Menentukan Hari Lebaran pada Masa Kolonial
Perbedaan penetapan hari Lebaran sering terjadi di kalangan umat Islam. Pemerintah kolonial Belanda berupaya mengakomodasinya.
BULAN puasa hampir pergi. Lebaran sebentar lagi datang. Sebagian umat Islam menunggu pengumuman resmi Pemerintah tentang kapan pastinya hari Lebaran. Baik melalui televisi, radio, ataupun internet. Lainnya mengikuti keputusan ormas dan tarekat masing-masing. Bagaimanakah umat Islam pada masa kolonial mengetahui hari Lebaran?
Snouck Hurgonje, penasihat Urusan Bahasa-Bahasa Timur dan Hukum Islam di Hindia Belanda pada 1897, mengemukakan dua cara umat Islam dalam menentukan akhir Ramadan sekaligus awal bulan Syawal (Lebaran).
“Yang pertama, selain berdasarkan perhitungan penanggalan, juga didasarkan pada penglihatan pancaindera terhadap bulan baru (hilal, red.). Dan metode ini menurut orang-orang Mohammadan (umat Islam, red.) yang agak terpelajar di Nusantara ini berlaku sebagai satu-satunya yang benar,” tulis Snouck dalam Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936 Jilid VIII.
Metode kedua ialah hisab murni. “Perhitungannya berjalan menurut metode-metode yang terdapat dalam setiap Almanak Pemerintah Hinda Belanda menurut uraian Dr. A.B. Cohen Stuart (penerjemah bahasa Jawa dan Kawi, red.),” lanjut Snouck.
Tugas menentukan hari Lebaran terletak pada tangan penghulu melalui sidang penentuan hari raya Islam. Tidak seperti pemahaman orang sekarang, penghulu pada masa kolonial memiliki spektrum tugas lebih luas dari sekadar menikahkan orang.
Karel A. Steenbrink dalam Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19 menyebut tugas-tugas penghulu. Antara lain sebagai mufti (penasihat hukum Islam), Qadi (hakim dalam pengadilan agama), imam masjid, wali hakim (urusan pernikahan), dan pengumpul zakat.
“Para penghulu diangkat menurut sistem pemerintahan kolonial oleh gubernur jenderal atau atas namanya, sesudah melalui pencalonan dari bupati dan mendapat persetujuan dari residen,” catat Karel.
Jika penghulu menggunakan metode pancaindera (rukyat), dia memperoleh bantuan dari beberapa orang terpercaya. Orang itu bertugas memantau penampakan hilal pada hari ke-29 bulan Ramadan di sebuah daerah lapang dan lebih tinggi daripada daerah sekitarnya.
Di Batavia, menurut Rahmad Zailani Kiki dalam Genealogi Intelektual Ulama Betawi, wilayah ini terletak di Basmol atau Pisalo. Sekarang jadi bagian wilayah Kembangan, Jakarta Barat.
Para saksi di Batavia biasanya membekali diri dengan kitab Sullam an-Nayyirain. Ditulis oleh ulama kelahiran Betawi pada 1878 bernama Guru Manshur Jembatan Lima, kitab ini berisi penjelasan ilmu falak yang mempelajari lintasan benda langit seperti bumi, bulan, dan matahari. Kelak kitabnya menjadi rujukan banyak pesantren di Indonesia dan Malaysia.
Para saksi akan mencatat setiap aktivitas pemantauannya kepada penghulu. Bila saksi melihat hilal, penghulu meneruskan keterangan itu kepada pemerintah kolonial agar menetapkan satu Syawal jatuh keesokan harinya. Puasa pun hanya berlangsung 29 hari.
Pemerintah kolonial kemudian mengumumkannya melalui isyarat tembakan meriam atau tabuhan beduk. Tapi bila saksi tak mampu melihat hilal, puasa jadi genap 30 hari.
Seringkali metode ini mempunyai hasil berbeda di tiap wilayah. “Hal ini disebabkan oleh perbedaan dalam garis lintang, demikian juga karena tebal tipisnya awan di udara dan sebagainya,” tulis Snouck.
Perbedaan juga tampak ketika penghulu daerah lain menetapkan satu Syawal melalui metode hisab. Snouck mencatat terdapat selisih satu atau dua hari antara metode hisab dengan rukyat.
“Berkaitan dengan ini, tidak usah heran jika di negeri ini pun hampir setiap tahun timbul perbedaan setempat mengenai awal dan akhir puasa, bahkan terkadang terjadi antara kampung yang berdekatan,” lanjut Snouck.
Mohammad Roem, diplomat ulung Indonesia sekaligus tokoh Masyumi, pernah berdiskusi perisoal perbedaan hari raya Lebaran dengan temannya pada 1930-an. Roem mengaku pengikut metode rukyat, sedangkan temannya itu anggota Muhammadiyah dan lebih percaya pada hisab.
Sebagai pengikut metode rukyat, Roem menantikan pengumuman resmi dari bunyi beduk di kampung, kota Batavia. “Kalau kita sudah puasa duapuluh sembilan hari, dengan hati berdebar-debar, kita menunggu bunyi beduk, apakah esok hari kita sudah berlebaran, atau harus mencukupkan puasa tiga puluh hari,” kenang Roem dalam “Awal dan Akhir Puasa” termuat di Bunga Rampai dari Sejarah II.
Kepercayaan Roem itu mengundang tanya dari temannya. “Saudara seorang terpelajar, mengapa kok masih mengikuti permulaan dan akhir bulan puasa dengan bunyi beduk? Tidakkah lebih maju untuk mengikuti meeka yang menentukan dengan perhitungan ilmu falak?”
Roem menjawab bahwa baginya metode rukyat dan hilal sama saja. “Yang satu tidak lebih dari yang lain,” tulis Roem. Temannya memahami penjelasan demikian. Debat soal metode pun berakhir. Kemudian debat beralih ke soal persatuan umat Islam. "Apakah perbedaan penetapan akhir puasa menandakan perpecahan umat Islam," tanya Roem.
Teman Roem mengatakan bahwa Islam telah memberi umatnya kebebasan untuk memilih di antara dua cara itu. Lagipula, lanjutnya, “perbedaan paham itu, sudah berjalan berabad-abad.”
Mengetahui terdapat dua aliran besar dalam menentukan akhir puasa, pemerintah kolonial berupaya mengakomodasi keduanya. “Dalam hal ini malah pemerintah Hindia Belanda menunjukkan pengertian,” tulis Roem. Pengertian itu berupa penambahan libur satu hari pada hari Lebaran. “Untuk menampung kemungkinan adanya Idul Fitri yang tidak sama jatuhnya,” tutup Roem.
Baca juga:
Merdeka Kartu Lebaran
Kemenangan "Tentara Sukarno" di Hari Lebaran
Ledakan Mercon Blanggur saat Ramadan dan Lebaran
Tambahkan komentar
Belum ada komentar