Peristiwa PRRI Membuat Rumah Makan Padang Ada di Mana-mana
Peristiwa PRRI menyebabkan orang-orang Minang meninggalkan kampung halamannya. Mereka membawa keahlian berdagang dan memasak. Rumah makan Padang pun ada di mana-mana.
DALAM suatu percakapan antara sejarawan Taufik Abdullah, antropolog Sjafri Sairin, dan sosiolog Ignas Kleden di sebuah dapur paviliun, Taufik nyeletuk, “Wah, ini ada bahan makanan yang bisa dimasak. Siapa yang bisa masak?”
Sjafri menjawab bahwa dia sedikit-sedikit bisa masak. “Biarlah saya yang memasak,” kata Sjafri dalam Sejarah dan Dialog Peradaban.
“Okelah kalau begitu. Sjafri yang masak, Ignas cuci piring dan saya sendiri duduk-duduk menyaksikan sambil bercerita,” kata Taufik.
Taufik mengatakan bahwa dia memang orang Padang. Tetapi, orang Padang yang kurang lengkap. Alasannya karena tidak bisa berdagang dan tidak bisa masak. Padahal, kedua keterampilan itu merupakan ciri umum orang Padang, terutama yang pergi merantau.
“Contohnya Sjafri. Kalaupun dia tidak bisa dagang, tetapi sedikit banyak bisa masak. Kita dapat makan di sini karena adanya kepandaian masak itu, walaupun masakannya tidak seenak yang dimasak oleh juru masak restoran Padang di Indonesia,” ujar Taufik.
Rumah makan Padang tersebar luas di seantero Indonesia karena diaspora orang Minang yang membawa keterampilan memasak.
Menurut Taufik dalam pengantar buku Dari Pemberontakan ke Integrasi Sumatra Barat dan Politik Indonesia, 1926-1998 karya Audrey R. Kahin, meskipun Minangkabau entah sejak abad keberapa telah dikenal sebagai daerah yang banyak menghasilkan para perantau, tetapi secara statistik diaspora yang sesungguhnya orang daerah ini barulah terjadi setelah peristiwa PRRI meletus. “Restoran Padang menjadi bagian dalam kehidupan nasional, baru bermula sejak krisis ini pula,” tulis Taufik.
PRRI meletus tahun 1958 di Sumatra Barat. Pemerintah pusat melihat PRRI sebagai gerakan separatis dan menumpasnya dengan operasi militer. Akibatnya terjadi eksodus besar-besaran orang Minang ke berbagai daerah.
Jumlah orang Minang di Jakarta sebelum terjadi peristiwa PRRI diperkirakan kurang dari 100.000 orang. Jumlahnya kemudian meningkat. Majalah Tempo, Edisi 45, 15 Januari 1972 mencatat, menurut sumber Pemerintah Daerah Chusus Ibukota, sebanyak 400.000 orang menumpuk di Jakarta atau 10% dari jumlah seluruh penduduk.
Tempo menguraikan, Jakarta bukanlah satu-satunya sasaran para perantau Minang. Sosiolog Mochtar Naim, yang mengadakan penelitian mendalam tentang perantau Minang, sekarang Direktur Centre for Minangkabau Studies di Sumatra Barat, memperkirakan di Jawa Barat terdapat 300.000 orang Minang, tersebar di Cirebon, Tasikmalaya, Ciamis, Garut, Purwakarta, Sukabumi dan Banten. Beberapa ribu orang lagi dapat ditemukan di Jawa Tengah dan Jawa Timur, sedangkan 300.000 orang diperkirakan menetap di Sumatra Utara, dan 100.000 di antaranya menjadi penduduk kota Medan. Di Sumatra Selatan sekitar 100.000 orang, sementara di Jambi dan Pekanbaru yang disebut sebagai satelit, juga padat dengan para perantau Minang.
Orang-orang Minang merantau dengan membawa keahlian berdagang dan memasak, sehingga rumah makan Padang berjamur di mana-mana. Belakangan orang-orang yang bukan orang Minang, mungkin mantan karyawan yang mengetahui cara memasak makanan Padang, juga membuka warung Padang. Bahkan muncul rumah makan Padang paket hemat dengan harga murah mulai Rp10.000.
Baca juga:
Adzkiyak dalam Etnografi Kuliner: Makanan dan Identitas Nasional menjelaskan, rumah makan Padang sebenarnya merupakan penamaan kontemporer bagi rumah makan Minangkabau yang mulai populer pada akhir 1960-an. Tempat makan yang menjual masakan khas Minangkabau sendiri biasa disebut lapau nasi, kedai nasi, los lambuang, atau karan. Asal-usulnya dapat ditelusuri hingga perempat kedua abad ke-19. Waktu itu, Padang menjadi ibu kota daerah administratif Gouvernement van Sumatra’s Westkust sekaligus pusat aktivitas ekonomi kolonial.
Semua hasil bumi Sumatra Barat yang layak untuk dijual ke pasar mancanegara harus dibawa ke Padang, dan semua barang kebutuhan daerah harus didatangkan dari Padang. Hasil bumi itu diangkut dengan pedati. Karena kuda penarik pedati perlu istirahat, pejabat kolonial akan berhenti di pesanggrahan. Sementara sais atau kusir di penginapan yang sekaligus berfungsi sebagai warung atau kedai nasi.
“Inilah cikal bakal rumah makan Minangkabau di pinggir jalan. Rumah makan Minangkabau telah ditemukan di luar Sumatra Barat pada awal abad 20; namun baru tersebar luas pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, berhubungan dengan eksodus masyarakat Minang pasca-PRRI,” tulis Adzkiyak.
Menurut Adzkiyak, penyebutan “Padang” pada rumah makan Padang adalah bagian dari perubahan identitas yang dilakukan oleh orang Minangkabau menyusul pemberontakan PRRI. Setelah pemberontakan PRRI berakhir pada 1961, pemerintah pusat berusaha menghabisi semua elemen PRRI.
“Tindakan keras dan cenderung menindas dari pemerintah pusat mendorong orang Minangkabau di perantauan mengganti identitas mereka dengan berbagai cara. Hal yang paling mencolok ialah mengganti nama etnik dari Minangkabau menjadi Padang, serta mengganti nama diri dari khas Minangkabau menjadi nama ke-Jawa-Jawa-an,” tulis Adzkiyak.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar