Jejak Kuasa Raja Sunda
Mengukur besarnya kekuasaan terakhir raja Sunda sebelum Islam datang ke Jawa Barat.
PERJALANAN penjelajah Portugis Tome Pires akhirnya sampai juga di Jawa. Sebuah negeri yang kebudayaannya jelas berbeda dengan Malaka (basis kekuatan Portugis di Asia) cukup membuatnya tercengang. Kondisi budaya dan politik di sana telah memberi pemahaman baru baginya. Satu kerajaan yang menarik perhatian sang penjelajah adalah Kerajaan Sunda, sang penguasa bagian barat Jawa.
Keberadaan Sunda telah banyak diketahui Pires sejak pendaratan pertamanya di Jawa. Ia mendapat kabar dari orang-orang di pelabuhan tentang negeri itu. Berdasar informasi tersebut, Pires lalu menulis di dalam catatan perjalanannya, Suma Oriental, tentang gambaran Kerajaan Sunda.
“Sebagian orang menegaskan bahwa Kerajaan Sunda menguasai setengah Pulau Jawa. Sebagian lainnya, yakni orang-orang yang memiliki kedudukan dalam pemerintahan, meyakini bahwa Kerajaan Sunda menduduki sepertiga atau seperdelapan bagian pulau,” tulisnya.
Pires menyaksikan secara langsung besarnya kekuasaan Raja Sunda di pulau tersebut. Namun sayang apa yang dilihatnya itu adalah akhir dari perjalanan kerajaan Hindu-Budha tersebut di Jawa Barat sebelum Islam benar-benar berkuasa di sana.
Baca juga: Candi-candi Kerajaan Sunda Kuno
Besar Kekuasaan
Dalam Sejarah Nasional Indonesia Jilid II, diketahui bahwa Kerajaan Sunda yang disaksikan oleh Pires merupakan Kerajaan Pakuan Pajajaran. Menurut berita dari prasasti Batutulis, kerajaan ini awalnya berpusat di Kawali namun karena keadaan tertentu akhirnya memutuskan untuk memindahkan kekuasaannya ke tempat yang sekarang dikenal sebagai Bogor (Buitenzorg). Raja yang memerintah saat itu adalah Prabu Guru Dewataprana.
Administrator Inggris John Crawfurd saat melakukan penelitian tentang Nusantara pada pertengahan abad ke-19, dalam A Descriptive Dictionary of the Indian Islands and Adjacent Countries, pernah mengungkapkan keberadaan Kerajaan Pajajaran ini berdasarkan penemuan prasasti dan sisa-sisa istana. Ia memperjelas informasi yang dibagikan oleh Pires.
“Pajajaran ialah nama sebuah kerajaan kuno di Jawa, ibu kotanya terletak di Bogor, yang berada di wilayah Sunda, 40 mil di timur Batavia (Jakarta). Dugaan ini muncul akibat ditemukannya fondasi istana dan batu prasasti,” ucap Crawfurd.
Sejarawan Nugroho Notosusanto juga membenarkan penelitian Crawfurd tersebut berdasarkan sumber-sumber lokal, seperti Carita Parahyangan: “Adanya sebuah bangunan induk, di samping bangunan-bangunan lain yang ada di kompleks tersebut. Rupanya di bangunan induk itulah raja bersemayam sementara di bangunan-bangunan lainnya tinggal para pejabat kerajaan serta kerabat dekat keraton yang lain.”
Baca juga: Menggali Peninggalan Kerajaan Sunda Kuno
Di sebuah tempat bernama Dayo (dayeuh/kota), raja menghabiskan sebagian besar waktunya. Kota yang cukup besar itu dipenuhi oleh rumah-rumah berbahan utama kayu, dan beratap daun kelapa. Kondisinya terlihat lebih baik jika dibandingakan dengan daerah-daerah di sekitarnya. Dari pelabuhan utama yakni Sunda Kelapa, perjalanan ke Dayo membutuhkan waktu kurang lebih dua hari.
Raja Sunda, kata Pires, merupakan orang yang taat beribadah. Ia dikelilingi oleh ahli-ahli agama. Masyarakatnya pun dikenal sebagai ksatria dan pelaut yang unggul. Bahkan dikatakan lebih baik daripada pelaut dan ksatria dari Jawa (bagian timur). Di beberapa tempat masyarakatnya lebih banyak menghabiskan waktu dengan menggembala ternak dan becocok tanam.
“Pria-pria Sunda berwajah rupawan, berkulit gelap dan berperawakan tegap,” kata Pires.
Setiap tahunnya Kerajaan Pajajaran mampu menjual beras sebanyak ribuan ton (lebih dari 10 jung). Selain itu mereka mampu menghasilkan sayur-mayur yang tak terhitung jumlahnya, serta menjual aneka hewan yang tidak dapat dipastikan jumlahnya. Selain bahan makanan, Pajajaran juga memperjualbelikan para budak (laki-laki dan perempuan).
Salah satu bukti besarnya Kerajaan Pajajaran ini juga terlihat dari kepemilikan raja atas 4000 ekor kuda dan 40 ekor gajah yang dipelihara. Raja menggunakan gajah-gajah itu untuk beberapa acara kerajaan, tidak sebagai alat berperang. Selama berada di Pajajaran, Pires tidak melihat adanya konflik di masyarakat. Menurutnya raja memerintah dengan adil dan bijak sehingga rakyatnya berada dalam keadaan yang selalu baik.
Baca juga: Taktik Banten Taklukkan Pakuan Pajajaran
Kerajaan Pajajaran telah melakukan perdagangan secara luas dengan negeri-negeri di sekitarnya. Bahkan mereka telah mencapai Malaka untuk bertransaksi dengan bangsa Portugis. Beberapa komoditi, termasuk bermacam kain khas Sunda, dikirim ke Malaka. Hubungan baik juga terjalin antara orang-orang Sunda dengan pedagang Arab dan Tiongkok di negerinya.
“Mereka sudah terbiasa dengan perdagangan. Orang-orang Sunda sering pergi ke Malaka untuk berdagang. Mereka akan menaiki kapal-kapal kargo bermuatan 150 ton. Sunda memiliki lebih dari 6 jung dan lanchara-lanchara khas Sunda yang memiliki tiang kapal berbentuk bangu dan anak tangga di antara tiap kapal sehingga mudah untuk dikemudikan,” tulis Pires.
Namun gambaran betapa besarnya kekuasaan Kerajaan Pajajaran oleh Pires itu hanya terjadi selama keberadaannya di sana. Setelah ia meninggalkan negeri itu, konflik anatara Sunda yang masih berpegang kepada Hindu-Budha, dengan Islam mulai memanas. Puncaknya, kira-kira pada 1579, kerajaan Sunda ini berhasil diduduki oleh kekuatan Islam. Perubahan di pemerintahan tentu berpengaruh besar pada kondisi masyarakat dan negeri Pajajaran dikemudian hari.
Baca juga: Putri Sunda Penyebab Perang Bubat
Tambahkan komentar
Belum ada komentar