sejumlah orang Belanda dan Indo-Eropa menemui ajal karena ulah sekelompok anak muda beringas. Peristiwa tragis itu tertuang dalam sebuah tulisan Menke de Groot berjudul “Gruwelen der Bersiap: moordpartijen op grote schaal” (Kekejaman Masa Bersiap: suatu pembantaian massif) dimuat laman De Nederlandse Krijgsmacht edisi 28 Agustus 2015.
Alkisah, tersebutlah nama Nur, Said, dan Sipin. Mereka adalah para pemimpin kelompok pemuda yang menculik 39 orang, terdiri atas 23 orang Eropa, tujuh Indonesia, lima Tionghoa, dan empat Ambon, ke suatu tempat di perbatasan Batavia-Tangerang. Usai dikumpulkan di bawah sebuah pohon asam yang besar, orang-orang malang itu dibantai dengan golok, pisau belati, dan pistol.
“Mayat-mayatnya lalu dibuang begitu saja ke sebuah parit di pinggir jalan,” tulis Menke.
Sementara itu di Simpangclub, Surabaya, sekelompok pemuda mengumpulkan puluhan orang Belanda, Indo, Ambon, dan Minahasa. Mereka lantas digiring ke markas besar suatu organisasi pemuda komunis dan dibunuh secara brutal dengan tusukan bayonet dan bambu runcing serta pukulan balok kayu ke kepala.
Suatu drama terjadi ketika seorang remaja Indo coba melawan namun tak berdaya. Dalam ringkusan para pemuda, dia berteriak-teriak histeris: “Mountbatten (pimpinan pasukan Sekutu) tolong kami!” Remaja malang itu akhirnya tewas setelah seorang pemuda memukul bagian tengkuknya dengan popor senjata.
Selama Oktober 1945, di seluruh Jawa dan sebagian kecil Sumatra, aksi-aksi berdarah dilakukan nyaris setiap hari oleh sebagian orang Indonesia. Dalam catatan Mary van Delden, sejarawan dari Universitas Radboud, Belanda, jumlah korban yang jatuh mencapai ribuan jiwa.
“Andaikan tentara Indonesia tidak ikut campur menjaga sebagian kamp internir saat itu, saya yakin korban jiwa akan jauh lebih banyak,” tulis Marry dalam disertasinya “De republikeinse kampen in Nederlands-Indië, Oktober 1945-Mei 1947. Orde in de chaos?” (Kamp Republik di Hindia-Belanda, Oktober 1945-Mei 1947. Ketertiban di tengah kekacauan?).
Tambahkan komentar
Belum ada komentar