Alasan Khubilai Khan Menyerang Jawa
Khubilai Khan mengirim pasukan ke Jawa bukan hanya karena utusannya dilukai oleh Kertanagara. Ada alasan lain.
MEMPERLAKUKAN Meng Qi dengan buruk adalah dosa yang dibuat Raja Singhasari Kertanagara, sehingga Khubilai Khan harus menghukumnya. Itulah alasan kedatangan bangsa Mongol ke Jawa sebagaimana dikisahkan dalam Sejarah Dinasti Yuan (Yuan Shi). Namun, tak hanya karena itu Khubilai Khan mengirim pasukan ke Jawa.
David W. Bade, pakar perpustakaan di Joseph Regenstein Library Universitas Chicago, dalam Of Palm Wine, Women and War: The Mongolian Naval Expedition to Java in the 13th Century menjelaskan, sebelumnya banyak diyakini kalau ekspedisi Khubilai Khan ke Jawa sebenarnya demi menguasai perdagangan laut. Saat itu, Jawa menjadi negara terakhir di selatan Tiongkok yang menolak tunduk. Pengaruh Jawa semakin besar setelah mengirim utusan ke Malayu dalam ekspedisi Pamalayu. Belum lagi pengaruh Sriwijaya yang memang sudah semakin pudar. Pada masanya, Sriwijaya punya hubungan baik dengan Tiongkok.
Sejak itu, lanjut David Bade, semakin banyak lagi pemikiran lain soal motif Mongol ke Jawa. Kemungkinan invasi Mongol ke Jawa hanya karena hasrat Khubilai Khan mengirimkan angkatan lautnya dan juga amarahnya setelah Meng Qi dilukai, masih terus dipertanyakan.
Perdagangan Rempah
Sejarawan Queens College dan Columbia University, Morris Rossabi salah satu yang meragukan jika ekspedisi Mongol ke Jawa hanya untuk menghukum orang asing yang melukai utusannya. “Sementara banyak sekali yang harus dipertaruhkan dalam ekspedisi ini,” tulis Rossabi dalam Khubilai Khan: His Life and Times.
Rossabi beranggapan utusan ke Jawa, sejak 1281 hingga insiden Meng Qi, yang dilanjut kedatangan armada militer Mongol pada 1293, sangat terkait perdagangan rempah di wilayah kepulauan selatan Tiongkok itu. Menurutnya, Raja Jawa, Kertanagara, ketakutan jika Yuan mengambil alih kontrolnya atas perdagangan rempah di Asia Tenggara.
“Dia pun meresponsnya dengan mencap wajah utusan Mongol. Sementara Khubilai menggunakannya sebagai dalih untuk mengirimkan ekspedisi melawan Jawa,” tulis Rossabi.
Pendapat Rossabi dibantah David Bade. Menurutnya ada dua alasan mengapa motif ingin menguasai perdagangan rempah sulit diterima. Pertama, Kertanagara tidak mengontrol perdagangan rempah. Tak ada buktinya. Kedua, jika Khubilai Khan ingin berkompetisi dalam perdagangan rempah dengan siapapun, harusnya bukan dengan orang Jawa, melainkan dengan pedagang Arab yang ada di negaranya sendiri maupun di tempat lain. Perdagangan maritim di hampir seluruh pelabuhan, dari Maroko di barat sampai Jepang dan Korea di timur, ada di genggaman pedagang Arab.
Malah setelah kedatangan Meng Qi hubungan dagang kedua negara itu masih terus berlanjut. Indikasi itu diperlihatkan oleh sumber naskah Jawa. Berdasarkan Kidung Panji Wijayakrama ketika Raden Wijaya di Majapahit, sesudah Kertanagara tewas, seluruh dunia datang ke Majapahit untuk berdagang. Semuanya mendapatkan perlakuan yang baik dari penguasanya, Raden Wijaya. Dalam kidung itu juga disebut Aria Wiraraja, seorang adipati di Madura menawarkan hadiah rempah-rempah dari Tiongkok untuk Jayakatwang.
Adapun Pararaton menyebut ketika Aria Wiraraja memutuskan meminta bantuan Raja Tartar, dia mengirimkan surat menggunakan kapal milik orang Tartar yang ada di Jawa untuk berdagang.
Kapal-kapal Yuan yang ada di Jawa menjadi lebih mungkin atas nama pemerintah Yuan. Itu dengan kenyataan adanya larangan perdagangan secara personal pada 1284, yang belum dibatalkan hingga 1294.
Dengan kisah dari sumber naskah itu artinya Khubilai Khan ke Jawa bukannya ingin mengontrol atau menguasai perdagangan. Setelah Meng Qi ditolak dengan kasar oleh Kertanagara pun pedagang Yuan masih bisa berniaga di Jawa.
“Penjelasan Khubilai-Kertanagara terlibat dalam perang perdagangan adalah hipotesa yang harus diuji kembali,” tulis David Bade.
Sementara, ada pula anggapan kalau urusan pemberian upeti dalam hubungan luar negeri Tiongkok tak mesti melulu soal politik, seperti hubungan kerajaan bawahan kepada kerajaan di atasnya. Dalam konteks hubungan dengan Tiongkok, hal itu juga bisa mengarah pada perdagangan terbuka.
Menurut W.P. Groeneveldt dalam Nusantara dalam Catatan Tionghoa, sejak masa awal sejarah Tiongkok, mereka selalu mencatat kedatangan sejumlah penguasa asing yang memberikan penghormatan kepada kaisar. Para penguasa dari negara-negara yang lebih kecil di Asia sering melakukan perdagangan dan memperluas operasi mereka hingga ke Tiongkok. Mereka selalu membawa hadiah demi mengambil hati penguasa Tiongkok.
Cara itu diikuti para pedagang swasta yang menyamar sebagai utusan dari negara jauh. Dengan memberikan sedikit barang dagangan, mereka ingin mendapatkan fasilitas perdagangan atau mendapatkan akses hingga ke ibukota. Mereka tidak rugi karena barang dagangan ini akan diganti dengan nilai berlipat ganda.
“Keuntungan utama hubungan ini adalah kesempatan bagi para penguasa di negara-negara lain agar bisa berdagang di Tiongkok,” tulis Groeneveldt.
Pada masa lalu, Tiongkok dipandang tinggi oleh negara lain, khususnya negara-negara di Asia. Budayanya tinggi, istananya mewah, luas dan kayanya wilayah Tiongkok membuat kagum negara-negara itu. Karenanya para penguasa merasa mendapat kehormatan jika bisa menjalin hubungan dengan Tiongkok.
“Hal yang sama terjadi di belahan dunia lainnya, di mana semua merasa terhormat jika bisa menjalin hubungan dengan Romawi,” tulis Groeneveldt. Kendati begitu, supremasi Tiongkok terhadap negara-negara lain adalah dogma nasional yang begitu tertanam bahwa kaisar ditunjuk Langit untuk menjadi penguasa dunia.
Perhatian utama kaisar Tiongkok hanya perlu diberikan kepada bangsa yang dipilih Langit, yaitu Tiongkok. Semua negara harus tunduk kepadanya. Jika ada yang memberikan hadiah (upeti), walaupun sedikit harus diterima dengan tangan terbuka dan dibantu sesuai dengan kebutuhannya.
Dengan pola pikir begitu, tak heran jika orang-orang Tiongkok merasa perlu menghukum mereka yang tidak mengakui superioritas Tiongkok. “Bangsa Tionghoa bahkan menjadikan upaya kontak dagang biasa menjadi pengakuan atas superioritas mereka,” tulis Groeneveldt.
[pages]
Ahangkara
Pola pikir itulah yang ditolak mentah-mentah Kertanagara. Menurut Agus Aris Munandar, arkeolog Universitas Indonesia, Meng Qi paling tidak sudah tiga kali datang ke Jawa. Utusan itu menyampaikan kalau penguasa Tiongkok yang baru, Kaisar Yuan, ingin agar Singhasari mengakui kekuasannya. Sebagai bukti pengakuan, dia ingin Singhasari mengirimkan upeti secara periodik ke Tiongkok.
“Artinya mengakui kekuasaan Tiongkok. Kalau hanya kirim sebagai hadiah tidak apa-apa, tapi kalau disuruh secara periodik, di situ Kertanagara marah. Lalu dilukailah wajahnya (Meng Qi, red.),” jelas Agus ketika ditemui di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat.
Agus mengatakan bahwa tafsir soal motif kedatangan Mongol memang beragam. Namun, dia tak sepakat jika kedatangan Mongol demi mencaplok Singhasari dan memperluas kekuasaan Yuan. “Tujuannya bukan untuk ekspansi atau minta wilayah. Tapi minta pengakuan dari Jawa. Nah, Kertanagara tidak mau,” ujar Agus.
Menurut Agus, yang belum diketahui para peneliti selama ini adalah Kertanagara memiliki sifat ahangkara. Hal ini tercatat dalam Prasasti Camundi dari 1292 M. Isinya, Sri Maharaja telah puas dengan kemenangan-kemenangannya di semua tempat dan menjadi payung pelindung seluruh dwipantara.
“Apa itu (ahangkara, red.)? Dia menganggap bangga dengan kekuatan sendiri. Dia merasa kuat, raja besar, selalu ingin unggul dari musuh-musuhnya,” jelas Agus.
Sementara itu, Slamet Muljana dalam Menuju Puncak Kemegahan, menilai Khubilai Khan juga punya sifat yang sama. Keduanya kebetulan hidup sezaman. Muncul dan wafatnya juga hampir bersamaan. Khubilai Khan menjadi penguasa penuh atas Tiongkok pada 1279 dan wafat pada 1294. Sementara Kertanagara memerintah dari 1268-1292.
“Dalam rangka watak ahangkara dan politik Khubilai Khan dan watak ahangkara Kertanagara di lain pihak, kita dapat memahami sepenuhnya peristiwa tentara Tartar,” jelas Slamet.
Adapun insiden Meng Qi justru tak disebut-sebut dalam sumber-sumber di Jawa. Namun, apapun sebenarnya alasan Meng Qi ke Jawa, hal buruk yang diterimanya sejauh ini masih disepakati sebagai penyebab Khubilai Khan marah sehingga Mongol menyerbu Jawa.
[pages]
Tambahkan komentar
Belum ada komentar