Sanghyang Siksa Kandang Karesian, Pedoman Masyarakat Sunda
Sebuah kitab pedoman hidup dibuat era Jayadewata. Penerapannya bisa membendung pengaruh agama Islam.
Masif-nya penyebaran agama Islam pada abad ke-16 nyaris membuat kerajaan Sunda Hindu tamat riwayatnya. Namun di era pemerintahan Prabu Jayadewata atau Sri Baduga Maharaja (1482-1521), pengaruh Islam di pusat kerajaan Sunda (Pakuan Pajajaran) berhasil dibendung.
Selama kurang lebih 39 tahun masa pemerintahannya, Jayadewata mampu menjaga ajaran Hindu tetap hidup di Pajajaran. Bagaimana sang raja melakukannya?
Dikisahkan Carita Parahyangan, dalam Sejarah Nasional Indonesia Jilid II karya Nugroho Notosusanto, dkk, Prabu Jayadewata membuat sebuah kitab pedoman hidup bernama Sanghyang Siksa Kandang Karesian (SSKK). Naskah berangka tahun 1440 Saka, atau 1518 Masehi ini bersifat ensiklopedis. Isinya memberikan gambaran tentang pedoman moral umum, dan bekal praktis untuk kehidupan bermasyarakat di Sunda Pajajaran.
Baca juga: Menggali Peninggalan Kerajaan Sunda Kuno
Dalam acara Seri Diskusi Naskah Nusantara “Kabuyutan dan Keutamaan Sanghyang Siksa Kandang Karesian: Teks Sunda Kuno dalam Dua Media Tulis” di Perpusatakaan Nasional Republik Indonesia, Jakarta Pusat, filolog Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) Ilham Nurhamsah menyebut jika SSKK menjadi salah satu ajaran yang sakral di masyarakat Sunda.
“Proses membaca naskah ini tidak dibaca begitu saja oleh masyarakat. Tetapi ada seorang yang membacanya, kemudian yang lain mendengarkan,” kata Ilham.
Kitab pedoman hidup milik masyarakat di kerajaan Sunda itu memuat banyak nilai dari ajaran Hindu dan ajaran karuhun (nenek moyang) yang dipercaya telah ada sebelum agama Hindu-Budha masuk ke Tatar Sunda. Naskah SSKK ini berisi ungkapan dan keterangan tentang sepuluh kesejahteraan (dasakreta), sepuluh pengabdian (dasa prebakti), sepuluh alat indra (panca indriya), lima pelindung (panca byapara), pembagian lima arah mata angin (sanghyang wuku lima), dan sebagainya.
Dalam bukunya, Sewaka Darma (Kropak 408); Sanghyang Siksa Kandang Karesian (Kropak 630); Amanat Galunggung (Kropak 632), Saleh Danasasmita, dkk menjelaskan jika naskah SSKK ini diajarkan oleh seorang budiman (pendeta suci) kepada mereka yang mencari kebahagiaan. Karenanya seluruh rakyat bisa mempelajarinya, tidak hanya terbatas kepada kalangan tertentu saja. Naskah ini pun banyak memuat tugas-tugas rakyat di dalam kerajaan yang dimaksudkan demi kepentingan pemerintahan.
“Kata karesian dalam naskah ini tidaklah dikonotasikan khusus dengan pengertian biara (tempat tinggal resi), melainkan dengan kearifan atau kewaspadaan hidup menurut ajaran darma. Ditinjau dari isinya, kata Siksa Kandang Karesian itu dapat diartikan bagian aturan atau ajaran tentang hidup arif berdasarkan darma,” kata Saleh.
Baca juga: Taktik Banten Taklukkan Pakuan Pajajaran
Naskah Sanghyang Siksa memuat berbagai peraturan sehari-hari yang ditujukan bagi ketentraman masyarakat. Di antaranya mengajarkan formasi perang, cara mengukur tanah, pertanda alam, mantra, makanan, pekerjaan dan keahlian, serta segala larangan dan anjuran dalam berbagai aspek kehidupan manusia.
Sementara dari hasil penelitian filolog Aditia Gunawan, dalam Sanghyang Sasana Maha Guru dan Kala Purbaka: Suntingan dan Terjemahan, Siksa Kandang mengandung nilai yang lebih mendasar. Pada salah satu terjemahan Siksa Kandang bahkan sampai mengurusi cara mengahadapi raja, berpakaian, sampai cara buang air yang benar di masyarakat.
“… tidak baik buang air besar di pinggir jalan, barangkali tercium oleh orang yang tidak sengaja lewat, takut nanti disumpahi dan disalahkan. Haruslah kita bercelana dan berpakaian lengkap, barangkali kita bertemu dengan raja atau mantra, haruslah kita berada di sebelah kiri dan berjongkok. Itulah yang disebut Siksa Kandang,” tulis Aditia.
Selama masa kekuasaan Prabu Jayadewata ajaran dalam naskah Sanghyang Siksa diperhatikan dengan sangat baik. Pemerintahan di Pakuan pada masa itu benar-benar menerapkan berbagai hal yang diajarkan dalam kitab SSKK. Rakyat pun diwajibkan untuk mengikutinya. Sehingga para pelanggar ajaran ini akan mendapat sanksi dari sang raja.
Baca juga: Kondisi Perbatasan Sunda dan Jawa
“Sang Jayadewata menjalankan pemerintahannya berdasarkan kitab-kitab hukum yang berlaku, sehingga pemerintahannya berjalan dengan aman dan tentram. Pada masa itu tidak terjadi perang. Jika pun terjadi rasa tidak aman, maka hal itu cumalah terjadi pada mereka yang berani melanggar Sanghyang Siksa saja,” tulis Nugroho.
Ajaran dalam SSKK terbukti mampu menghalau pengaruh Islam. Sehingga kendati masyarakat Muslim telah mengepung kerajaan Pajajaran –dari Barat melalui Banten, dan dari Timur melalui Cirebon serta Demak– wilayah pusat tetap dalam pengaruh Hindu. Selain karena pengaruh Raja Pajajaran yang begitu kuat di masyarakat, aturan hidup dalam SSKK yang telah diturunkan secara turun-temurun juga sedikit banyaknya mempengaruhi kehidupan masyarakat Sunda dalam berperilaku dan bertindak di dalam kerajaan.
Namun begitu Prabu Jayadewata mangkat, ajaran dalam SSKK tidak dijadikan pedoman wajib di masyarakat. Perbedaan situasi politik di kerajaan Sunda era Jayadewata dengan Prabu Surawisesa (1521-1535), ditambah konflik dengan Islam yang semakin meluas, membuat masa pemerintahan ini dijalankan dengan mengedepankan perang. Hingga akhrinya kerajaan Pajajaran benar-benar runtuh pada 1579 di masa Prabu Surya Kencana.
Meski demikian, berbagai ajaran Sanghyang Siksa Kandang tidak lenyap begitu saja di dalam diri masyarakat Sunda. Menurut Ilham, nilai-nilai di dalam naskah itu terus diturunkan dari generasi ke generasi, walau sudah semakin terbatas. “Ya, karena sebagian masih ada di dalam ingatan masyarakat Sunda sekarang,” ucapnya.
Baca juga: Sirnanya Kerajaan Pajajaran
Tambahkan komentar
Belum ada komentar