Menelusuri Tradisi Beli Pakaian Baru Jelang Lebaran
Perbedaan pejabat dan rakyat dalam membeli pakaian baru. Tradisi lama orang Indonesia dalam menyambut Lebaran.
Pemerintah melarang tradisi mudik Lebaran pada 2021. Tujuannya menekan penyebaran Covid-19. Tapi pemerintah mengimbau masyarakat tetap meneruskan tradisi lain menjelang Lebaran: beli pakaian baru.
“Ada bagusnya Lebaran kita tetap menggunakan baju baru sehingga muncul aktivitas ekonomi,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani pada 22 April 2021.
Tradisi membeli pakaian baru jelang Lebaran dan memakainya sewaktu Lebaran telah berjejak cukup lama di Indonesia. Snouck Hurgronje, penasihat urusan pribumi untuk pemerintah kolonial, mencatat kebiasaan ini pada awal abad ke-20.
“Di mana-mana perayaan pesta ini disertai hidangan makan khusus, saling bertandang yang dilakukan oleh kaum kerabat dan kenalan, pembelian pakaian baru, serta berbagai bentuk hiburan yang menggembirakan,” tulis Snouck dalam suratnya kepada Direktur Pemerintahan Dalam Negeri, 20 April 1904, yang termuat dalam Nasihat-Nasihat Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889–1939 Jilid IV.
Baca juga: Lebaran di Mata Kolonialis
Kebiasaan membeli dan memakai pakaian baru anak negeri pada bulan 10 dalam kalender Islam itu mirip dengan kebiasaan orang di Eropa. “Kebiasaan saling bertamu pada hari pertama bulan kesepuluh dengan mengenakan pakaian serba baru mengingatkan kita pada perayaan tahun baru Eropa,” terang Snouck dalam Islam di Hindia Belanda.
Pembelian pakaian baru jelang Lebaran paling marak di Batavia. “Lebih banyak uang dikeluarkan di Betawi dibandingkan dengan kebanyakan tempat lain karena pembelian petasan, pakaian, dan makanan pada hari Lebaran,” tambah Snouck dalam suratnya kepada Direktur Pemerintahan Dalam Negeri, 20 April 1904.
Pembelian pakaian baru jelang Lebaran menyedot banyak biaya bagi anak negeri. Kebiasaan ini dikritik oleh dua pejabat kolonial: Steinmetz, Residen Semarang, dan De Wolff, pejabat Hindia Belanda. Mereka menyebut pembelian baju baru, termasuk pula tradisi-tradisi lain untuk menyambut Lebaran, sebagai “sumber bencana ekonomi”.
Keberatan dua pejabat itu karena para bupati dan pamongpraja bumiputra ikut menggunakan dana pemerintah dalam menyambut Lebaran, termasuk pembelian pakaian baru. Kala itu, para bupati dan pamongpraja bumiputra senang-senangnya menggunakan pakaian campuran ala tradisi setempat, pengaruh Islam, dan ala Eropa.
Baca juga: Merdeka Kartu Lebaran
“Bupati dan kepala wilayah biasanya melengkapi penampilan mereka dengan pakaian pribumi berupa kain ketat atau pantalon berbenang emas, dengan sepatu bot dan taji untuk sepatu, menurut gaya Eropa,” catat Kees van Dijk dalam “Sarung, Jubah, dan Celana: Penampilan sebagai Sarana Pembedaan dan Diskriminasi”, termuat dalam Outward Appeareances. Kadangkala mereka menambahkan lencana.
Berbeda dari pejabat bumiputra, rakyat jelata biasanya hanya mempunyai sedikit pilihan dalam membeli pakaian baru. “Pakaian Barat ditabukan bagi banyak orang, Jika ada pengecualian maka ini berlaku bagi orang-orang yang dekat dengan Belanda,” tambah Kees.
Pakaian mereka biasanya campuran mode setempat dengan gaya muslim di India dan Arab.
Baca juga: Lebaran Bersama Gajah Oling
Memasuki tahun 1900, rakyat jelata mulai memiliki banyak pilihan untuk membeli pakaian baru. Harian De Locomotief, 30 Desember 1899, misalnya menggambarkan suasana orang-orang jelata yang mulai berpakaian Barat, mengikuti kegemaran para polisi, kecuali kain penutup kepala mereka. Berlebaran pun tak lagi hanya dengan peci dan sarung baru, tetapi juga dengan sepatu, celana panjang, dan topi Eropa.
Kebebasan memilih mode pakaian ini berimbas pada pertumbuhan industri tekstil di Hindia Belanda. Mode pakaian lebih beragam dan pasar penjualan melebar. Masa-masa menjelang Lebaran menjadi masa penjualan terbaik untuk mereka. Tapi ketika masa resesi ekonomi datang pada 1930-an, penjualan mereka menurun drastis.
Barang tekstil tersedia melimpah sehingga harganya turun. Tapi tak ada pembeli. Mengingat sebagian besar pembeli mengalami pemotongan gaji atau pemecatan. Tapi sekelompok kecil masyarakat tetap mampu membeli pakaian baru menjelang Lebaran pada masa resesi ini.
Sebuah cerpen berjudul “Karena Aksi Baoe Terasi” di majalah Pandji Poestaka, 16 Januari 1931 menggambarkan kesibukan sejumlah anak menyambut hari Lebaran. Mamat, tokoh dalam cerpen itu, mencari pakaian baru bersama ayahnya, Aslan. Biasanya dia membeli sarung dan peci. Tapi Lebaran kali ini dia ingin tampil beda.
“Lebaran 4 hari lagi, Mat! Engkau mahoe dibelikan apa? Babe dapat persen 15 roepiah dari toko.”
”Pakaian, Be! Belikan jang satoe setel; topi jang lebar, sepatoe jang tinggi dan dasi djoega!”
Begitulah keinginan si Mamat. Dia ingin tampil pada hari Lebaran layaknya sinyo-sinyo Belanda. Mamat dan Aslan membeli pakaian sinyo itu di pasar loak. Seusai mendapat pakaian baru itu, Mamat kesulitan memasang dasi dan memakai sepatu bot. Karuan teman-temannya mengolok. Tapi Mamat tak peduli. Yang penting gaya meski kakinya sakit.
Baca juga: Merayakan Lebaran di Masa Lampau
Gambaran kesibukan orangtua membelikan pakaian baru untuk anaknya jelang Lebaran juga termuat dalam cerpen “Dekat Lebaran” di Pandji Poestaka, 16 Januari 1934. Berbeda dari Aslan, orangtua ini tak membelikan pakaian jadi untuk anak-anaknya. Mereka pergi ke Pasar Senen untuk membeli bahan pakaian untuk dijahit sendiri, lima hari sebelum Lebaran.
“Bila lagi akan membeli pakaian anak, sedang Lebaran hanja tinggal lima hari lagi.”
“Besok loesa dapat djoega kita beli, boekan? Djawab Maseri sambil mengerling kepada isterinja.”
Penyair H.R. Bandaharo juga menangkap gambaran pembelian dan penggunaan pakaian baru selama hari Lebaran. Dalam syairnya “Menjamboet AidilFithri” di Pedoman Masjarakat, 23–30 November 1938, dia menulis, “Lihatlah.... Kanak-kanak ‘lah berlari kehalaman menoendjoekkan pakaian baroe. Mereka tinggalkan nasi terhidang tiada berdjamah...”
Baca juga: Keindahan dalam Kartu Lebaran
Selain untuk anak, pasangan suami istri juga ada yang membeli pakaian baru sebagai hadiah untuk pasangannya masing-masing. Gambaran ini tertangkap dalam cerpen “Lebaran di Tahoen 2000” di Pandji Poestaka, 16 Januari 1931.
“Djioen ama anak loe si Raini pergi belandje ke toko, boeat beliin pakaian loe ame Mas Wongso. Begitoleah kedjadian satoe hari sebeloem djatoeh hari Lebaran,” tulis Petroek, sang pengarang.
Kebiasaan membeli pakaian baru jelang Lebaran agak tersendat pada masa pendudukan Jepang. Masa ini rakyat jelata mempunyai cukup uang, tapi barang-barang menjadi sangat langka.
“Produksi terus digenjot untuk memenuhi keperluan militer Jepang, bahan pangan di pasar banyak menghilang, rakyat digerakkan untuk kerja paksa, bahkan pakaian disita,” ungkap Thomas J. Lindblad dalam “Krisis Ekonomi dalam Sejarah Indonesia Abad ke-20”, termuat dalam Dari Krisis ke Krisis: Masyarakat Indonesia Menghadapi Krisis Ekonomi Selama Abad 20.
Baca juga: Menentukan Hari Lebaran pada Masa Kolonial
Selama masa ini, orang justru membeli barang dengan pakaian bekas saking susahnya memperoleh pakaian baru dan bahan pakaian. Para petani tak mau dibayar dengan uang. “Mereka selalu minta dibayar dengan pakaian bekas,” ujar Barkah Alganis Baswedan dalam Di Bawah Pendudukan Jepang: Kenangan Empat Puluh Dua Orang Yang Mengalaminya.
Menjelang Lebaran tiba, tak ada lagi orang mencari pakaian baru. Saat Lebaran tiba, mereka mengenakan pakaian lama. Itu pun tinggal satu atau dua setel. “Yang paling terasa pada waktu Lebaran, sangat sederhana sekali, itu simpanan pakaian lama sajalah orang pakai,” lanjut Barkah.
Tapi tak semua orang bernasib miris seperti itu. Sejumlah kecil orang yang bekerja sebagai pegawai untuk Jepang bernasib lebih beruntung. “Pembagian tekstil bagi pegawai ada kalau hari raya, hari Lebaran... Jadi yang mau bekerja sama Jepang hidupnya makmur,” ungkap Barkah.
Keadaan mulai normal lagi setelah Indonesia merdeka. Tradisi membeli dan mengenakan pakaian baru terus berlanjut hingga sekarang.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar