Foto di Warung Padang Ini Dianggap Orang Sakti
Fotonya ada di hampir setiap rumah makan Padang, padahal dia bukan ahli masak ataupun pebisnis ulung.
WARUNG Padang semakin menjamur di tanah air. Banyak orang menyukai kelezatan hidangannya. Rendang yang jadi andalannya nyaris selalu tersedia di warung padang. Masakan yang pernah dinobatkan sebagai makanan terenak di dunia ini sudah sangat melegenda dan identik dengan Padang atau Minangkabau.
“Kata rendang nyaris tidak disebut-sebut dalam literatur selama kurun abad ke-18. Namun jika kita kembali mempelajari kebudayaan Luso-Asia yang menancap di kawasan Malaka pada abad ke-16, tampaknya harus dipertimbangkan asal-usul memanaskan daging berulang-ulang hinga kering dan tahan lama ini diadopsi, khususnya kalangan orang Minang,” tulis Fadly Rachman dalam Jejak Rasa Nusantara.
Bagaimanapun asal-usulnya, rendang sudah jadi kebudayaan Minangkabau yang kini menyebar ke pelosok tanah air.
Selain rendang, gulai, dan hidangan-hidangan lainnya, warung Padang umumnya juga memiliki sebuah foto seorang tua berpeci hitam di salah satu sisi dindingnya. Lantas, siapa orang tua itu?
Jawabannya adalah Syech Kiramatullah Ungku Saliah alias Ungku Saliah alias Tuanku Buya Saliah. Dia bukan orang yang punya reputasi sebagai juru masak atau pedagang, tapi seorang ulama atau pemuka agama Islam asal Minangkabau yang hidup antara tahun 1887 hingga 1974.
“Tuanku Buya Saliah lahir di Nagari Pasa Panjang Sungai Sariak, VII Koto Sungai Sariak Kabupaten Padang Pariaman, Sumatra Barat pada tanggal 3 Agustus 1887,” catat Lifna Putri dan Kori Lilie Muslim dalam artikel mereka di Jurnal Thallub Vol. 2 No. 2, 2022, “Menapaki Jejak Tuanku Buya Saliah di Padang Pariaman: Kajian Arkeologi Islam”.
Sejak remaja Ungku Saliah sudah belajar agama hingga di masa tuanya dia adalah panutan di Pariaman. Dia adalah pemimpin agama Islam di Lubuk Alung, Sumatra Barat sekaligus pemimpin kelompok sufi Shattariyah yang terkenal dengan urusan melawan keburukan akhlak. Ungku Saliah disebut-sebut mampu melakukan hal gaib dan menangkal sihir.
“Yang paling istimewa adalah pengunaan ayat-ayat Al-Quran untuk mengalahkan pakasiah (pelet) mantra yang membuat kaum perempuan jatuh cinta pada seorang tertentu, atau kabaji, mantra yang menyebabkan saling benci antara suami dan istri,” catat Kevin W. Fogg dalam Spirit Islam Pada Masa Revolusi Indonesia.
Ketika revolusi kemerdekaan Indonesia pecah (1945-1949), Ungku Saliah tak angkat senjata karena sudah sepuh. Tapi dia andil dengan memberi spirit masyarakat. Suatu kali, Ungku Saliah menyuruh orang-orang yang sedang berjual beli di pasar Lubuk Alung untuk bubar karena di situ akan hujan kendati waktu itu belum masuk musim hujan. Banyak orang menurutinya. Sekitar dua jam kemudian, serangan udara Belanda datang di pasar itu.
Namun tetap saja, Ungku Saliah pernah merasakan jeruji otoritas Belanda. Tak jelas apa penyebabnya. Oleh penduduk, Ungku Saliah digambarkan sebagai orang sakti yang bisa menembus jeruji ketika ditahan dan juga terkenal kebal peluru. Buku Managak-an Banang Basah: Membangun Tradisi Intelektual dalam Masyarakat Kampus yang Hedonis menyebut Ungku Saliah bisa berjalan tanpa menginjak tanah.
Benar tidaknya cerita-cerita tersebut, Ungku Saliah tentu bisa dijadikan simbol perlawanan orang Minangkabau terhadap Belanda dan spiritnya berguna untuk menjalani kehidupan. Spirit itu agaknya yang membuat foto Ungku Saliah banyak dipajang rumah-rumah Sungai Sariak mulai era 1970-an. Foto itu dipercaya bisa membuat mereka terhindar dari marabahaya. Seiring perjalanan waktu, foto itu tak hanya dipajang di rumah-rumah tempat tinggal tapi juga rumah makan di daerah Pariaman. Para perantau Minang kemudian membawanya dan memajangnya di warung makan Padang di perantauan mereka di berbagai daerah di Indonesia.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar