Kiper Legendaris Manchester Bekas Pemuda Hitler
Hanya ada dua kiper berkelas dunia, kata Lev Yashin. Satu, dirinya; lainnya adalah bocah Jerman yang bermain di Manchester, Bert Trautmann.
MANCHESTER City boleh gagal mempertahankan gelar Premier League (liga teratas Inggris) di musim ini (2019-2020). Namun, rival sekota Manchester United itu boleh bangga terhadap kiper utama Ederson Santana de Moraes yang memetik Premier League Golden Glove Award sekaligus mengukir namanya di jajaran kiper-kiper terbaik The Citizens (julukan Man. City) dari era Bert Trautmann hingga Joe Hart.
Anugerah sarung tangan emas Premier League sendiri baru diadakan pada musim 2004-2005. Sebelum Ederson yang merengkuhnya pada 26 Juli 2020, kiper Man. City Joe Hart pernah mendulangnya bahkan sampai empat kali (2010-2013, dan 2015). Capaian itu membuktikan Man. City merupakan tim Inggris yang senantiasa punya bintang di bawah mistar gawang.
Salah satu kiper legendaris Man. City adalah Trautmann, dari era 1950-1960-an. Namanya terdengar asing di telinga publik sepakbola dunia lantaran ia tak pernah mentas di turnamen internasional semisal Piala Dunia. Kisahnya tenggelam dengan kemunculan banyak kiper legendaris dunia setelahnya, mulai dari Gordon Banks, Dino Zoff, Sepp Maier, hingga Peter Schmeichel.
Baca juga: Santo Iker di Bawah Mistar
Namun ketidakpopulerannya tak berarti kualitasnya buruk. Kiper legendaris Uni Soviet yang jadi panutan kiper-kiper dunia Lev Yashin pernah memuji tinggi Trautmann.
“Hanya ada dua kiper berkelas dunia. Satu adalah Lev Yashin, lainnya adalah bocah Jerman yang bermain di Manchester: Trautmann,” kata Yashin menyanjung, dikutip laman klub mancity.com dalam obituarinya untuk Trautmann, 19 Juli 2013.
Trautmann memang berasal dari Jerman. Di Perang Dunia II ia turut angkat senjata dengan jadi serdadu Jerman. Riwayatnya dua tahun lalu (rilis 1 Oktober 2018) diangkat ke layar lebar dengan tajuk The Keeper yang diproduksi Zephyr Films dan Lieblingsfilm.
Tawanan Perang Bekas Pemuda Hitler
Pada 22 Oktober 1923 di Walle, sebuah distrik di barat Bremen, Bernhard Carl ‘Bernie’ Trautmann lahir sebagai sulung dari dua bersaudara hasil pernikahan Frieda Elster dan Karl Trautmann. Olahraga jadi penyaluran kesenangan satu-satunya Trautmann mengingat ia hidup di tengah keluarga dengan ekonomi pas-pasan. Karl hanyalah pekerja pelabuhan.
Rob Steen menuliskan dalam Floodlights and Touchlines: A History of Spectator Sport, Trautmann kecil cakap dalam tiga bidang olahraga: sepakbola, bola tangan, dan dodgeball di tim lokal organisasi gereja. Berbekal kecakapan itu dan dengan kategori sebagai bocah Arya, ia masuk Deutsches Jungvolk (DJ), seksi junior (untuk anak umur 10-14 tahun) di Organisasi Hitlerjugend (Pemuda Hitler), pada Agustus 1933.
Ketika Hitler berkuasa, Pemuda Hitler jadi organisasi yang wajib diikuti hampir semua anak usia sekolah. Dari beragam aktivitas di Pemuda Hitler pula Trautmann mengasah skill barunya, teknik mesin. Sebelum Perang Dunia II, ia magang sebagai mekanik otomotif sampai pada 1941, tahun dia mendaftar masuk Luftwaffe (AU Jerman).
“Orang-orang bertanya, ‘kenapa (ikut perang, red.)?’, tetapi saat Anda muda perang laiknya sebuah petualangan. Lagipula tumbuh di Jermannya Hitler Anda tak bisa punya pilihan lain,” kata Trautmann, dikutip Steen.
Baca juga: Jojo Rabbit, Satir Pemuda Hitler
Berbekal kemampuan teknik mesin dan elektronik, Trautmann ditempatan sebagai prajurit operator radio. Ia lantas ditransfer ke Spandau dan digojlok lagi untuk masuk unit Fallschirmjäger (lintas udara). Tetapi karena kecelakaan saat bergurau dan mengakibatkan seorang atasannya terluka, Trautmann dipecat pada pertengahan 1941.
Namun ia belum puas bertualang di medan perang. Pada Oktober 1941, ia mendaftar masuk ke matra darat dan diterima di Divisi Infantri ke-35 AD Jerman yang dipimpin Jenderal Walther Fischer von Weikersthal yang ditempatkan di front timur, Ukraina.
Dalam masa inilah ia mengaku sempat kesulitan menerima kenyataan dan horor perang karena mengalami langsung. Utamanya terkait perlakuan brutal pasukan paramiliter Nazi Schutzstaffel (SS) maupun beberapa unit AD Jerman terhadap tawanan Uni Soviet.
“Mulanya Anda tak berpikir bahwa musuh adalah sesama manusia. Lalu ketika Anda mulai menangkap para tawanan, Anda mendengar mereka menangis, berteriak menyebut ayah dan ibunya. Saat Anda bertemu musuh, barulah Anda merasa dia sama-sama manusia seperti saya,” ujarnya mengenang.
Ada masa ketika dia ditawan pasukan Soviet. Beruntung ia bisa melarikan diri dan bergabung lagi ke pasukannya. Ia lantas dipindah ke Prancis pasca-invasi Normandia (Juni 1944) dan ditempatkan di Kleve, perbatasan Jerman-Belanda. Pemboman Sekutu membuatnya nyaris gila hingga memilih desersi. Sempat ditangkap lagi oleh pasukan Prancis pada Maret 1945, ia kembali meloloskan diri hingga akhirnya ditangkap pasukan Amerika.
“Dia mencoba kabur karena takut akan dieksekusi Tentara Amerika. Tapi setelah dia melompat pagar, dia mendarat di hadapan tentara Inggris yang menyapanya: ‘Halo Fritz (sebutan Tentara Inggris untuk Tentara Jerman, red.), mau secangkir teh?’” ungkap Alan Rowlands dalam Trautmann: The Biography.
Berakhirlah petualangan Trautmann di medan perang. Ia ditawan dan bergonta-ganti tempat penahanan, mulai dari Ostend (Belgia), Essex, Marbury Hall, Chesire, Fort Crosby, hingga Ashton-in-Makerfield, Inggris. Di kamp itulah Trautmann kembali bermain sepakbola, bersama rekan-rekan sesama tahanan dan penjaga kamp. Mulanya ia jadi penyerang, namun kelamaan dia jadi kiper pengganti setelah Günther Lühr, kiper andalan tim tahanan, cedera.
Jagoan Penalti yang Ditakuti
Meski belajar jadi kiper secara otodidak, kemampuan Trautmann cukup bikin para penjaga kamp terkesan, sampai dijuluki “Bert”. Sejak itu ia dikenal sebagai Bert Trautmann, nama yang digunakannya ketika diajak para penjaga kamp mengikuti laga-laga eksebisi melawan tim-tim lokal di luar kamp.
“Saya mengajukan diri (ke militer) umur tujuh belas. Saya mulanya pasukan payung. Bertempur di Rusia selama tiga tahun. Saya berada di Prancis setelah D-Day (Invasi Normandia). Sempat juga saya di Arnhem, kemudian Ardennes. Saya ditangkap pada Maret 1945 dan ke Inggris sebagai tawanan perang. Di Inggris itulah pelajaran hidup yang sesungguhnya buat saya dimulai pada usia 22,” kata Trautmann kepada Catrine Clay yang dituangkan dalam Trautmann’s Journey: From Hitler Youth to FA Cup Legend.
Pelajaran hidup itu terkait olahraga. Walau masih berstatus tahanan, ia bisa menikmatinya dengan leluasa, tak seperti di masa sebelumnya dalam medan perang.
“Olahraga sudah menjadi bagian dari hidup saya. Olahraga jadi penyaluran mental dalam segala situasi, baik maupun buruk, bahkan di Rusia ketika saya memerangi partisan dan kami harus menggantung diri di pepohonan dengan sabuk-sabuk kulit kami karena di situlah tempat paling aman. Bahkan di masa seperti itu, resimen punya tim bola tangan,” ungkapnya lagi kepada Clay yang menemuinya di Manchester pada Oktober 2007.
“Beberapakali juga saat terbebas dari tugas di front terdepan, kami memainkannya demi menjaga kewarasan. Setelah perang, di Inggris, sepakbola yang saya geluti, lalu menjadi kiper Manchester City dan tiba-tiba jadi orang yang dikenal. Sungguh tak bisa dipercaya,” lanjutnya.
Trautmann merintis kariernya sebagai kiper memang bermula dari tim tawanan perang. Ia memilih berdiam di Inggris meski ditawari repatriasi pulang ke negerinya setelah dibebaskan pada 1948. Sembari bekerja sebagai buruh tani, Trautmann main di liga amatir Liverpool County Combination bersama tim St. Helens Town.
Sebagai eks-tawanan dan tentara Jerman, Trautmann mendapat perlakuan tak mengenakkan dari publik. Tetapi perlahan ia bisa mengubah masa lalu kelam itu menjadi kekaguman berkat aksi-aksi apiknya di bawah mistar hingga mengantarkan St. Helens Town naik level ke divisi dua liga amatir, Lanchashire Combination, pada musim 1949-1950.
Beberapa klub Football League (kini Premier League) mendengar kisahnya. Dari sekian klub yang dirumorkan kepincut, Manchester City yang pertama meminangnya, 7 Oktober 1949. Trautmann langsung jadi pilihan utama sebulan berselang, setelah kiper utama Frank Swift pensiun.
Tetapi makin besar panggungnya, makin besar pula tekanan yang diterimanya dengan perundungan suporter yang sering meneriakinya “Kraut”, “Nazi”. Itu membuatnya harus menata mentalnya lagi dari nol. Beruntung dia didukung kapten tim Eric Westwood yang lebih dulu mengondusifkan internal tim. “Tidak ada perang di ruang ganti ini,” kataWestwood, yang juga eks-kombatan di Invasi Normandia, tegas.
Sementara di ruang publik, Rabi Alexander Altmann, pemuka Yahudi di Manchester, yang prihatin, merilis surat terbuka untuk para fans di suratkabar Manchester Evening Chronicle agar meredam teror terhadap Trautmann. “Dia (Altmann) menyatakan, apakah kita bisa menghukum seorang individu atas dosa-dosa sebuah negara?” sambung Steen.
Sebulan setelah surat terbuka itu, perundungan terhadap Trautmann mereda. Sang kiper pun menyambangi komunitas Yahudi untuk bertukar pengertian dan berterimakasih atas dukungan terhadapnya.
Selepas itu Trautmann bisa berkonsentrasi penuh pada kariernya di Man. City. Total ia mencatatkan 545 laga sejak 1949 hingga 1964. Suporter Man. City berubah menjadi kagum padanya. Selain karena skill, Trautmann dikagumi karena rendah hati dan senantiasa berkenan memberi tanda tangan usai laga.
“Selepas laga, saya masih akan selalu di lapangan memberi tanda tangan, biasanya sampai sejam, kadang lebih. Saya tak pernah mau menolaknya. Pemain lain bertanya: ‘Kenapa Anda mau melakukannya, Bert?’ Namun mereka tak mengerti. Setelah perang, saya jadi tawanan dan perlahan mulai diberi pengertian, diberi maaf dan mendapat banyak persahabatan. Saya ingin membalasnya, menunjukkan bahwa masih ada orang Jerman yang baik,” tuturnya kepada Clay lagi.
Trautmann jadi kiper yang ditakuti pemain lawan, utamanya kala tendangan penalti. Sepanjang kariernya, 60 persen penalti sukses ia mentahkan berkat intuisi dan kecermatan pandangannya melihat mata pemain lawan.
“Dia kiper terbaik yang pernah saya hadapi. Kami selalu mengatakan (pada rekan-rekan setim), jangan melihat gawang ketika mencoba mencetak gol ke gawang Bert. Karena jika melihat ke arah gawang, dia akan melihat mata Anda dan membaca pikiran Anda,” kenang legenda Manchester United Bobby Charlton, juga dikutip Clay.
Saking berharganya Trautmann, Man. City sampai menolak tawaran seribu poundsterling dari klub Jerman Schalke 04 yang ingin memulangkannya pada 1952. Man. City merasa Trautmann bernilai 20 kali lipat dari nilai tawaran Schalke.
Namun, kiper dengan gaya yang lebih gemar melempar bola jauh ketimbang melakukan tendangan gawang itu hanya bisa mengantarkan satu gelar buat Man. City, yakni gelar FA Cup musim 1955-1956. Di final, Trautmann dkk. menghadapi Birmingham City di Stadion Wembley, 5 Mei 1956. Sialnya, pada menit ke-75 ketika Man. City sedang unggul 3-1, terjadi insiden di mana Trautmann ditubruk pemain Birmingham Peter Murphy di kotak penalti. Lehernya nyeri dan ternyata ia mengalami patah leher.
Akan tetapi Trautmann menolak diganti walau menahan rasa sakit tak terkira. Sampai akhir laga, City tetap unggul dan berhak atas trofi FA Cup. “Saya tak pernah lagi merasa takut setelah berperang melawan partisan, bahkan untuk sebuah cedera patah leher. Anda bisa jadi kiper yang baik, namun untuk jadi kiper hebat Anda harus punya hati. Semua kiper hebat memilikinya: hati dan keberanian,” imbuh Trautmann.
Usai pemeriksaan x-ray tiga hari berselang, tim dokter menyatakan tulang tengkuk Trautmann mengalami dislokasi di lima titik. Ia pun harus absen di separuh musim berikutnya, setelah naik meja operasi. Meski comeback, Trautmann sering jadi kiper cadangan. Dia memutuskan mengakhiri 15 tahun kariernya di Man. City pada 15 April 1964 dengan sebuah laga eksebisi antara tim kombinasi Man. City-Man. United melawan tim International XI.
“Sebenarnya pertandingan tak pernah benar-benar berakhir. Suporter menyerbu ke lapangan sampai harus diamankan jalur buat kami bisa keluar lapangan. Secara emosional, itulah momen luar biasa saya. Tentu saya menangis dan saya tak malu mengakuinya,” tandasnya.
“Berapa banyak momen luar biasa yang pernah Anda alami seumur hidup? Saya selalu berterimakasih pada masyarakat Inggris, utamanya warga Lancashire dan rekan-rekan pesepakbola profesional yang menerima saya setelah masa perang dan sebagai seorang Jerman, dan membuat saya jadi seperti ini,” tutur Trautmann yang wafat pada 19 Juli 2013 akibat penyakit jantung.
Baca juga: Pionir Sarung Tangan Kiper
Tambahkan komentar
Belum ada komentar