Merayakan Lebaran di Masa Lampau
Beragam cara orang merayakan lebaran di beragam tempat pada masa lampau.
LEBARAN telah tiba. Orang-orang mengisi lebaran dengan beragam cara perilaku. Mereka beranjangsana ke kerabat dan tetangga, berekreasi ke tempat wisata, membagi amplop berisi uang, atau sekadar berkirim ucapan selamat lebaran dan permohonan maaf melalui gawai elektronik. Sebagian merupakan tradisi turun-temurun dari lebaran masa lampau. Berikut ini cara orang merayakan lebaran sekira setengah hingga satu abad lampau di beragam kota.
Banyuwangi, Jawa Timur
Pagi hari, cara Orang Osing, penduduk tempatan di Banyuwangi, mengisi lebaran tiada beda dengan kebanyakan orang di berbagai tempat. Pergi sembahyang ke masjid atau tanah lapang. “Tetapi perayaan yang lebih menarik dan lebih dibesar-besar ialah sesudahnya. Dan biasanya dilakukan sore hari,” catat Terang Boelan, Nomor 7-8, 1954.
Wong Osing meramaikan jalan antara pukul 15.00 sampai 18.00. Mereka menggelar arak-arakan dengan bermacam-ragam kendaraan. Antara lain dokar, sepeda, dan mobil open kap. “Semua dihias dengan seindah-indahnya,” lanjut Terang Boelan.
Kebanyakan peserta arak-arakan adalah perempuan. Sisanya anak-anak kecil. Para pemuda berjejeran di tepi jalan menyaksikan arak-arakan. “Akibat yang biasanya menyusul dari arak-arakan itu ialah sesudah selesai perayaan Idul Fitri banyak terjadi di sana-sini pertunangan,” tulis Terang Boelan.
Terang Boelan tak bisa memastikan sejak kapan tradisi ini bermula. Tapi mereka menyebut kebiasaan ini berakar dari karakter Wong Osing yang patuh dan taat agama. “Karena yang demikian itu, maka di dalam pergaulan hidup sehari-hari, artinya penduduk dari masyarakat biasa, ada batas-batas yang sangat keras. Terutama antara si gadis dan jejaka.”
Para orangtua mencari waktu tepat bagi para gadis dan lelaki bujang untuk saling bertemu dan bergaul. Hari itu ialah lebaran pada bulan Syawal dalam kalender Islam. Jika saling kepincut satu sama lain di arak-arakan, para gadis dan lelaki bujang boleh melanjutkan ke hubungan lebih lanjut. Tak jarang mereka langsung menikah beberapa hari selepas lebaran.
“Bulan Syawal adalah bulan yang baik untuk melangsungkan perkawinan atau pertunangan,” ungkap Terang Boelan.
Blitar, Jawa Timur
Soebagijo Ilham Notodidjojo, jurnalis dan penulis buku-buku biografi tokoh nasional kelahiran Blitar tahun 1924, pernah mencatat perayaan lebaran di Blitar pada 1900 hingga 1950-an dalam “Lebaran Setengah Abad yang Lalu”, termuat di Terang Boelan edisi lebaran 1955.
Soebagijo berkisah tradisi baru orang Blitar berkirim ucapan selamat lebaran dan permohonan maaf melalui kartu atau surat. “Adapun yang menjadi sebab-musababnya banyak sekali. Entah karena soal pekerjaan yang tidak dapat ditinggalkannya. Entah disebabkan karena lain soal lagi,” tulis Soebagijo. Kartu dan surat lebaran menjadi pengganti kehadiran keluarga.
Tradisi lama masyarakat Blitar ialah ngabekti dan nyuwun pangestu. Ngabekti berarti bersujud dan mencium lutut orangtua, sedangkan nyuwun pangestu berupa permohonan minta doa restu dari orangtua.
“Pada masa dahulu sekira setengah abad yang lalu, orang yang ngabekti kepada orangtua itu tidak anak cucu saja, tetapi juga sanak saudara yang sudah agak jauh,” ungkap Soebagijo.
Kedatangan kerabat jauh bertujuan untuk mempererat lagi hubungan di antara keluarga. Para orangtua biasanya akan menjelaskan silsilah dan hubungan kekerabatan anak cucuk dengan kerabat jauh tersebut sehingga mereka saling mengenal dan bisa memperluas persaudaraan. “Di sinilah antara lain letak keindahan orang merayakan hari Lebaran,” tulis Soebagijo.
Selain ngabekti dan nyuwun pangestu, masyarakat Blitar pernah punya tradisi rampogan ketika lebaran. Rampogan berarti beramai-ramai membunuh harimau dengan tombak.
Tradisi rampogan berlangsung sejak abad ke-19 dan mengambil tempat di alun-alun kota selepas sembahyang Idulfitri. Tapi pada 1905, pemerintah kolonial melarangnya. “Menurut kata setengah orang, pemeritah Hindia Belanda takut kalau orang Jawa menjadi pemberani semua,” tutup Soebagijo.
Surabaya, Jawa Timur
Bunyi letusan dinamit terdengar tiga kali di Surabaya lepas magrib, sehari menjelang lebaran. Tanda bahwa puasa telah berakhir. Setelah itu, suara takbir keluar dari masjid dan langgar-langgar. Sejumlah orangtua dan perempuan pergi ke perempatan dan tempat sungil menyebar kembang sesajen.
Pada malam lebaran, ibu-ibu di pelosok kampung mengundang ke rumah untuk mereka yang baru lepas dari takbiran. Sekadar menikmati hidangan nasi kuning, gulai ayam, apem, serabi, wedang, dan roti kukus yang lezat. “Selamatan ini dimaksud untuk malam penutup,” tulis Djumala dalam “Masjarakat Surabaja di Hari Lebaran”, termuat di Terang Boelan, Nomor 7-8, 1954.
Pada pagi hari lebaran, masyarakat Surabaya beribadah seperti umat Islam lainnya. Selepas tegak sembahyang lebaran, mereka ke luar rumah untuk bersilaturahmi. Anak-anak kecil berharap memperoleh isi untuk kantong celananya. Orang dewasa memberi anak kecil itu beberapa picis uang. Cukup untuk membuat riang hati anak-anak kecil.
Kebun binatang Surabaya penuh oleh pengunjung. Sebab “untuk penduduk Surabaya, satu-satunya tempat tamasya cuma kebun binatang,” tulis Djumala. Mereka bertumpukan seperti ikan pindang, bercampuran dengan para tukang copet dan pengemis yang coba mengais sedikit peruntungan di hari lebaran.
Terdengar pula suara bumbung pelontar mercon. Bumbung terbuat dari bambu tua sepanjang satu meteran. Ada lubang di punggung pangkalnya untuk diisi karbit. Orang lalu menyulut karbit itu dengan api, lalu melontarlah mercon itu dari mulut bumbung. “Bunyinya kelu, macam bunyi meriam zaman purba,” terang Djumala.
Orang Surabaya menyalakan bumbung untuk dua alasan: merayakan lebaran dan berlomba. Bumbung siapa paling kencang, dialah pemenang. Yang bunyinya mendem, harus siap menerima ejekan pada hari kemenangan.
Jakarta
Suara bedug dan takbir tanpa henti selepas Isya pada malam menjelang lebaran di Jakarta. Penduduk tempatan bilang malam itu “Malam Tekebiran”. Anak kecil berkerumun rebutan memukul bedug. Orang dewasa di rumah memperbaiki kursi, menyiapkan pakaian baru, dan mengkapur dinding rumah.
Pasar ramai bukan main. Orang berjubelan mencari kulit ketupat dan kebutuhan bahan panganan. Sebab selama lebaran dan beberapa hari setelahnya pasar akan tutup. “Lebaran sonder (tanpa, red.) ketupat tak mungkin terjadi di Jakarta,” tulis Nasional, 6 Juli 1951.
Pada pagi hari lebaran, penduduk beragama Islam berduyun-duyun memenuhi Lapangan Banteng. Bersama Presiden Sukarno, mereka menegakkan sembahyang Ied. Kampung dan jalanan seketika lengang. Baru ramai lagi selepas sembahyang Ied. Penduduk ke luar rumah dengan pakaian baru, memenuhi tram listrik dengan tujuan rumah atau makam kerabat.
Tapi penduduk Pasar Ikan berbeda cara mengunjungi rumah kerabat dari orang kebanyakan. Mereka menggunakan perahu sembari membawa panganan khas berupa dodol dan kue satu (kacang hijau) untuk kerabat. Mereka akan berkata kepada kerabatnya, “Sale-sale kate minta diampunin,” ungkap Nasional.
Pemuda dan pemudi yang ingin plesiran dan cari jodoh di hari kemenangan pergi ke Gedung Arca, sekarang dikenal sebagai Museum Nasional. Dulu, mereka sebut gedung itu sebagai ‘Gedung Jodoh’, tempat cinta bertemu dan bersemi. Penduduk lain plesiran ke pantai Cilincing. Udara masih segar dan “Mereka memandangi laut biru,” tulis Nasional.
Sekarang orang Jakarta tidak mungkin lagi wisata ke Pantai Cilincing. Udara sudah tercemar asap pabrik dan kendaraan. Laut pun telah berubah jadi hitam. Bisa-bisa kalau orang santai seharian penuh di sana pada hari lebaran sekarang, esoknya dia penyakitan.
Baca juga:
Kesedihan di Hari Lebaran
Sindiran Lagu Hari Lebaran
Bung Hatta Bebas di Hari Lebaran
Menentukan Hari Lebaran pada Masa Kolonial
Tambahkan komentar
Belum ada komentar