Persiapan Kertanagara Hadapi Kubilai Khan
Raja terakhir dan terbesar Singhasari ini mempersiapkan diri secara fisik dan spiritual untuk menghadapi Kubilai Khan. Dia menjalani ritual Tantra.
SEBELUM meregang nyawa, Raja Singhasari, Kertanagara, melakukan upacara terakhir untuk membangkitkan kekuatan lain di luar dirinya. Dia mendapatkannya melalui ritual Tantrayana, sekte yang sering dianggap sebagai jalan mempercepat diri mendapatkan kekuatan.
Aspek religi ketika masa Hindu Buddha memang merasuk kuat dalam kehidupan masyarakatnya. Kekuatan fisik dan batin menjadi pencapaian yang diinginkan oleh orang-orang tertentu.
“Realitas politik ada yang disebut balance of power. Eranya ketika itu pola keseimbangan ini merasuk di politik religi,” kata Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar sejarah di Universitas Negeri Malang.
Baca juga: Kertanagara Melawan Kubilai Khan
Ketika itu, Kertanagara berusaha mengimbangi Kaisar Mongol Kubilai Khan yang menganut Buddha Tantrayana aliran kalacakra. Aliran ini mulai berkembang di Benggala menjelang akhir pemerintahan dinasti Pala. Dari sana menyebar ke Tibet dan Nepal.
Dari Tibet, tulis Bernard H.M. Vlekke dalam Nusantara, Tantrisme menyebar didorong oleh pengetahuan bahwa Kubilai Khan telah dibaiat dalam ilmu gaib serta praktik Tantris. Kubilai Khan rupanya sangat tertarik dengan aliran ini karena sesuai jiwa bangsa Mongol.
Melihat hal itu, tulis Sejarah Nasional Indonesia II, Kertanagara akhirnya sengaja mempersiapkan diri secara fisik dan spiritual untuk menghadapi ancaman Kubilai Khan. Caranya dengan menjalankan ritual-ritual Tantris. Setelah merasa kuat, dia berani menolak dengan kasar utusan Mongol yang datang pada 1289.
Aliran keagamaan yang dianut Kertanagara itu dapat disimpulkan lewat Kakawin Nagarakrtagama. Pun dari kenyataan dia ditahbiskan sebagai Jina di Kuburan Wurara pada 1289. Arca pentahbisannya berupa arca Aksobhya yang digambarkan dengan kepala gundul. Arca itu kini terkenal dengan nama Joko Dolog di Surabaya.
Dengan tingkatannya itu, bagi Kertanagara tak ada lagi hal yang terlarang. Dia bisa dengan sadar melakukan pancamakara, atau ma lima.
Baca juga: Kegagalan Kubilai Khan di Jawa
Menurut Slamet Muljana dalam Menuju Puncak Kemegahan, dengan menjadi Jina, artinya Kertanagara tak hanya menguasai kekuatan gaib di semesta alam. Dia pun menguasai kerajaan secara nyata.
Diharapkan dasar pikiran Kertanagara sebagai Jina itu juga mempengaruhi politik kenegaraan yang dipegangnya. Sebagai Jina yang menguasai kekuasatan gaib di alam semesta, dia merasa kuat dan mampu menghindarkan segala bencana. Sementara, sebagai raja yang berkuasa di Singhasari, dia merasa sebagai kekuatan yang tertinggi.
“Kekuasaan rohaniah, juga menguasai kerajaan secara nyata. Kekuasaan rohaniah dan lahiriah yang terdapat pada satu orang itu pasti saling mempengaruhi,” catat Slamet Muljana.
Setidaknya itu yang ada dalam pikiran orang-orang di masa lalu. Tak heran, kata Suwardono, sejarawan Malang, ketika suatu kota dimasuki musuh, yang terpenting bukan hanya raja yang dibunuh. Bukan pula secara fisik kota yang dibumihanguskan. Namun, secara filsafat magis religi pun harus dirusak. Artinya, untuk membunuh kekebalan, magis dari suatu kota harus dihancurkan.
“Di daerah Karangwaru, ternyata ada arca Camundi yang ditemukan dalam keadaan hancur,” jelasnya.
Baca juga: Alasan Kubilai Khan Menyerang Jawa
Dewi Camundi dijadikan dewa utama yang dipuja dalam ritus Tantra. Menurutnya, arca peninggalan masa Kertanagara yang kini disimpan di Pusat Informasi Majapahit, Trowulan itu, hancur bukan karena proses alam. Dari pecahannya, bisa diketahui kalau arca itu memang sengaja dihancurkan.
“Kalau hancur karena roboh pasti hanya dua tiga. Ini kecil-kecil. Kalau begitu apa? Itu berarti image religi harus dihancurkan. Sehingga tantris hilang, kekuatan tantra hilang,” jelasnya.
Karena pemahaman semacam inilah, bekas bangunan keraton masa lalu di Indonesia sulit ditemukan hingga kini. Keraton yang sudah pernah dimasuki musuh, haram untuk ditempati kembali. “Sarananya harus dihancurkan,” tegas Suwardono.
Meski begitu, agaknya persoalan Tantrayana ini masih menjadi perdebatan bahkan di kalangan para penulis kitab pada masa lalu. Menurut George Coedes dalam Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha, kepribadian Kertanagara ditanggapi dengan cara yang sangat berbeda oleh beberapa sumber sejarah. Misalnya dalam Negarakrtagama dan Pararaton, meskipun sama-sama membahas genealogi raja-raja Jawa.
“Dia kadangkala ditampilkan sebagai budayawan yang sangat halus (Nagarakrtagama, red.), kadangkala sebagai pemabuk,” kata Coedes.
Baca juga: Ekspedisi Kubilai Khan ke Jawa
Pararaton dan Harsawijaya memilih mengabadikan Kertanagara sedang bermabuk-mabukan ketika diserang Jayakatwang. Padahal, menurut Suwardono, saat itu dia tengah melaksanakan upacara Tantrayana yang bermaksud mendatangkan Dewi Heruka, kekuatan feminim yang bersifat tantris.
“Baca Prasasti Gadjah Mada, banyak pendeta dan patih yang mati bersama Kertanagara. Pendeta siapa? Ya itu mereka yang ikut upacara untuk mendatangkan Heruka. Tapi terlambat keburu datang serangan Jayakatwang,” jelas Suwardono. Upacara akhirnya berjalan tak tuntas, Kertanagara tewas dan Singhasari luluh lantak.
Baca juga: Enam Kegagalan Mongol di Seluruh Dunia
Tambahkan komentar
Belum ada komentar