Alkisah Jago Udara yang Di-Grounded Gegara Sepakbola
Philip Fullard jago udara yang melegenda dari Perang Dunia I. Ironisnya medali-medali kehormatannya dilelang keluarganya.
PERANG Dunia I jadi ajang adu kuat pertama beragam teknologi canggih alutsista. Salah satunya penggunaan pesawat terbang berskala besar untuk pengintaian sekaligus pertempuran udara. Inggris jadi salah satu yang terdepan. Di antara ace –istilah untuk jagoan pertempuran di udara– legendarisnya, nama Komodor Udara Philip Fullard merupakan yang paling dihormati hingga kini.
Meski ia memulai kiprahnya di Royal Flying Corps (RFC) Angkatan Darat Inggris, namanya juga melegenda di kalangan Angkatan Udara Inggris, Royal Air Force (RAF) yang baru lahir pasca-PD I. Fullard punya catatan 40 kemenangan duel udara (beberapa sumber menyebut 43 dan 46).
Kendati bukan yang terbanyak, dengan catatan itu mendiang Fullard diakui sebagai ace paling top keenam Inggris dan pilot dengan angka kemenangan tertinggi kedua yang masih hidup pasca-PD I.
Namun, cedera kaki membuat karier Fullard sebagai penerbang berakhir. Akibatnnya, sepanjang PD II ia sekadar bertugas di markas RAF.
Baca juga: Medali Kehormatan Pahlawan Perang yang Dipertanyakan
Hingga wafatnya pada 24 April 1984, Komodor Fullard mewariskan 11 medali kehormatan, di antaranya medali CBE atau Most Excellent order of the British Empire, medali Distinguished Service Order, medali Military Cross, dan medali Air Force Cross.
Ironisnya saat ini, ke-11 medali itu dijual keluarganya di Rumah Lelang Noonans Mayfair, London. Rumah lelang itu sendiri mematok nilai 60 ribu poundsterling (setara Rp1,1 miliar) untuk 11 medali Fullard.
“Nilainya tak hanya ditentukan faktor kelangkaan tapi juga warna-warni cerita di baliknya. Seandainya Fullard bisa terus terbang, sangat memungkinkan juga ia akan melewati angka kemenangan jagoan udara manapun di dunia,” ujar kepala penghubung klien Noonans, Christopher Mellor-Hill, dikutip Daily Mail, Selasa (14/3/2023).
Gara-Gara Sepakbola
Dikisahkan dari artikel “Two British ‘Crack’ Pilots” di majalah Flight edisi 10 Januari 1918, Philip Fletcher Fullard lahir di Wimbledon, 27 Mei 1897. Dengan latar belakang keluarga yang secara ekonomi berada, ia bisa mengecap pendidikan di salah satu sekolah swasta ternama, Norwich Grammar School.
Sejak muda Fullard hobi olahraga di tim sekolahnya. Tak hanya bermain hoki, Fullard bahkan jadi kapten tim sepakbola sekolahnya, hingga bakatnya dipantau klub Norwich City FC. Beberapa sumber bahkan menyebutkan Fullard sempat masuk tim cadangan Norwich City, meski hingga kini pihak klub tak menemukan catatan tentangnya.
Baca juga: Kiper Legendaris Manchester Bekas Pemuda Hitler
Dengan kondisi fisik prima, Fullard juga diterima di pelatihan militer Inns of Court Officer Training Corps (Resimen Inns Court) AD Inggris pada 1915. Keunggulan fisiknya membuat Fullard ditawari penugasan di Resimen Royal Irish Fusiliers ketika lulus dari sekolah kadet itu. Akan tetapi Fullard yang mencari tantangan lain justru memilih melamar jadi penerbang ke RFC.
“Di Inggris, RFC mengkategorikan pertempuran udara laiknya sebuah olahraga. Sebuah gagasan yang berakar dari komposisi korps di awal perang, di mana para perwiranya memang banyak merekrut para lulusan atlet-pelajar yang tertarik pada penerbangan militer untuk petualangan,” tulis John Howard Morrow dalam The Great War in the Air: Military Aviation from 1909 to 1921.
Jurnal The London Gazette tanggal 12 Januari 1917 turut mencatat nama Fullard yang lulus dari dari dua pelatihan penerbang, yakni di School of Military Aeronautics No. 2 di Oxford dan Central Flying School di Pangkalan Udara Upavon. Setelah lulus dengan pangkat letnan dua, Fullard memulai petualangannya di Perang Dunia dengan bertugas di Skadron No. 1 RFC yang ditempatkan di Prancis pada Mei 1917.
Fullard sudah langsung diterjunkan ke medan pertempuran ketika usianya baru genap 20 tahun. Selain karena memang skill-nya di atas rata-rata pilot muda lain, di fase-fase akhir PD I itu Inggris sedang butuh banyak pilot untuk mengimbangi kekuatan udara Jerman.
“Dalam enam pekan jelang kedatangan saya di skadron, sudah 84 pilot yang gugur. Kebanyakan dari mereka bahkan belum sempat membongkar koper peralatan mereka sebelum akhirnya masuk daftar tewas,” kenang Fullard, dikutip Arnold D. Harvey dalam Collision of Empires: The Britain in Three World Wars, 1793-1945.
Baca juga: Penerbang Tionghoa di Perang Saudara Spanyol
Fullard pun berangkat dengan “pegangan” pesawat bersayap ganda buatan Prancis yang tergolong pesawat baru, Nieuport 17. Pesawatnya hasil desain Gustave Delage yang lantas dibangun oleh Aéronautique Militaire di Prancis pada Januari 1916. Pada PD I, pesawat ini jadi salah satu tulang punggung RFC dan Angkatan Udara Kekaisaran Rusia.
Dalam artikelnya di majalah Air Enthusiast Quarterly edisi nomor 2 tahun 1976, “Those Classic Nieuports”, Josh McIntosh Bruce mencatat, pesawat Nieuport 17 berawak tunggal dan punya lebar sayap 8,16 meter serta panjang 5,8 meter. Bodinya berupa kombinasi rangka baja, kayu triplek, dan kayu kapur. Tenaganya dipasok satu mesin 9 silinder Le Rhône 9Ja yang menggerakkan baling-baling untuk menerbangkannya dengan kecepatan maksimal 92 knot (170 kilometer per jam).
Daya gempur Nieuport 17 spesifikasi dasar ditopang 1 senapan mesin Vickers kaliber 7,7 milimeter (mm) yang bisa ditempatkan di rangka sayap bagian kokpit atas maupun bawah. Pada beberapa unit khusus, persenjataan Nieuport 17 bisa ditambah delapan roket Le Prieur.
Ketika dipakai RFC, persenjataan Nieuport 17 diganti senapan mesin Lewis berkaliber serupa. Pesawat seperti inilah yang mengantarkan nama Fullard melegenda sejak Mei 1917.
“Catatan kemenangannya dimulai dengan dua kemenangan duel udara pada pertengahan Mei, diikuti lima lainnya sampai akhir bulan. Pada 19 Juni, ia naik pangkat menjadi kapten sementara. Setelah sempat absen pada September 1917 karena syaraf matanya terganggu dan membuatnya buta sementara, ia beraksi lagi pada Oktober. Sampai akhir Oktober, ia mencatatkan 11 kemenangan lagi, salah satunya menembak jatuh jago udara Jerman Hans Hoyer di langit Belgia,” ungkap Stephen dan Tanya Wynn dalam Fighter Aces of the Great War.
Sejarawan Peter Liddle suatu hari di tahun 1978 pernah menanyakan Fullard rahasia apa yang membuatnya berani menyabung nyawa di udara dan bisa pulang dari perang hidup-hidup.
“Saya pikir berlebihan jika menyebut ksatria di udara atau penantang maut. Anda tak bisa terbang dengan pikiran seperti itu. Saya hanya merasa cara terbaik untuk selamat adalah membunuh pilot (musuh) lainnya. Dan banyak orang lebih tertarik bagaimana caranya bisa bertahan hidup. Apalagi bagi mereka yang sudah berkeluarga. Saat itu saya masih sangat muda dan saya tak punya kekhawatiran akan kehilangan apapun kecuali hidup saya,” kenang Fullard, dikutip Liddle dalam Captured Memories 1900-1918: Across the Threshold of War.
Baca juga: Kolase Hidup Manusia dalam Perang Dunia I
Namun, kiprahnya di PD I terbilang pendek. Cedera pada kakinya usai bermain sepakbola menjadi biang keladinya. Pada 17 November, tiga hari menjelang Pertempuran Cambrai (20 November-7 Desember 1917), Fullard terpaksa di-grounded.
“Dua hari setelah mencatatkan kemenangan ke-40, Fullard menikmati waktu rehat dengan ikut pertandingan sepakbola antar-kesatuan antara tim skadronnya melawan tim dari sebuah batalyon infantri. Fullard kemudian mengalami retak pada kaki kanannya dalam pertandingan itu. Ia dipulangkan dan tak kembali bertugas hingga menjelang berakhirya perang pada 24 September 1918 dengan pangkat mayor,” sambung Wynn.
Selama periode akhir perang sampai Perang Dunia II, Fullard yang sudah tergabung di RAF tak pernah lagi menerbangkan pesawat. Ia sekadar bertugas jadi instruktur terbang, perwira penghubung, dan mengomandani beberapa wing terbang: dimulai di Sekolah Staf RAF dan berakhir di Komando Operasi Grup No. 246 RAF sepanjang PD II hingga pensiun dengan pangkat komodor udara pada 1946.
“Fullard wafat di sebuah rumahsakit di Broadstairs, Kent, Inggris, tak jauh dari kediamannya pada 24 April 1984, sebulan sebelum usianya genap 87 tahun. Sampai ia wafat, Fullard merupakan jago udara dengan catatan tertinggi yang masih hidup,” tulis surakabar The New York Times dalam obituarinya di edisi 28 April 1984.
Baca juga: Memori yang Membekas dalam 1917
Tambahkan komentar
Belum ada komentar