Sukarno, Patung, dan Patung Sukarno
Sukarno membangun patung dan monumen tentang gagasannya. Patung Sukarno pertama di ruang publik dibangun masa Orde Baru. Sebelumnya, patung pertama Sukarno dibuat oleh pengagumnya seorang animator.
SETELAH kontroversi patung Sukarno yang akan dibangun di Bandung Barat, kini viral patung Sukarno di Bung Karno Sport Center Kabupaten Banyuasin, Sumatra Selatan. Pembangunannya menelan biaya sekitar 500 juta. Patung ini dipersoalkan karena tidak mirip Sukarno; mukanya tembem serta kaki dan badannya besar.
Tampaknya Sukarno merupakan tokoh sejarah yang paling banyak dibuatkan patung. Berbagai daerah seolah berlomba-lomba membangunnya. Di satu daerah saja bisa ada beberapa patung Sukarno.
Sukarno memang suka pada seni dan arsitektur. Ia mengoleksi lukisan dan tertarik pada patung serta monumen. Namun, bukan tentang dirinya tetapi gagasannya. Gagasan itu mewujud dalam patung dan monumen yang menjadi landmark kota, seperti Patung Selamat Datang, Patung Pembebasan Irian Barat, Patung Dirgantara, dan tentu saja Monumen Nasional.
Laporan harian Kompas, 30 Mei 2001, menyebutkan bahwa dalam tiga tahun terakhir setelah Soeharto jatuh, gagasan-gagasan Sukarno sebagai pemersatu bangsa semakin populer. Termasuk gagasan dalam bentuk monuman. Namun, monumen di era Sukarno tidak semata-mata merekam peristiwa apalagi mengagungkan tokoh sejarah. “Bung Karno membangun monumen lebih untuk membangkitkan semangat bangsanya, ketimbang memperingati kepahlawanan tokoh tertentu,” tulis Kompas. Apalagi membuat patung dirinya!
Baca juga: Sukarno Ingin Patung Terbang
Seperti semangat di balik Patung Dirgantara. Ketika akan membangun Patung Dirgantara, Edhi Sunarso, pematung kesayangan Sukarno, mengumpulkan banyak desain namun tidak ada yang memuaskan Sukarno.
Sukarno kemudian mengungkapkan gagasannya, “Ed, kita ini tidak bisa membuat pesawat terbang apalagi pesawat tempur. Tetapi waktu zaman revolusi, kita tetap berani menerbangkannya. Jadi, buatlah patung yang bisa menonjolkan semangat keberanian itu. Itulah yang kita punyai. Apa yang kita punya? Kita punya semangat. Kita punya Gatutkaca!”
Sukarno berdiri dan berpose seperti Gatutkaca di hadapan Edhi. “Cepat Ed! Segera kamu buat sketnya. Seperti ini! Seperti ini!” kata Sukarno. Maka, jadilah Patung Dirgantara sebagai simbol penerbangan yang menggambarkan seorang manusia yang hendak terbang.
Sementara pada zaman Soeharto, sebut Kompas, monumen yang didirikan di zaman presiden kedua itu cenderung memperingati peristiwa dan menampilkan tokoh tertentu. Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya menampilkan tujuh tokoh militer Pahlawan Revolusi korban peristiwa G30S 1965.
Monumen ini dikerjakan oleh Edhi Sunarso sebagai ketua pelaksana dan Saptoto sebagai penanggung jawab proyek dengan melibatkan mahasiswa jurusan seni patung Akademi Seni Rupa Indonesia, Yogyakarta. Monumen ini diresmikan oleh Soeharto pada 1 Oktober 1973.
Baca juga: Monumen Seragan Umum 1 Maret yang Ternoda
Pada masa Orde Baru pula dibangun monumen untuk memperingati peristiwa sejarah sebagai upaya melegitimasi peran Soeharto dalam perjuangan kemerdekaan, yaitu Monumen Serangan Umum 1 Maret. Relief monumen yang menonjolkan sosok Soeharto ini dibuat oleh Saptoto yang juga membangun Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya. Soeharto meresmikan monumen itu pada 1 Maret 1973.
Pematung senior G. Sidharta Soedijo menilai Soeharto tidak memahami bahwa seni bisa bicara lebih banyak daripada sekadar menggambarkan tokoh atau sejarah saja. “Mungkin karena keterbatasan ini, seni di zaman Soeharto menjadi media yang sangat terbatas, yang bercerita tentang sejarah dan penokohan orang-orang untuk mendukung kebenaran sejarah tersebut,” kata Sidharta kepada Kompas.
Menariknya, justru di zaman Soeharto, patung Sukarno pertama muncul di ruang publik melalui sayembara Patung Proklamator Republik Indonesia.
Baca juga: Patung Bung Karno Berdiri di Aljazair
Puja Anindita dalam G. Sidharta Soegijo Merengkuh yang Lalu dan Kini menyebut pemenang sayembara adalah Sidharta, Y. Sumartono, dan Nyoman Nuarta, murid Sidharta di Studio Seni Patung Seni Rupa ITB, yang saat itu masih berstatus mahasiswa.
Dalam proyek pembuatan Patung Proklamator ini, Sidharta mengerjakan elemen estetis berbahan marmer sebagai latar patung. Ia mengolahnya menjadi tiang-tiang berjajar sebanyak 17 buah dengan tiang paling tinggi 8 meter. Di antara tiang-tiang itu terdapat undakan air mancur berjumlah 45 buah yang melambangkan tanggal pembacaan naskah Proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Nyoman Nuarta bertugas membuat patung Sukarno tengah memegang naskah Proklamasi. Sedangkan Y. Sumartono bertugas mengerjakan patung Mohammad Hatta.
Soeharto meresmikan Monumen Sukarno-Hatta Proklamator Kemerdekaan Indonesia di Taman Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat, pada 16 Agustus 1980.
“Walaupun dengan mendirikan patung ini Soeharto mengakui kepahlawanan Sukarno, perlu diingat bahwa dalam zaman Orde Baru, Sukarno tidak pernah ditampilkan, selain sebagai pasangan Proklamator Sukarno-Hatta,” tulis Kompas. Ini bagian dari apa yang disebut sejarawan Asvi Warman Adam sebagai desukarnoisasi, yaitu upaya Orde Baru menghilangkan atau mengurangi peran Sukarno dalam sejarah Indonesia.
Pada 1970, sepuluh tahun sebelum patung Sukarno berdiri di monumen proklamator, seorang pengagum Sukarno, Dukut Hendronoto telah membuat patung Sukarno di rumahnya. Dukut yang biasa disapa Pak Ooq dikenal sebagai seniman dan pelopor animasi di Indonesia.
Pada 1952, Sukarno mengirim Dukut untuk belajar animasi selama tiga bulan di Walt Disney Studio, California, pada 1952. Sekembalinya ke Indonesia, Dukut membuat film animasi “Si Doel Memilih” untuk kampanye pemilihan umum pertama tahun 1955. Film yang diproduksi oleh Pusat Produksi Film Negara ini disebut sebagai tonggak pertama kelahiran animasi Indonesia. Dukut kemudian melanjutkan kiprahnya mengembangkan animasi dan sebagai guru gambar di Televisi Republik Indonesia (TVRI).
Dukut membuat dua patung Sukarno dan dua relief. Setelah disimpan lama di rumahnya di Jalan Kertanegara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada 10 November 2012, anak Dukut, Hendro Poncoworo menyerahkan patung dan relief itu ke Istana Gebang.
Baca juga: Jalan Panjang Mewujudkan Monumen Nasional
Istana Gebang merupakan rumah peninggalan orang tua Sukarno, Raden Soekemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai, yang terletak di Jalan Gebang, Kelurahan Bendogerit, Kecamatan Sanan Wetan, Kota Blitar, Jawa Timur. Rumah dan lahan kemudian dibeli pemerintah Kota Blitar pada 2011 dan dijadikan tempat wisata sejarah.
Diberitakan Antara, 10 November 2012, patung Sukarno karya Dukut itu berwarna putih sedang memegang tongkat komando dengan tinggi 2,8 meter. Sementara patung satunya lagi hanya setengah badan dengan tinggi 85 sentimeter dan berat sekitar 70 kilogram.
Patung Sukarno karya Dukut kemudian dipasang di depan Istana Gebang. Namun, pada 2017, diberitakan jatim.tribunnews.com, patung Sukarno itu diganti dengan patung Sukarno yang lebih besar setinggi 4,5 meter buatan seniman Blitar, Bondan Widodo.
Sementara patung Sukarno buatan Dukut dipindahkan ke Perpustakaan Bung Karno. Kata juru kunci Istana Gebang, Bambang In Mardiono yang akrab disapa Mbah Gudel, “Patung lama itu terbuat dari semen, dulu wasiat dari Pak Dukut memang disuruh menaruh di Perpustakaan Bung Karno.”
Dukut meninggal dunia pada 21 April 1978 di usia 58 tahun. Dalam berita obituari di majalah Tempo, 6 Mei 1978, disebutkan “Karya terakhirnya yang belum selesai [adalah] patung Bung Karno disalib”.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar