Ironi Operasi CIA di Indonesia
CIA mendukung pemberontakan PRRI/Permesta. Perwira militer Amerika ini malah membantu pihak Indonesia.
Awal April 1958, Kolonel Achmad Yani merencanakan sebuah operasi militer gabungan di ruang makan rumah Letkol Rukminto Hendraningrat di Jalan Lembang, Jakarta. Yani memilih rumah tetangganya itu karena di Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) tidak aman. Sebelumnya, perintah operasi darinya yang dirancang di MBAD telah disadap pemberontak PRRI/Permesta.
Rapat itu dihadiri Letkol Magenda, Letkol Achmad Sukendro dari staf intelijen Angkatan Darat, Letkol Kretarto, dan Letkol Ibnu Sutowo, yang harus merencanakan bantuan administrasi dan logistik untuk operasi.
Yani menghadapi kendala. Dia tak punya peta militer wilayah Sumatra. Pada tengah malam itu, dia menelepon sahabatnya, Mayor George C. Benson, untuk meminjam peta militer. Dia bertugas di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta sebagai asisten atase militer (mayor, 1956-1959), asisten khusus duta besar (letnan kolonel, 1962-1965), dan atase militer (kolonel, 1969-1972).
Selama sembilan tahun bermukim di Jakarta, Benson menjalin hubungan baik dengan para petinggi TNI, khususnya perwira Angkatan Darat, yang pernah mengikuti pendidikan militer di Amerika.
Baca juga: Agen CIA Pertama di Indonesia
“Benson segera datang dengan membawa peta yang dimintanya itu. Dia malahan ikut tinggal di sana ketika Yani bersama teman-temannya sedang merancang operasi penyerbuan untuk membebaskan Padang,” tulis Julius Pour dalam biografi Benny Moerdani: Profil Prajurit Negarawan.
Bahkan, menurut sejarawan Baskara T. Wardaya dalam Indonesia Melawan Amerika: Konflik Perang Dingin 1953-1963, Benson ikut membantu Yani dalam merencanakan serbuan-serbuan terhadap para pemberontak.
Mengapa Benson membantu pasukan pemerintah melawan pemberontak yang didukung CIA?
Menurut Baskara, ketidaktahuan Benson pada keterlibatan CIA dalam pemberontakan itu semakin menegaskan, baik atase militer maupun Kedutaan Besar Amerika di Jakarta, tidak diajak berkonsultasi terlebih dahulu oleh para pejabat di Washington mengenai dukungan terhadap para pemberontak.
Baca juga: Operasi Terakhir Frank Wisner di Indonesia
Dukungan CIA terhadap pemberontak berawal dari Frank Wisner, Deputi Direktur Perencanaan CIA, yang mengatakan kepada Alfred Al Ulmer, Kepala Divis CIA untuk Timur Jauh, bahwa “sudah saatnya membakar kaki Sukarno.”
Ulmer menerima laporan dari bawahannya, Val Goodell, Kepala Stasiun CIA di Jakarta, yang memanas-manasi agar segera melakukan operasi. Laporan itu dibawa Allen Dulles, Direktur CIA ke rapat mingguan di Gedung Putih.
Laporan itu berbunyi: “Situasi kritis…Sukarno seorang komunis terselubung…kirimkan senjata. Perwira-perwira Angkatan Darat yang memberontak di Sumatra adalah kunci bagi masa depan bangsa tersebut.” Dalam pesan telegram, Goodell menyebut bahwa “warga Sumatra siap untuk berperang, tetapi mereka kekurangan senjata.”
Operasi Haik
Dalam Membongkar Kegagalan CIA, Tim Weiner menyebut Goodell sangat tidak setuju dengan Hugh Cumming, Duta Besar Amerika untuk Indonesia yang akan segera habis masa jabatannya. Cumming mengatakan bahwa Sukarno masih terbuka terhadap pengaruh Amerika. Goodell kemudian juga berselisih dengan John M. Allison, pengganti Cumming. Allison pernah menjadi Duta Besar Amerika untuk Jepang dan Asisten Menteri Luar Negeri untuk urusan Timur Jauh.
“Mereka berdua dengan cepat sampai pada kebuntuan hubungan yang diwarnai kemarahan,” tulis Weiner.
Ketika datang ke Jakarta, Ulmer dan Goodell berdebat sengit dengan Allison dalam sebuah pembicaraan sore hari yang panjang dan tanpa hasil, di beranda kediaman sang duta besar. Setelah kembali ke Washington, Ulmer memengaruhi Dulles Bersaudara dengan menuduh Sukarno sebagai “orang yang tak terselamatkan” dan Allison sebagai “orang yang lunak terhadap komunisme”.
“Beberapa minggu kemudian, atas rekomendasi CIA, Allison, yang merupakan salah seorang staf yang paling menguasai masalah Asia yang masih tersisa di Departemen Luar Negeri, dibebaskan dari jabatannya, dan dengan pemberitahuan yang singkat ditugaskan kembali ke Cekoslovakia,” tulis Weiner.
Semetara itu, menurut Baskara, Cumming yang semula memiliki pandangan positif terhadap Indonesia, mulai tak menyukai Sukarno karena memberikan peran yang semakin besar kepada Partai Komunis Indonesia. Sekembalinya ke Washington, dia bekerja di bagian riset dan intelijen Departemen Luar Negeri. Dia juga diangkat menjadi penasihat utama Menteri Luar Negeri John Foster Dulles untuk masalah Indonesia. Pada saat yang sama, pandangannya tentang Indonesia dipengaruhi Direktur CIA Allen Dulles.
Menurut Weiner, John Foster Dulles menunjuk Cumming untuk mengawasi sebuah komite yang dipimpin oleh para perwira dari CIA dan Pentagon. Pada 13 September 1957, komite menyampaikan rekomendasi yang mendesak pemerintah Amerika agar menyuplai bantuan militer dan ekonomi secara rahasia kepada para perwira Angkatan Darat yang memberontak.
Pada 25 September 1957, Presiden Amerika Eisenhower memerintahkan CIA untuk menggulingkan pemerintahan Indonesia. Caranya: menyediakan senjata dan bantuan militer bagi para komandan militer yang anti-Sukarno; memperkuat determinasi, kemauan, dan kepaduan, para perwira pemberontak Angkatan Darat di Sumatra dan Sulawesi; serta mendukung dan mendorong elemen nonkomunis dan antikomunis di kalangan partai-partai politik.
CIA pun menggelar operasi bersandi Haik (HA, kode CIA untuk Indonesia). Perintah untuk operasi terbatas ini datang dari Frank Wisner kepada Ulmer, yang meneruskannya kepada bawahannya, John Mason. Mason bekerja sama dengan Pentagon untuk menyiapkan persenjataan untuk dikirim kepada para pemberontak.
Operasi CIA itu gagal. Pemberontak tidak memberikan perlawanan yang berarti kepada pasukan pemerintah. Operasi 17 Agustus yang dipimpin Kolonel Achmad Yani dengan mudah menduduki Padang, ibu kota PRRI/Permesta. Dan ada peran perwira militer Amerika dalam perencanaan operasi itu, yaitu George Benson, yang memberikan peta militer Sumatra kepada Yani.
Menurut Baskara, sebagaimana dinyatakan Kenneth Conboy dan James Morrison dalam Feet to the Fire: CIA Covert Operations in Indonesia, 1957-1958, keterlibatan Benson dalam persiapan operasi militer itu melahirkan sebuah ironi: “Seorang perwira Angkatan Darat yang antikomunis dan pro-Amerika (Yani), dibantu oleh seorang perwira Angkatan Darat Amerika (Benson) guna menumpas sebuah pemberontakan yang didukung oleh salah satu organ pemerintah Amerika (CIA).”
Ketika berkunjung ke Jakarta pada 1997, Benson mengungkapkan kepada Baskara bahwa dia sempat diumpat habis oleh sahabatnya, Jenderal TNI A.H. Nasution, ketika Nasution tahu bahwa Amerika terlibat dalam pemberontakan. Nasution merasa kecewa mengapa Benson merahasiakan keterlibatan Amerika itu. Namun, Benson sendiri mengaku benar-benar tidak tahu karena operasi itu dijalankan langsung oleh CIA tanpa sepengetahuan Kedutaan Besar Amerika di Jakarta.
Setelah Allen Pope Tertangkap
Sebagai perwira militer, Benson pada prinsipnya tidak setuju dengan keterlibatan CIA karena hubungan Indonesia dan Amerika, termasuk hubungan militer, sangat baik pada masa itu. Amerika, misalnya, memberikan beasiswa pendidikan dan latihan kepada beberapa perwira TNI di Amerika.
“Kedutaan Amerika menghindarkan saya dari segala informasi tentang PRRI. Akhirnya, ketika Allen Pope —seorang pilot Angkatan Udara Amerika— tertembak dan jatuh di Ambon pada 18 Mei 1958, baru saya mulai mengerti keadaan yang sesungguhnya,” kata Benson dalam wawancara dengan Tempo, 21 November 1999.
Benson lalu menemui Duta Besar Howard P. Jones, untuk menanyakan mengapa menyembunyikan semua informasi tentang keterlibatan Amerika dalam PRRI darinya. “Mereka menganggap saya terlalu dekat dengan pihak Angkatan Darat. Agaknya, mereka tidak ingin saya membocorkan keterlibatan Amerika kepada Indonesia. Boleh jadi juga karena mereka ingin ‘melindungi’ saya. Ketika itu saya, kan, masih muda sekali,” kata Benson.
Benson membesuk Allen Pope yang dirawat di Rumah Sakit Angkatan Laut di Jakarta. Ketika ditanya tentang operasi CIA di Indonesia, Pope menjawab: “Kita (Amerika) mendukung gerakan PRRI.” Allen Pope divonis mati, tapi diampuni oleh Sukarno sehingga dia bisa pulang ke Amerika.
Tertembaknya Allen Pope membongkar keterlibatan CIA dalam pemberontakan PRRI/Permesta.
“Kami harus melakukan apa yang bisa kami lakukan untuk menghentikan keterlibatan Amerika. Dan kami menganggap keterlibatan itu harus segera diakhiri,” kata Benson. “Tak lama setelah peristiwa itu, CIA pun menghentikan dukungannya terhadap PRRI. CIA adalah suatu lembaga yang banyak melakukan operasi rahasia. Bahkan, siapa tahu, sekarang CIA sedang beroperasi diam-diam di Indonesia.”
George C. Benson meninggal dunia pada 16 Desember 2007.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar