Sirnanya Kerajaan Pajajaran
Sekuat tenaga raja Sunda menjauhkan pemerintahannya dari pengaruh Islam, namun takdir menentukan keberadaan mereka harus berakhir.
MEMASUKI abad ke-15, hampir tidak ada kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara yang mampu menahan gempuran pengaruh Islam di wilayahnya. Bukan hanya di Jawa, fenomena peralihan kuasa agama itu juga terjadi di pulau-pulau lain. Tidak ada yang mampu menghentikannya. Dan keadaan itu akhirnya sampai juga mengancam tanah Pasundan pada abad ke-16.
Di Tatar Sunda sendiri usaha menghalau pengaruh Islam di tengah masyarakat sebenarnya telah dimulai sejak pertama kali agama itu masuk. Tercatat sejak era kekuasaan Galuh, para penguasa terus mengupayakan agar pengaruh Hindu-Buddha tetap menjadi yang utama di Jawa Barat. Bahkan ketika salah seorang pangeran Galuh yakni Haji Purwa, menjadi tokoh Muslim penting di tanah Sunda, kerajaan dengan cepat bertindak. Ia selamanya diasingkan dari negerinya sendiri oleh sang ayah.
Namun pertumbuhan Islam yang begitu cepat, ditambah semakin melemahnya kekuatan kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara membuat usaha raja-raja di tanah Sunda pada akhirnya tidak membuahkan hasil. Kekuasaan Hindu-Buddha semakin terdesak. Puncaknya, raja Sunda memindahkan pusat pemerintahannya dari Kawali (Ciamis) ke Pakuan (sekarang Bogor). Kerajaan Sunda di Pakuan Pajajaran pun menjadi benteng terakhir dan salah satu harapan untuk tetap menghidupkan ajaran Hindu-Buddha di Nusantara.
Baca juga: Jejak Kuasa Raja Sunda
"Alasan pemindahan pusat kekuasaan dari Galuh Pakuan (Kawali) ke Pakuan Pajajaran (kompleks kraton Panca Prasadha) oleh Prabu Jayadewata adalah kondisi geopolitik pada saat tersebut, karena posisi Kawali dirasakan sangat dekat dengan Cirebon yang pada saat tersebut merupakan pusat penyebaran Islam di Tatar Sunda bagian timur," kata sejarawan Sunda Budiansyah kepada Historia.
Selain untuk menjauhkan diri dari pengaruh Islam di Cirebon, kata Budiansyah, pemindahan pemerintahan itu juga dilakukan agar akses menuju pelabuhan utama (Sunda Kelapa) lebih mudah. Hal itu terkait dengan pertumbuhan ekonomi kerajaan yang terus meningkat seiring dengan besarnya koneksi perdagangan Sunda dengan dunia internasional.
Menahan Pengaruh Islam
Menurut Naskah Carita Parahyangan, dalam Tjarita Parahiyangan: Titilar Karuhun Urang Sunda Abad ke-16 karya Atja, Prabu Jayadewata (1482-1521) membangun sebuah kraton di Pakuan Pajajaran, yang diberi nama sri bima unta rayana madura suradipati. Raja yang memerintah kurang lebih 39 tahun itu dapat menekan (sementara) pengaruh Islam di wilayahnya.
"Sang Jayadewata menjalankan pemerintahannya berdasarkan kitab-kitab hukum yang berlaku, sehingga pemerintahannya berjalan dengan aman dan tentram. Pada masa itu tidak terjadi perang. Jika pun terjadi rasa tidak aman, maka hal itu cumalah terjadi pada mereka yang berani melanggar Sanghyang Siksa saja," tulis Nugroho Notosusanto, dkk. dalam Sejarah Nasional Indonesia II.
Meski begitu, pengaruh Islam bukannya tidak ada sama sekali di Pakuan Pajajaran. Pada masa damai ini pun sudah ada penduduk yang memilih memeluk Islam ketimbang mengikuti ajaran Hindu dari sang raja. Diberitakan penjelajah Portugis Tome Pires, dalam Suma Oriental, komunitas Muslim di wilayah Pajajaran banyak ditemukan di Cimanuk, kota pelabuhan yang menjadi batas kerajaan Sunda di sebelah timur.
Baca juga: Anak Raja Sunda Mencari Islam
Keberadaan komunitas Muslim itu sebenarnya cukup mengganggu pemerintahan Sunda yang bertekad mempertahankan kehinduannya. Namun Jayadewata memilih untuk tidak mengusiknya. Ia berusaha menghalau pengaruhnya dengan memperkuat ajaran agama Hindu di pusat. Sehingga kendati telah masuk Pajajaran, Islam tidak berkembang di pusat pemerintahan. Di samping itu, Jayadewata juga menjalin persekutuan dengan orang-orang Portugis yang kala itu telah menguasai Malaka.
Salah satu usaha Jayadewata menggiatkan pengajaran agama Hindu di wilayah kekuasaannya adalah dengan menulis Sanghyang Siksakandang Karesian. Naskah yang ditulis tahun 1518 itu merupakan pedoman hidup yang dianut oleh penduduk Sunda. Penafsirannya dilakukan berdasarkan ajaran-ajaran di dalam Hindu-Buddha dan aturan hidup yang diturunkan secara turun-temurun.
Mengalami Kehancuran
Pada 1522, di bawah pimpinan Surawisesa (1521-1535), Pajajaran menandatangani sebuah perjanjian dengan Portugis. Dalam perjanjian tersebut, Sunda meminta bantuan secara militer kepada Portugis jika sewaktu-waktu orang-orang Islam menyerang ke wilayahnya. Sebagai balasannya, Portugis diperbolehkan membangun benteng di sekitar bandar Banten dan menerima kiriman lada sebanyak 350 kwintal setiap tahunnya.
Peneliti J.C. Hageman dalam "Geschiedenis de Soenda-landen" dimuat Sunda Kelapa Sebagai Bandar Jalur Sutra: Kumpulan Makalah Diskusi, menyebutkan orang-orang yang terlibat dalam perjanjian itu. Dari pihak Sunda yang menandatangani perjanjian tersebut ialah Raja Sanghyang (Surawisesa) sendiri, dengan tiga orang pembantu utamanya masing-masing Mantri Dalem, Tumenggung Adipati, dan Syahbandar. Sedangkan dari pihak Portugis wakil-wakilnya ialah Fernando de Almeida, Francisco Anes, Manuel Mendes, Joao Countinho, Gil Barboza, Francisco Diaz, dan lain-lain.
Namun meski keduanya telah menyutujui perjanjian itu, pembangunan loji dan benteng tidak benar-benar bisa dilakukan oleh Portugis. Pada 1527 Sunda Kelapa telah dikuasai oleh pasukan Islam Demak pimpinan Faletehan (Fatahillah). Bangsa Portugis tidak bisa menembus pertahanan Islam yang telah rapat di sana. Berbagai usaha perebutan paksa pelabuhan pun tidak pernah membuahkan hasil.
Baca juga: Kondisi Perbatasan Sunda dan Jawa
Keadaan gawat juga mulai dirasakan Pajajaran. Sembari mengharapkan bantuan Portugis yang tidak pernah tiba, Surawisesa mencoba melawan sekuat tenaga desakan pasukan Islam. Tidak hanya dari Barat, Islam juga telah merangsak masuk dari arah Timur. Tercatat raja Sunda itu telah terlibat dalam 15 kali peperangan, dan tidak sekalipun mengalami kekalahan yang mengancam kerajaannya.
"Ini dapat ditafsirkan bahwa sampai pada masa pemerintahannya, walaupun ancaman pihak Islam sudah sering terbukti, tetapi pihak Sunda masih dapat bertahan dan mengalahkan tentara Islam itu," tulis Notosusanto.
Kemunduran kekuatan Sunda mulai terasa ketika Prabu Ratudewata (1535-1643) menduduki takhta. Keadaan berperang terus menghantui Sunda. Kekuatan Islam yang semakin besar tidak dapat diimbangi oleh pasukan Pajajaran yang mulai melemah. Pada masa ini, serbuan pasukan Islam telah berhasil menjatuhkan berbagai daerah milik kerajaan Sunda, termasuk Sumedang dan Ciranjang. Banyak pemimpin daerah vasal yang gugur. Ibu kota di Pakuan pun tidak luput dari kehancuran.
Baca juga: Pemimpin Ideal ala Sunda
Akibat dari jatuhnya Pakuan, raja terpaksa meninggalkan istananya. Ia dan beberapa pejabat melarikan diri ke wilayah yang masih aman. Pada masa pemerintahan raja yang terakhir, Raga Mulya (Prabu Surya Kencana), kerajaan Sunda sudah tidak dapat lagi mempertahankan kedudukannya. Pasukan Islam telah mendominasi jalannya pertempuran. Sunda sudah tidak memiliki cukup kekuatan untuk melawan. Ditambah perubahan kepercayaan di masyarat terhadap penguasa Sunda juga turut mempengaruhi kejatuhan penguasa barat Jawa tersebut.
"Dan bersamaan dengan itu (jatuhnya berbagai wilayah kekuasaan), tamat pulalah riwayat kerajaan Sunda sebagai salah satu benteng terakhir budaya Hindu-Budha di Indonesia. Kira-kira pada 1579 Masehi."
Tambahkan komentar
Belum ada komentar