CIA Kecewa pada PRRI
Utusan pergi ke Singapura meminta bantuan senjata. CIA tak mau bantu lagi karena kecewa pada PRRI.
Kapten Sebastian Tanamas bermarkas di Parit Surau. Pasukannya berada di bawah Sub Komando Daerah Riau (SKDR) yang memiliki daerah operasi di Riau Daratan. Pada 31 Mei 1958, kurir datang dari markas SKDR di Lintau, Tanah Datar, membawa perintah agar dia menghadiri rapat perwira.
Sebastian sampai di Lintau waktu isya. Rapat perwira telah berlangsung. Rapat dipimpin oleh Kastaf SKDR Kapten Djamhur Djamin karena Komandan SKDR Mayor Sjamsi Noerdin tengah pergi ke Solok, Sumatra Barat.
Rapat membahas bagaimana mencari bantuan senjata dan peralatan lainnya untuk melanjutkan perjuangan. Rapat memutuskan untuk mengirim utusan ke perwakilan PRRI di Singapura. Namun, tak ada yang bersedia pergi. Djamhur pun menaruh harapan kepada Sebastian.
“Bagaimana kalau saudara Bastian yang berangkat?” tanya Djamhur.
“Kalau tak ada yang bersedia, okelah,” jawab Sebastian.
“Ya, sebaiknya saudara yang pergi, sebab saudara yang banyak mengetahui perbatasan Riau-Singapura,” kata Djamhur.
Baca juga: Agen CIA dalam Pemberontakan di Sumatra
Keesokan harinya, Sebastian menerima surat jalan dan surat pengantar ke kantor perwakilan PRRI di Singapura. Dia sampai di Singapura pada akhir Juni 1958.
Dalam otobiografinya, Tak Menggantang Asap, Sebastian mengungkapkan bahwa tugasnya ke Singapura adalah menemui Sumitro Djojohadikusumo untuk meminta bantuan senjata dan lainnya buat pasukan PRRI sesuai rapat perwira di Lintau. Dia mendengar informasi bahwa Soemitro berada di sana sebab daerah operasinya adalah Singapura, Tokyo, dan Hongkong.
Sebastian kemudian bertemu dengan Eliza Pohan, kepala perwakilan PRRI di American Life Insurance, Singapura. Sebelum bergabung dengan PRRI, dia adalah perwakilan Kejaksaan Agung di Singapura. Simpatisan sosialis demokrat ini kemudian menjadi pendeta.
Baca juga: Pesawat CIA dalam PRRI/Permesta
Karena sebelumnya tak kenal dengan Sumitro, Sebastian mencari temannya, Martunus Hadi, yang konon membantu Sumitro keluar dari Indonesia dan masuk Singapura. Mereka kemudian bertemu Sumitro di sebuah rumah. Sebastian menyampaikan maksud kedatangannya. Namun, dia tak mendapat bantuan yang diharapkan.
“Tak ada lagi bantuan dari Amerika dan CIA karena Padang tidak melawan. CIA kecewa berhubung ibu kota PRRI jatuh ke tangan APRI yang tanpa pertempuran sama sekali,” kata Sumitro.
APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia) dengan mudah merebut kota-kota PRRI. APRI menyerang Pekanbaru pada 12 Maret 1958. Pasukan RPKAD (Kopassus) menguasai Bandara Simpang Tiga tanpa perlawanan. Bahkan, RPKAD menyita pasokan senjata yang didrop dari udara oleh pesawat CIA. Padang jatuh ke tangan APRI pada 17 April 1958. Tentara pusat kemudian menduduki Solok, Padang Panjang, dan ibu kota PRRI Bukittinggi, pada Mei 1958.
Baca juga: Teman Lama Ternyata CIA
Menurut Hendra Esmara dan Heru Cahyono dalam biografi resmi Sumitro Djojohadikusumo, Jejak Perlawanan Begawan Pejuang, memang benar kalangan pemberontak menjalin kontak dengan CIA dan mendapatkan pasokan senjata, namun Sumitro menolak keras tuduhan bahwa dia orang CIA. Sebab, sebagaimana gerakan bawah tanah, kontak juga dilakukan dengan intelijen-intelijen lain seperti intelijen Korea dan Prancis.
“Saya tahu George Kahin, profesor dari Universitas Cornell, mengidentifikasi saya sebagai agen CIA. Dia benar-benar ngawur. Banyak orang CIA justru membenci saya sebab saya nggak mau terlalu tunduk. Mereka kan mau mandori alias mendikte. Saya menolak didikte. Kalau mau kerja sama okelah, tinggal tukar pikiran dan informasi. Tapi, tidak hanya dengan Amerika, dengan intelijen dari Malaysia saya juga bina hubungan. Demikian pula dengan intelijen dari Thailand,” kata Sumitro.
Pergi ke Jepang
Selain tak ada bantuan untuk PRRI, Sebastian juga tidak akan dibantu apa-apa selama berada di Singapura. Daripada kembali dengan tangan kosong, dia pun memutuskan untuk pergi ke Jepang.
Di Jepang, Sebastian mengambil kursus bahasa Jepang di Sekolah Persahabatan Internasional (Kokusai Gaku-yukai). Setelah mengikuti kursus selama delapan bulan, dia berada di ranking kedua sewaktu diwisuda. Pada acara perpisahan, dia dan seorang Amerika, Frans, menjadi pemain utama sandiwara dalam bahasa Jepang.
Baca juga: Sukarno, Yakuza, dan CIA
“Sandiwara ini mendapat sambutan hangat,” kata Sebastian. “Di sini pula saya kemudian mengetahui bahwa rekan saya, Frans, adalah seorang agen CIA di Jepang.”
Setelah kursus bahasa Jepang, Sebastian masuk Akademi Fotografi Tokyo (Tokyo Shinshin Tanki Daigakku). Dia kemudian bekerja sebagai fotografer lepas untuk surat kabar besar Asahi Shinbun. Dia juga pernah menjadi penyiar dalam bahasa Indonesia di radio Nihon Hoso Kyokai (NHK) di Tokyo selama tiga tahun.
Sewaktu masih menjadi penyiar radio NHK, Sebastian mengetahui dari berbagai sumber dan surat istrinya bahwa pemerintah Indonesia memberikan amnesti dan abolisi kepada para pemberontak PRRI/Permesta sampai 15 Oktober 1961.
Baca juga: Agen Lokal CIA di Sumatra
Sebastian menerima telegram dari Letkol Ahmad Husein, ketua Dewan Banteng dan panglima Komando Daerah Militer Sumatra Tengah, yang ditulis atas nama komandannya, Sjamsi Noerdin. Telegram itu meminta Sebastian melapor kepada perwakilan Republik Indonesia terdekat karena pemerintah memberi amnesti dan abolisi.
Pada 4 Oktober 1961, Sebastian terbang ke Malaysia. Dia mengangkat sumpah di KBRI Kuala Lumpur dan menyatakan kembali ke pangkuan Republik Indonesia. Namun, Atase Militer Letkol Soepardjo Roestam memberi tahu bahwa Sebastian diperintahkan melapor ke Markas Besar Angkatan Darat (MBAD). Merasa sudah menjadi sipil, dia memutuskan tidak pergi melapor ke Jakarta. Dia kembali ke Jepang.
Jam Agen CIA
Akhirnya, Sebastian kembali ke Indonesia pada Mei 1963. Dia mengajukan lamaran kepada seorang kenalan, Zainul Linur, yang memimpin perusahaan Maskapai Pelayaran Sumatra di Jakarta. Namun, Komandan SUAD I Letkol Soepardjo Roestam meminta Zainul tak menerimanya.
SUAD memutuskan Sebastian sebagai tahanan kota sampai perkaranya dinyatakan selesai. Dia harus lapor setiap Senin ke kantor SUAD di Jalan Teuku Umar, Jakarta. Dia kemudian meminta bantuan mantan komandannya, Sjamsi Noerdin, untuk bertemu Soepardjo Roestam. Kebetulan Soepardjo Roestam pernah menjadi anak buah Sjamsi Noerdin ketika bertugas sebagai komandan seksi di Cilacap.
Baca juga: Agen CIA di Medan
Sjamsi Noerdin mengantar Sebastian ke rumah Soepardjo Roestam di Jalan Wijaya, Kebayoran Baru. Pertemuan berlangsung baik karena Soepardjo menghormati mantan komandannya. Soepardjo mengungkapkan kecurigaannya kepada Sebastian.
“Saya sebenarnya tak percaya paspormu hilang, Bastian,” kata Soepardjo yang kemudian akan menjabat duta besar di Yugoslavia dan Malaysia, gubernur Jawa Tengah, menteri dalam negeri, dan menteri koordinator bidang kesejahteraan rakyat.
Sewaktu di Kuala Lumpur, Sebastian menggunakan surat keterangan kehilangan paspor dari kantor polisi Kerajaan Malaysia, untuk meminta penggantian paspor. Dengan cara demikian, dia dapat segera kembali ke Jepang.
Baca juga: Ironi Operasi CIA di Indonesia
Selain soal paspor, Soepardjo juga mencurigai Sebastian karena jam yang dipakainya.
“Lalu masalah pun menjadi jelas,” kata Sebastian. “Soepardjo Roestam hanya ingin tahu mengapa saat itu saya memakai arloji yang hanya biasa dipakai oleh agen-agen CIA.”
Sebastian pun bebas setelah menjalani tahanan kota selama tiga bulan. Dia sumpah setia kepada Republik Indonesia. Selanjutnya, dia sukses menjadi pengusaha industri kerajinan rotan.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar