Menggali Peninggalan Kerajaan Sunda Kuno
Berbeda dengan Jawa Kuno, peninggalan Kerajaan Sunda Kuno terbatas dan tak lagi utuh.
TAK banyak peninggalan arkeologis dari masa Kerajaan Sunda Kuno yang bisa disaksikan. Padahal, kerajaan ini diperkirakan telah berkembang sejak abad ke-7 hingga abad ke-16 seiring kejatuhan Kerajaan Tarumanegara pada abad ke-7 M.
“Sedikit data yang ditinggalkan oleh Kerajaan Sunda sebelum abad ke-13 M,” tulis Agus Aris Munandar, arkeolog Universitas Indonesia, dalam Siliwangi, Sejarah, dan Budaya Sunda Kuno.
Dalam Tatar Sunda Masa Silam, Agus menyebut peninggalan berupa monumen atau bangunan belum dapat diketahui dengan lebih baik. Di Jawa bagian barat memang dijumpai banyak struktur atau monumen kuno. Namun, bangunan-bangun itu selalu dihubungkan dengan zaman yang lebih tua sebelum Kerajaan Sunda.
Contohnya, sejumlah peninggalan di Batu Jaya dan Segaran, Karawang Utara. Peninggalan itu cenderung dikaitkan dengan masa akhir Kerajaan Tarumanegara (abad ke-6 M).
Adapun Candi Cangkuang di Garut dipandang sebagai sisa bangunan candi tertua yang bernapaskan Hindu-Siwa. Ia lebih terkait dengan masa Kerajaan Galuh Kuno, yaitu abad ke-7-8 M, atau masa Sanjaya.
Sementara temuan sisa bangunan kuno di daerah Bojong Menje, Bandung hingga kini masih memunculkan tafsiran yang berbeda. Khususnya soal sejak kapan sisa kaki candi itu berasal. Ada yang memperkirakan sisa candi itu dibangun pada abad ke-5-6 M. Ada juga yang menempatkannya dari abad ke-7 M. Namun, para ahli sepakat, candi itu berkaitan dengan Kerajaan Tarumanegara.
Lalu pertanyaannya, apakah Kerajaan Sunda Kuno yang cukup lama berkembang itu sama sekali tak memberi jejak bangunan?
Pasca runtuhnya Kerajaan Tarumanegara, di Jawa Barat berdiri dua kerajaan, yaitu Galuh dan Sunda. Kedua kerajaan itu berkembang bersama sekira abad ke-7 hingga awal abad ke-8 M. Dalam Carita Parahyangan, Sanjaya yang bertakhta di Galuh menjadi menantu dari Maharaja Trarusbawa dari Sunda. Perkawinan itu membuat wilayah Sunda kembali bersatu di bawah satu penguasa.
Baca juga: Perang Bubat dalam memori orang Sunda
Tak seperti masa Jawa Kuno, keberadaan bangunan suci di Kerajaan Sunda Kuno tidak terlalu banyak diuraikan dalam karya sastra. “Dalam karya sastra Jawa Kuno penyebutan bangunan suci sering dijumpai walaupun bukan deskripsi lengkap. Dalam naskah Sunda hanya sepintas saja,” lanjut Agus.
Namun bukan berarti tak ada. Dalam “Bangunan Suci pada Masa Kerajaan Sunda: Data Arkeologi dan Sumber Tertulis,” yang terbit dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi VI, Agus Aris Munandar menyebut masyarakat Sunda Kuno sebenarnya punya tempat suci persemayaman dewa dan tanah bagi para wiku, yaitu kaum agamawan yang menarik diri dari dunia ramai. Masyarakatnya memeluk agama Hindu-Buddha sebagaimana masyarakat Jawa Kuno.
Namun yang berbeda adalah sebutannya. Sumber-sumber menyebutnya kabuyutan. Ada juga permukiman kaum agamawan disebut mandala. Sedangkan sasakala konsepnya mirip bangunan pendharmaan bagi raja yang telah mangkat.
Sasakala muncul dalam kitab Bujangga Manik, laporan perjalanan sang pendeta Sunda yang berkeliling Pulau Jawa pada akhir abad ke-15 M. Disebutkan di Arega Jati (gunung sejati) terdapat tempat Petirtaan Jalatunda sebagai monumen peringatan untuk Silih Wangi (Sasakala Silih Wangi).
“Sasakala adalah tempat untuk mengenang atau memuliakan tokoh yang telah mangkat. Sementara, pada candi pendharmaan (periode Jawa Timur, red.) raja yang telah mangkat dan dimuliakan itu dianggap sebagai dewa (dewaraja),” jelas Agus.
Kabuyutan, menurut Agus, mengacu pada tempat atau struktur bangunan yang mungkin berbeda dengan bangunan suci pada masa Jawa Kuno. Dalam Cerita Parahyangan muncul kalimat yang berhubungan dengan kabuyutan: “Yang membuat kabuyutan-kabuyutan dari sang Rama, dari sang Resi, dari sang disri, dari sang Tarahan bagi Parahyangan.”
Baca juga: Gajah Mada segan pada Kerajaan Sunda
Menurut Agus, sangat mungkin kabuyutan yang dimaksud Carita Parahyangan adalah bangunan suci atau tempat persemayaman para leluhur. Tempat suci itu juga disebut dalam naskah Amanat Galunggung. Bahkan dijelaskan betapa pentingnya kedudukan kabuyutan yang terdapat di Gunung Galunggung.
“Kabuyutan Galunggung mungkin merupakan kabuyutan utama yang disucikan masyarakat Sunda dan menjadi pusaka kerajaan,” kata Agus.
Naskah Bujangga Manik memberikan petunjuk lain soal bangunan suci di wilayah Sunda Kuno. Di Gunung Gede sekarang, terdapat kabuyutan yang dipuja dan dikeramatkan seluruh penduduk Pakuan. Dari sana diperoleh petunjuk bahwa ketika Kerajaan Sunda berpusat di Pakuan pada abad ke-15 M terdapat kabuyutan yang menjadi kabuyutan kerajaan.
Sumber lain adalah Prasasti Kebantenan. Dengan jelas dikatakan adanya daerah keagamaan yang diresmikan oleh Raja Sunda, Jayadewata atau Sri Baduga Maharaja (1482-1521) yang berkedudukan di Pakuan.
Prasasti itu berisi pesan sang raja untuk tak mengganggu gugat permukiman Jayagiri dan Sundasembawa, serta tanah dewa sasana yang ada di Gunung Samaya. Daerah itu merupakan larangan yang tak boleh ditariki pajak. Di sana tempat tinggal bagi para wiku. Bagi yang menggangu akan dibunuh.
Prasasti ini menyebut daerah larangan itu kabuyutan dan kawikuan. Sementara menurut Agus, kata sasana dalam bahasa Sunda Kuno mungkin sama pengertiannya dengan kata sasana dalam bahasa Jawa Kuno. Artinya mungkin tempat duduk. Jadi, dewa sasana dalam prasasti berarti tempat persemayaman dewa.
Kondisi Tak Lagi utuh
Sejauh ini, telah ditemukan beberapa sisa bangunan yang bisa dikaitkan dengan Kerajaan Sunda Kuno. Sayangnya tersebar di beberapa tempat yang berjauhan dan kondisinya hanya tinggal serakan batuan andesit atau bata.
Di daerah Pananjung, Pangandaran misalnya, penduduk setempat menyebut situs itu Batu Kalde. Di sana ditemukan balok-balok batu. Sebagian masih terkubur, sebagian lainnya berserak di permukaan tanah. Situs ini pernah diekskavasi Puslit Arkenas pada 1985 dan 1987. Hasilnya di sana pernah berdiri struktur bangunan.
Baca juga: Ambisi Gajah Mada di Perang Bubat
Menariknya, kemungkinan situs ini pernah pula dikunjungi oleh Bujangga Manik. Dalam laporannya dia menyebut sepulang dari Jawa Tengah dan Timur singgah di Desa Pananjung. Letaknya di sebuah tanjung yang menjorok ke laut selatan.
Lalu ada lagi tinggalan di Desa Karangkamulyan, Cisaga, Ciamis yang mirip dengan peninggalan tradisi megalitik. Namun dengan temuan batu mirip lapik arca kemungkinan situs ini terkait masa sejarah, khususnya Kerajaan Sunda.
“Bentuknya hampir mirip dengan bentuk lapik di Situs Batu Kalde. Lapik seperti itu dijumpai pula di dalam perwara selatan Candi Sambisari, Jawa Tengah,” kata Agus.
Di daerah Kuningan, Jawa Barat juga banyak situs yang kemungkinan bisa dikaitkan dengan perkembangan Kerajaan Sunda. Di Desa Sagarahiyang, Kuningan, di atas bukit yang disebut Pasir Sanghiyang terdapat arca Nandi yang telah rusak, lingga, dan yoni.
Adapun di Kawali, Ciamis terdapat kompleks makam kuno yang disebut Makam Astana Gede. Selain makam kuno, ditemukan juga serakan batu polos, pipih, panjang, bata kuno, dan lima prasasti. Dari bentuk huruf dan bahasanya, prasasti itu diperkirakan berasal dari abad ke-14 M. Bahkan disebut pula nama seorang Raja Sunda, Raja Niskala Wastukancana.
Di puncak Gunung Tampomas, Sumedang, ada juga tinggalan yang serupa dengan hasil kebudayaan megalitik. Namun, di bagian teratas dari punden, kabarnya pernah ditemukan dua arca Ganesha yang kini sudah hilang. Dengan adanya arca itu tentunya tinggalan di Tampomas memungkinkan terkait masa sejarah. Apalagi ciri-ciri pundennya, yang berpagar di teras teratas, mirip dengan yang ada di Karangkamulyan.
“Tinggalan arkeologis di Pananjung (Batu Kalde), di Bukit Sagarahyang, di puncak Tampomas, dan lainnya lagi termasuk pula sisa-sisa kabuyutan,” ujar Agus.
Baca juga: Cerita tutur Perang Bubat
Warisan Sunda Kuno sangat berbeda dengan peradaban Jawa Kuno yang relatif lebih terlihat. Kajian peradaban Jawa Kuno, kata Agus, pemahamannya dapat lebih luas juga mendalam berkat banyaknya sumber arkeologis dan sumber tertulis yang memadai.
“Kajian tentang Sunda Kuno bertumpu pada data yang terbatas juga sumber folklore yang kadang-kadang dapat membantuk juga untuk memecahkan permasalahan,” jelas Agus.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar