Lika-liku Kisah Pelarian Tawanan Sekutu dari Kamp Jerman
Cerita puluhan tawanan yang gagal melarikan diri dan dieksekusi Hitler. Kisahnya menginspirasi film “The Great Escape”.
UDARA dingin yang menusuk tulang tak memadamkan keinginan kuat Letda (penerbang) Bertram Arthur James untuk meraih kebebasannya. Menjelang tengah malam, 24 Maret 1944, James bersama puluhan rekan sesama tawanan perang di Kamp Stalag Luft III di Sagan, Silesia (kini Żagań, Polandia) merangkak di terowongan bawah tanah yang lebarnya hanya 60 centimeter (cm).
“Musim dingin tahun itu sangat buruk. Itu bulan Maret terdingin selama 30 tahun dan orang-orang yang berjalan kaki akan sangat menemui kesulitan,” James berkisah.
Tetapi bukan perkara mudah bagi James dkk. bisa keluar dengan selamat. Tebalnya salju di atas tanah berpasir di sekitar kamp membuat bagian ujung terowongan sepanjang 102 meter itu amblas. Butuh sekira satu jam bagi rekan-rekan James di bagian depan untuk memperbaiki terowongan itu, termasuk pintu terowongan yang membeku.
“Salah satu penopang (terowongan) tergeser oleh seseorang dan membuat pasirnya berjatuhan dan itu yang harus diatasi. Jadi ketika kami keluar dari terowongan itu kira-kira sudah pukul 1 atau 1.30 pagi (25 Maret 1944),” imbuhnya.
Baca juga: Kisah Penyintas Terlupakan di Perang Pasifik
Ada beberapa kelompok dari sekira 76 tawanan yang lolos dari terowongan itu. Tiap kelompok mencari rute sendiri-sendiri. James tergabung di kelompok Mayor (udara) John Edwin Ashley Williams yang punya misi melarikan diri ke Cekoslovakia.
“Udara malam itu benar-benar dingin. Kami harus berjalan 10 mil (sekira 16 kilometer) di atas salju setebal lima kaki (1,5 meter) untuk menuju Stasiun Tshiebsdorf, di mana kami bisa menumpang keretaapi ke selatan,” lanjut James.
Setelah sukses menumpang kereta malam, kelompok itu memencarkan anggota-anggotanya lagi sesampainya di sebuah stasiun kecil tak jauh dari perbatasan utara Cekoslovakia. Sialnya di situlah James dan Sotiris Skanzikas diciduk polisi setempat.
“Kami dibawa ke kantor polisi, di mana ternyata di situ sudah ada empat dari sesama kami yang tertangkap duluan. Dua lainnya menyusul. Kami berdelapan diinterogasi dan dibawa ke penjara sipil di Hirschenberg. Hanya dalam waktu 12 jam sejak kami melarikan diri, kami kembali jadi tahanan,” kenangnya lagi.
Baca juga: Sepakterjang Batalyon yang Hilang
Pelarian yang Dihukum Hitler
Pada PD II, Jerman memisah-misahkan tawanan perangnya berdasarkan matra atau kesatuan masing-masing. Kamp tawanan Stalag Luft III yang bernaung di bawah Luftwaffe (Angkatan Udara Jerman) sejak berdirinya dan mulai dibuka sebagai kamp pada 21 Maret 1942, hanya menampung tawanan yang merupakan perwira penerbang Sekutu. Entah penerbang angkatan udara, darat, maupun angkatan laut. Para penjaga Luftwaffe menyebut para tawanan itu sebagai krigies, kependekan dari kriegsgefangene atau tawanan perang resmi.
Menurut Quentin Richard Petersen dalam “Stalag Luft III” yang termaktub di buku Selected Recollections Chosen from a Fortunate Life, A Continuing Memoir: World War II Living Memorial, hingga 1944 kamp itu menampung 10.949 krigies. Terdiri dari 2.500 perwira RAF (AU Inggris), 7.500 perwira penerbang AD Amerika Serikat, dan lebih dari 900 sisanya perwira Sekutu dari negara Selandia Baru, Australia, Kanada, Afrika Selatan, Norwegia, Polandia, Yunani, dan Lithuania.
Kamp seluas 24 hektare itu dibagi menjadi dua blok utama yang terpisah: Blok Utara untuk para perwira RAF dan negara-negara persemakmurannya serta Blok Selatan yang ditempati para perwira Amerika. Masing-masing blok memiliki 15 pondok tahanan yang bisa memuat 15 krigies sekaligus. Pada Juli 1944, kampnya diperluas dengan penambahan Blok Barat untuk menampung lebih banyak tawanan Amerika.
“Setiap blok dikelilingi dua pagar setinggi 9 kaki dengan kawat berduri. Di bagian luarnya juga ditempatkan beberapa gulungan kawat berduri horizontal untuk mencegah pelarian. Sekitar 30 kaki dari bagian dalam pagar turut membentang kabel sepanjang 2 kaki di permukaan tanah. Setiap tawanan yang nekat menyeberang bakal ditembak,” tulis Charles Messenger dalam Stalag Luft III: The German Pow Camp That Inspired The Great Escape.
Setiap blok memiliki pondokan tawanan, dapur umum, bangsal kamar mandi, dan bahkan panggung teater yang dibangun oleh para tawanan. Lantai di setiap pondok dinaikkan ketinggiannya 60 cm dengan beton demi mencegah para tawanan menggali terowongan.
Selain di sekeliling kamp dipasangi mikrofon seismograf untuk memudahkan para penjaga mendeteksi suara penggalian, para tawanan yang berniat kabur dengan menggali tanah untuk terowongan bakal dipersulit oleh tanah berpasir di kamp itu. Kondisi itu membuat perbedaan lapisan tanahnya sangat kentara dan bisa dengan mudah dideteksi para penjaga jika memang ada upaya penggalian.
Kamp Stalag Luft III dipimpin Oberst (kolonel udara) Friedrich-Wilhelm von Lindener Wildau. Perwira gaek itu sebelumnya merupakan salah satu staf pribadi Reichsmarschall Hermann Göring. Komandan kamp jadi tugas terakhirnya sebelum memasuki masa pensiun.
Seperti di banyak kamp tawanan perang, para penjaga di Stalag Luft III pun bukan kombatan Luftwaffe yang mumpuni. Dari 800 penjaga, rata-rata personilnya terlalu tua atau masih terlalu muda untuk tugas tempur. Sisanya para personil Luftwaffe yang baru pulang dari front tertentu dengan membawa cedera permanen yang membuat mereka tak lagi laik tempur.
Karena kamp Stalag Luft III secara rutin didatangi delegasi Palang Merah Internasional (PMI) dari Swiss, para kriegies diperlakukan dengan baik. Sang komandan Kolonel Wildau benar-benar memerhatikan tindakan para penjaganya agar sejalan dengan Konvensi Jenewa.
Para kriegies biasanya dijatahi ransum 2.150 kalori per hari. Para penjaganya pun tak mendapat jatah lebih mewah dari para tawanan. Para kriegies juga diizinkan menerima kiriman paket dari keluarga yang diberikan melalui Palang Merah.
“Para penjaganya bertindak sopan kepada para tawanan. Umumnya hubungan kami dengan para penjaga Jerman sangat baik. Paket-paket dari Palang Merah sangat membantu kehidupan kami. Menambah ransum kami, di antaranya keju, daging kornet, biskuit, dan bahkan cokelat, serta yang terbaik dari itu semua: teh,” kenang James lagi.
Ibarat surga-neraka jika Kamp Stalag Luft III dibandingkan kamp-kamp konsentrasi khusus Yahudi. Di Stalag Luft III, para krigies juga diizinkan menggelar beragam hiburan di panggung teater. Mereka juga dibebaskan membaca semua koleksi milik beberapa perspustakaan yang ada di kamp.
Wakil komandan Mayor Gustav Simoleit merupakan profesor sejarah, geografi, dan etnologi sebelum perang. Ia bisa bicara beberapa bahasa, termasuk bahasa Inggris, Rusia, Polandia, dan Ceko.
Baca juga: Sang Pilot "Mengudara" untuk Selamanya
Sejak bertugas di Sagan pada awal 1943, ia punya simpati besar terharap para penerbang Sekutu. Sering ia melanggar larangan (Gestapo) yang memberi sikap hormat kepada para perwira tinggi tawanan. Dia bahkan membolehkan para tawanan menguburkan sesama tawanan dengan upacara militer, termasuk seorang penerbang Yahudi.
Kendati begitu, tetap saja upaya pelarian tetap eksis di masing-masing hati para tawanan yang mendambakan kebebasan. Upaya pertama terjadi pada 19 Oktober 1943, yang dilakukan oleh Letda Michael Codner, Letnan Eric Williams, dan Oliver Philpot. Mereka memanfaatkan beberapa kayu triplek bekas parsel Palang Merah untuk membuat palang kayu untuk senam. Dengan begitu, suara orang yang beraktivitas senam bisa menutupi suara penggalian.
Ketiganya berhasil kabur via Pelabuhan Stettin (kini Szczecin, Polandia). Mereka menyamar sebagai buruh Norwegia demi bisa menumpang keretaapi ke Danzig (kini Gdańsk) dan akhirnya sampai ke Stockholm, ibukota negara netral Swedia.
Pelarian ketiganya sama sekali tak ketahuan. Alhasil medio Maret 1943, Mayor (udara) Roger Bushell merancang upaya pelarian dengan skala lebih besar. Bermula dari mengajak sekira 20 orang untuk merencanakannya di Pondok 104, Bushell akhirnya punya sekira 600 orang menjelang hari-H pelarian. James termasuk yang membantu penggaliannya.
“Dia (Bushell) segera mengatur pelarian itu dengan cermat. Ia menyatakan akan membuat tiga jaringan terowongan: Tom, Dick, dan Harry yang digali secara bersamaan pada satu garis identik. Terowongannya digali 30 kaki di bawah permukaan untuk menghindari seismograf di pagar kawat berduri,” tutur James.
Baca juga: Kamp Orang Indonesia di Texas
Rencana itu lantas disetujui salah satu perwira Inggris paling senior, Kolonel Herbert Massey. Sejumlah perangkat tempat tidur dan bekas parsel Palang Merah digunakan sebagai penopang terowongan.
Akan tetapi gegara upaya pelarian pertama (Oktober 1943) akhirnya diketahui Jerman, pasukan Gestapo mulai sering ikut menginspeksi kamp. Alhasil hingga hari-H pada malam 24 Maret 1944, hanya Terowongan Harry yang bisa diselesaikan.
“Dari 600 yang menggali terowongan, hanya ditentukan 200 yang dianggap akan bisa lolos. Mereka dibagi dua kelompok. Yang pertama kami menyebutnya ‘serial offenders’, di mana 30 di antaranya fasih berbahasa Jerman dan hafal wilayahnya. Kelompok kedua dianggap kecil kemungkinan untuk sukses dan di antara kami dipilih berdasarkan undian. Kami inilah yang disebut ‘hard-arses’ yang hanya dibekali surat-surat identitas palsu dan perlengkapan seadanya,” sambung James.
Surat-surat palsu itu, menurut Guy Walters dalam The Real Great Escape, disediakan warga sipil Jerman yang sering mondar-mandir mengirim paket dari para famili tawanan dan Palang Merah. Menariknya, beberapa penjaga kamp yang anti-Nazi bahkan membantu memberikan beberapa perlengkapan lain untuk bisa bertahan di luar kamp, terutama mantel musim dingin berbahan wol.
Kelompok James lalu memulai pelarian. Begitu sudah keluar dari terowongan dan menuju pepohonan, mereka terpergok sejumlah penjaga yang berpatroli. Total 76 tawanan yang sudah sempat lolos dan tawanan ke-77 yang baru keluar terowongan memilih menyerahkan diri.
Sampai 25 Maret 1944 siang, hampir semua tawanan digelandang balik ke kamp setelah operasi perburuan pelarian diperintahkan von Lindener. Total ada 77 yang akhirnya ditangkap dan dibawa lagi ke Sagan, termasuk James.
Hanya tiga yang benar-benar berhasil meloloskan diri dari operasi perburuan penjaga kamp. Mereka adalah Per Bergsland (Norwegia, Skadron 332 RAF), Jens Müller (Norwegia, Skadron 331 RAF), dan Bram van der Stok (Belanda Skadron RAF 41).
“Bergsland dan Muller kabur bersama menuju Swedia dengan keretaapi dan kapal berkat bantuan nelayan Swedia. Van der Stok bertualang sampai ke Prancis dan dibantu kelompok pergerakan bawah tanah Prancis menuju Konsulat Inggris di Spanyol,” ungkap Tim Carroll dalam The Great Escapers.
Sementara, 73 sisanya yang tertangkap lagi lalu diinterogasi Gestapo. Von Lindener lantas dicopot dari jabatannya dan digantikan Oberstleutnant (letkol) Erich Cordes.
Baca juga: Marsekal Jenius itu Bernama Erich von Manstein
Hitler yang mendengar laporan Gestapo pada hari itu juga memerintahkan 73 pelarian itu dieksekusi di tempat. Kendati begitu, Panglima Luftwaffe Reichsmarschall Göring, kepala keamanan Reichsführer Heinrich Himmler, dan Panglima Oberkommando der Wehrmacht (OWK) Marsekal Wilhelm Keitel menginterupsi perintah Hitler. Mereka khawatir eksekusi itu akan memperparah perhitungan Sekutu untuk membalas dengan pemboman udara lebih besar atau dengan mengeksekusi para tawanan Jerman di kamp-kamp Sekutu.
“Sebagai kompromi, Hitler memutuskan hanya 50 persen dari mereka yang harus dieksekusi. Himmler diperintahkan untuk memilih nama-nama mereka. Ia kemudian melimpahkan perintah itu kepada seorang jenderal Gestapo bernama (Arthur) Nebe,” tambah James.
Rupanya perintah itu disalahartikan Nebe. Mestinya hanya 50 persen, tapi disalahartikan menjadi 50 orang, tentu menjadi lebih dari separuhnya. James termasuk yang beruntung, lolos dari pemilihan eksekusi. Begitu pun dengan beberapa rekannya yang namanya mirip dan dianggap masih kerabat dengan beberapa tokoh legendaris Inggris, seperti Bob Nelson dan Dick Churchill yang diyakini pihak Jerman masih kerabat Laksamana Horatio Nelson dan Perdana Menteri Inggris Winston Churchill.
Bushell sang perancang pelarian tentu saja tak lolos dari eksekusi. Dia ditembak dari jarak dekat di luar kamp di belakang rekan-rekannya. Begitu juga dengan 49 tawanan lain, termasuk Skanzikas yang ditangkap bersama James.
Oberst Werner Braune yang jadi komandan baru menggantikan Cordes disebutkan terkaget mendengar begitu banyak tawanan yang dieksekusi Nebe. Ingatannya, perintah Hitler hanya separuh dari jumlah mereka. Braune yang lantas bersimpati, mengizinkan para tawanan lainnya untuk membangun tugu peringatan.
Kamp Stalag Luft III baru direbut Sekutu menjelang tengah malam 27 Januari 1945. Ribuan tawanan di dalamnya kemudian dibebaskan. Kisah “Pelarian Besar” lantas tersebar dan jadi salah satu kisah sohor. Kisah itu kemudian diadaptasi ke layar lebar yang dibintangi Steve McQueen dan Richard Attenborough bertajuk The Great Escape (1963).
James menjadi satu dari sedikit penyintas “The Great Escape” yang bisa pulang hidup-hidup ke Inggris usai perang. Dia menceritakan kisahnya kepada para pendengar BBC Radio Shropshire pada medio 2000 atau delapan tahun sebelum ia wafat pada 18 Januari 2008 di usia 92 tahun.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar