Ranah Rantau Rumah Makan Padang
Rumah makan Padang mudah ditemui di mana saja. Tak bisa lepas dari kultur Minang.
JARUM jam menunjukkan angka 12. Akmal Darwis memasuki Rumah Makan Inyai di simpang Olo Ladang, Kota Padang. Sejurus kemudian, tukang air (pramusaji) menyajikan segelas air putih panas di meja.
“Saya membeli suasana,” ujar Akmal, 62 tahun, wartawan senior di Padang, yang menjadi pelanggan setia Inyai sejak akhir 1970-an.
Bermula dari gerobak dorong tahun 1978, Inyai kini menjadi kedai sederhana tapi digemari lintas generasi. Menu andalannya gulai tunjang, dendeng, dan kerupuk jengkol balado. Ia cukup legendaris dan selalu dirindukan. Musababnya, suasana hangat penuh kekeluargaan. Suasananya menjadi representasi rumah makan Padang sebenarnya. Bukan sekadar tempat untuk mengisi lambung tapi juga pusat informasi dan pergaulan.
Tumbuh kembang rumah makan Padang memang lekat dengan warung kopi, yang tumbuh di titik-titik pemberhentian jalur transportasi sibuk seperti lintas Pekanbaru-Bukittinggi-Padang dan sepanjang lintas Sumatra. Mereka menjadi tempat persinggahan. Lambat laun, karena pengelana kadang kehabisan bekal dan butuh makan, mereka memenuhi permintaan dengan menyediakan nasi beserta lauk-pauknya.
“Biasanya menu dari pekarangan sekitar seperti pucuk ubi, kalau ada ayam ya ayam, telor ayam,” ujar Fachrul Rasyid, seorang wartawan senior.
Menurut Fachrul, hingga 1980-an rumah makan Padang masih seperti itu. Umumnya milik keluarga, termasuk pekerjanya. Ketika transportasi makin lancar, dan permintaan meningkat, warung kopi berkembang menjadi lepau nasi (warung makan). Umumnya berbentuk bangunan semi permanen, dengan halaman luas dan fasilitas seperti tempat rehat atau tidur, musala, dan pancuran. Di luar makan, semuanya gratis. Jejak lepau masih bisa dijumpai hari ini.
Di ranah (kampung), rumah makan Padang bertahan dengan kesederhanaannya. Di rantau, rumah makan Padang menggurita.
Jejaring Rumah Makan Padang
Tak ada catatan pasti mula rumah makan Padang eksis di rantau. Namun, sebuah iklan di harian Pemandangan tanggal 28 Mei 1937 bisa menunjukkan eksistensinya.
Iklan itu, yang dimuat selama beberapa bulan, menyebutkan: “BERITA PENTING! Kalau toean2, njonja2 dan soedara2 djalan2 di Cheribon, djika hendak makan minoem jang enak, sedap rasanja, bikinan bersih mendjadi poko[k] kesehatan, silahkanlah datang ke: PADANGSCH-RESTAURANT ‘Gontjang-Lidah’ [beralamat di] Pasoeketan 23 Cheribon...”
Surya Suryadi, pengajar di Universitas Leiden, Belanda, dalam blognya niadilova.wordpress.com menguraikan, sangat mungkin kata “Padangsch-Resrtaurant” merupakan arketip dari istilah “restoran Padang” yang dikenal sekarang. Nama pemilik (eigenaar) restoran, B. Ismael Naim, agaknya berasal dari Bukittinggi.
“Ini menandakan bahwa pada tahun 1930-an perantau Minang sudah menyebar di Pulau Jawa, tidak hanya di kota-kota besar seperti Batavia dan Bandung, tapi juga kota-kota kecil seperti Cirebon,” tulisnya.
Hari ini, rumah makan Padang berdiri di seantero Nusantara. Lihat saja di Jakarta; hampir tiap ruas jalan ada rumah makan Padang. Salah satu yang tersohor adalah Restoran Sederhana, yang dirintis Bustaman, pria asal Lintau, Tanah Datar. Dia memulai menjual nasi dengan gerobak di Bendungan Hilir tahun 1972. Kini, dia memiliki lebih dari 100 cabang di mana-mana, bahkan di Malaysia. Rumah makan Padang lainnya yang memiliki banyak cabang adalah Simpang Raya, Sari Ratu, Sederhana Bintaro, Garuda, dan sebagainya. Rumah makan Padang juga mengglobal. Seperti Restoran Upi Jaya dan Restoran Minang Asli di Amerika Serikat.
Hasril Chaniago, wartawan-cum-sejarawan, mengatakan, keberadaan rumah makan Padang dekat dengan filosofi orang Minang lamak di awak katuju di urang, yang enak bagi kita haruslah yang disukai orang.
Di ranah, rumah makan dengan basis keluarga masih bertahan, bahkan enggan membuka cabang. Misalnya, rumah makan Pagi Sore di Simpang Kinol, kawasan Pondok (Pecinan Padang), yang didirikan pria Tionghoa bernama Idris pada 1947. Kendati ramai, menjadi favorit pejabat dan selebritas, toh Pagi Sore tak mau melebarkan sayap. Pagi Sore pernah memiliki satu cabang di jalan bypass Padang tapi sekarang tutup. Pagi Sore ini bukan rumah makan Padang mahal di Palembang dan Jakarta karena berdiri pada 1973.
“Buka cabang gampang, tapi soal rasa takut beda. Dapur itu harus satu, tukang masak satu, biar rasanya tidak berbeda,” ujar Rostina (55), istri Beni Parta Pusaka (Lee Bengbin), anak Idris.
Memang rahasia masakan Padang ada pada bumbu yang kental dengan rempah-rempah, gulai bersantan pekat, dan beras kualitas super. Beras bahkan disebut-sebut menjadi pembeda antara rumah makan di ranah dan di rantau. Beras asli Sumatra Barat seperti Kuriak Kusuik, Anak Daro, dan Sokan dianggap pasangan pas untuk masakan Padang. Sekitar 1986, Asbon Budinan Haza, pendiri majalah anak-anak Saya Anak Indonesia (SAI), mencoba mensuplai kebutuhan rumah makan Padang di Jakarta. Bukan hanya beras tapi juga bumbu-bumbu.
“Tapi hanya bertahan sekitar dua tahun karena biaya angkut tinggi,” ujar Akmal.
Baca juga:
Bukan Makan Harian
Di rantau, mudah mengidentifikasi rumah makan Padang: etalase bertuliskan nama rumah makan yang menampilkan deretan makanan. Untuk menu, lumrahnya randang (penulisan yang benar; bukan rendang), beragam masakan ayam, beragam ikan, beragam gulai, dendeng, hingga sayur.
“Menu rumah makan Padang sebetulnya tidak mewakili makan harian orang Minang di rumah,” ujar Fachrul.
Menu semacam itu biasanya ditemukan saat acara kenduri seperti baralek (pesta perkawinan) atau acara mandoa (syukuran). Lalu mengapa rumah makan Padang mengetengahkan hidangan baralek?
Kebiasaan orang Minang di hari pekan (pasar) salah satu jawabannya. Di pasar, beberapa los penjual nasi menawarkan aneka menu makanan yang biasa ditemui kala balarek. Penduduk, umumnya petani, sekali seminggu menjual hasil bumi ke pasar. Setelah mendapatkan uang, mereka memanjakan perut dengan makan lamak (enak). Orang Minang mengistilahkan malapehan salero buruak atau bisa dimaknai melepaskan nafsu makan yang sudah lama tertahan. Intinya makan dengan lahap.
Bagi rumah makan Padang, dapur adalah kunci utama. Tukang masak memainkan peranan penting. Padanya, rasa dimandatkan. Tak jarang mereka diperebutkan.
“Kalau kita punya rumah makan, kita sendiri hendaknya bisa masak,” ujar Rostina. Artinya, jika tukang masak keluar, setidaknya roda rumah makan bisa terus berputar tanpa pergeseran rasa.
Sebagian besar tukang masak di rumah makan Padang adalah laki-laki. Musabab, pekerjaannya berat, dari pukul 03.00 hingga sore. Selain itu, tentu penghormatan terhadap perempuan. Dalam tradisi Minang, lelaki juga mesti pandai memasak.
“Ada sejumlah kepandaian yang wajib dimiliki anak Minang; pandai mengaji, pandai bersilat, dan pandai memasak. Kesemuanya adalah bekal hidup merantau,” tandas Hasril Chaniago.
Jadi semalang-malangnya hidup di rantau, setiap orang Minang bisa membuka warung makan.*
Majalah Historia No. 35 Tahun III 2017
Tambahkan komentar
Belum ada komentar