Lebaran Bersama Gajah Oling
Banyuwangi punya banyak motif batik. Motif paling tua dan legendaris biasa dipakai kala Lebaran.
DIIRINGI dentuman musik, puluhan peragawan dan peragawati melenggang di catwalk. Para model membawakan busana batik hasil kolaborasi puluhan desainer lokal dan nasional dengan para pembatik lokal Banyuwangi. Karya-karya menarik disuguhkan, dari yang bergaya kasual, busana kerja, hingga busana pesta.
Ribuan penonton antusias menyaksikan pagelaran puncak Banyuwangi Batik Festival 2019, yang digelar di Gelanggang Seni Budaya, Taman Blambangan, Banyuwangi, akhir November tahun lalu. Salah satu yang ditunggu adalah penampilan karya-karya Samuel Wattimena, perancang busana nasional yang dikenal suka mengangkat kain Nusantara. Samuel membawakan 10 desain rancangannya yang memadukan kain Nusantara seperti lurik dan tenun dengan batik motif blarak sempal khas Banyuwangi.
Baca juga: Masjid di Jantung Banyuwangi
“Saya kagun kepada Banyuwangi yang memberi ajang luas bagi desainer lokal. Pengemasannya juga tematik sesuai motif-motif lokal. Ini berarti Banyuwangi punya kesadaran untuk memaksimalkan potensi batiknya,” ujar Samuel dalam laman Pemkab Banyuwangi.
Blarak sempal adalah salah satu motif batik khas Banyuwangi. Dalam bahasa Osing, blarak sempal berarti daun kelapa kering yang jatuh. Sesuai namanya, motif batik ini menyerupai daun kelapa tua dengan bentuk garis-garis miring yang tersusun berbanjar dan saling berlawanan. Tahun ini blarak sempal dijadikan tema event tahunan Banyuwangi Batik Festival.
Banyuwangi Batik Festival rutin digelar sejak 2013. Temanya berlainan setiap tahun, sesuai motif batik yang ingin ditampilkan dan diperkenalkan. Dimulai dari gajah oling, kangkung setingekas, paras gempal, sekar jagat, kopi pecah, gendhegan, hingga tahun lalu blarak sempal.
Motif Legendaris
Motif batik Banyuwangi punya banyak ragam. Setidaknya ada 22 motif batik yang tersimpan di Museum Budaya Banyuwangi. Jumlah itu belum termasuk beberapa motif batik yang belum diberi nama. Dari sekian banyak motif batik, yang paling tua dan legendaris adalah gajah oling.
Batik Banyuwangi memiliki akar tradisi dari zaman Majapahit dan Mataram Islam. Dalam perkembangannya, muncul kesadaran untuk menetapkan tradisi membatik sendiri sebagai sebuah identitas budaya. Lahirlah motif batik khas Banyuwangi.
Menariknya, menurut budayawan Banyuwangi Aekanu Hariyono, keterpengaruhan unsur Mataram atau Bali pada motif Banyuwangi tidak terlalu terlihat. Ini berbeda dari batik Madura maupun batik Jawa Timur lainnya yang tampak adanya pengaruh Mataram.
Baca juga: Ketika Orang Mandar Berlabuh di Banyuwangi
“Menurut saya batik Banyuwangi, termasuk gajah oling, telah ada sebelumnya. Bahkan mendapat pengaruh peradaban zaman Majapahit. Lihat saja batik berupa selendang. Orang Osing menyebut selendang juwono. Ini adalah motif yang dibuat oleh Induwati, seorang pembatik keraton yang keluar dan bersembunyi di Juwono, pesisir utara pulau Jawa, dengan tetap membatik. Selendang juwono dipakai Seblang Olehsari sekitar tahun 1930-an,” ujar Aekanu, yang juga menulis buku Barong Jakripah dan Paman Iris. kepada Historia.
Aekanu melanjutkan, bagi orang Osing, selendang juwono dianggap punya kekuatan magis sehingga kerap digunakan dalam ritual dan penyembuhan orang sakit. Motif ini mendapat pengaruh Cina karena ornamen hiasnya terlihat jelas ada hewan mitologi. Ada yang menyebut motif ini lok can.
Orang Osing menolak disebut sebagai orang Jawa atau Bali. Mereka memiliki identitas budaya sendiri. Salah satunya tercermin dalam motif batiknya. Batik Osing terbuka untuk berbagai pengaruh, tapi tidak menerima begitu saja. Hibridisasi berbagai budaya ini membuat lembaran batik Banyuwangi tampak percaya diri.
Baca juga: Kuda Lumping Gaya Banyuwangi
Menurut Ikhwanul Qiram dalam Batik Banyuwangi: Aesthetic and Technical Comparison of Coastal Batik, dimuat jurnal Lekesan, Oktober 2018, batik bagi masyarakat Osing bukan hanya kain atau pakaian. Mereka memiliki apresiasi dan rasa hormat mendalam terhadap batik, terutama saat Hari Lebaran. Batik ditempatkan sebagai warisan pusaka leluhur yang dijaga dengan sepenuh hati dan Lebaran menjadi puncak merayakan kemuliaan batik sebagai representasi dari kehadiran leluhur.
“Beberapa warga Kemiren bahkan punya kebiasaan menyimpan kain batiknya dalam toples kaca supaya tetap awet dan tidak dimakan ngengat. Hampir semua warga Kemiren memiliki koleksi batik tulis klasik warisan keluarga. Batik itu biasanya dikenakan sebagai sewek atau kain panjang pada acara-acara tertentu seperti Idul Fitri, pernikahan, atau acara tradisi lainnya,” ujar Ikhwanul Qiram, pengajar Universitas PGRI Banyuwangi, kepada Historia.
Khas Banyuwangi
Batik Banyuwangi memiliki karakteristik warna, yang cenderung kontras. Kombinasi warna itu menggambarkan keragaman hidup dan lingkungan alami. Karakteristiknya sangat berbeda dibandingkan batik lain dari daerah pesisir Jawa Timur. Salah satu ciri khas batik Banyuwangi dapat ditemukan pada motif gajah oling.
“Motif batik gajah oling, yang dipromosikan sebagai khas Banyuwangi oleh Departemen Perindustrian Banyuwangi sejak 1981, pada 1986 telah menjadi bahan favorit untuk kemeja dan kain pinggang yang dikenakan pada acara-acara resmi,” tulis Bernard Arps dalam “Osing Kids and the banners of Blambangan”, dimuat jurnal Wacana, April 2009.
Gajah oling melambangkan bentuk kekuatan yang tumbuh dalam identitas masyarakat. Motif ini berlatar putih, tampak sakral dengan ornamen hias yang menonjol berupa stilir belalai gajah melengkung ke kiri dan menyerupai tanda tanya, manggar, melati, daun dilem. Kemudian isen-isen berupa kupu-kupu dan lung-lungan. Semua ornamen terlihat sederhana tapi artistik dan esensi yang begitu dalam tiap ornamen memiliki makna tersendiri.
“Ornamen manggar atau bunga kelapa agar jadi manusia seperti kelapa yang semua bagiannya memiliki manfaat. Ornamen bunga melati, warnanya putih dan harum, esensinya manusia harus jujur, jauh dari rasa iri, dan semua tingkah laku yang baik itu akan terpancar keluar bila dilakukan dengan tulus. Ornamen hias daun dilem dulu digunakan mencuci pakaian, berbau harum walau daunnya sampai kering, artinya jadilah manusia yang meninggalkan nama harum,” ujar Aekanu.
Baca juga: Buto Menari di Banyuwangi
Selain itu, motif gajah oling berkaitan erat dengan karakter masyarakat Banyuwangi yang religius dan selalu ingat (eling) Kemahabesaran Allah SWT (disimbolkan dengan gajah sebagai hewan yang besar). Masyarakat Osing kerap menggunakan jarik motif gajah oling untuk menenangkan bayi yang rewel atau agar tak diganggu makhluk halus. Selain sebagai motif pada kain, motif ini juga dijadikan ornamen pahatan dan ukir kayu di rumah adat Osing dan Masjid Agung Baitturahman Banyuwangi.
Ikhwanul Qiram, yang melakukan penelitian soal batik Banyuwangi, menerangkan bahwa upaya melestarikan budaya leluhur ini membuat pasar batik klasik Banyuwangi tidak pernah mati. Warga Osing sangat fanatik pada batik klasik buatan Temenggungan. Warga yang kurang mampu mengadakan arisan batik. Mereka rela menunggu berbulan-bulan untuk memiliki selembar kain batik tulis halus seharga 1-2 juta rupiah. Selain kain panjang, banyak juga yang memesan sepasang sarung dan kainnya seharga Rp 4 juta.
“Bahkan, mereka rela membayar mahal untuk selembar batik klasik kuno yang ada cacatnya (berlubang) dalam proses pembuatan. Nilai dan keindahan yang terlukis dalam selembar kain itu tidak bisa dinilai dengan rupiah. Kepuasan karena memilikinya lebih berharga,” ujar Ikhwanul.
Baca juga: Temu Legenda Banyuwangi
Batik Banyuwangi mulai bergeliat kembali sekitar tahun 1980-an setelah Pemkab Banyuwangi memberi pelatihan kepada beberapa individu yang tertarik menggeluti batik, khususnya di Temenggungan. Temenggungan, sebuah kelurahan di wilayah Kecamatan Banyuwangi, dikenal sebagai sentral industri batik sejak 1950-an. Materi yang diberikan mulai teknik membatik, pewarnaan alami, desain busana, kemasan dan branding, pengelolaan limbah, hingga pemasaran digital.
Pelatihan itu membuahkan beberapa usaha batik baru di Temenggungan, seperti Sritanjung dan Sayu Wiwit. Usaha batik lalu berkembang pula di wilayah lainnya. Pagelaran Banyuwangi Batik Festival tentu kian membuat jumlah pengrajin batik di Banyuwangi meningkat.
“Festival ini bukan cuma soal menampilkan batik di panggung, tapi instrumen menggerakkan partisipasi masyarakat dan menumbuhkan kewirausahaan batik hingga pelosok desa,” ujar Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar