Kursk, Kisah Getir di Laut Barents
Bencana pedih awak kapal selam Rusia. Dibiarkan mati demi harga diri.
DI pagi yang cerah 12 Agustus 2000, ia lepas jangkar di Pangkalan Angkatan Laut (AL) Rusia Vidyayevo, Murmansk. Lambaian tangan sejumlah bocah yang kagum akan keperkasaannya melepas kepergiannya menuju Laut Barents. Tapi siapa sangka, penampakannya pagi itu sebelum menyelam akan jadi penampakan terakhir Kapal Selam Nuklir K-141 Kursk.
Letnan Mikhail Averin (Matthias Schoenaerts) dengan antusias melakoni tugasnya sebagai kepala unit turbin di kompartemen tujuh di buritan. Kapal selam canggih yang baru berusia enam tahun itu bakal jadi salah satu bintang dalam latihan bersama Armada Utara Rusia untuk kali pertama dalam 10 tahun terakhir.
Tetapi belum juga sepenuhnya bergabung bersama sekira 30 kapal perang Rusia lain, bencana sudah menghantui Kursk. Berulangkali dua rekan sekaligus sahabat Averin di ruang torpedo, Anton Markov (August Diehl) dan Pavel Sonin (Matthias Schweighöfer), memberi peringatan kepada Kapten Shirokov (Martin Brambach) soal masalah teknis di sistem torpedo dummy yang akan dipakai latihan, namun justru diabaikan.
Akhirnya, sebuah ledakan terjadi di kompartemen torpedo yang membuat kapal selam itu menghantam dasar laut. Satu ledakan lebih besar meletup sesaat kemudian dan membuat sebagian besar kru Kursk tewas. Situasi kian kritis lantaran haluannya hancur.
Sutradara Thomas Vinterberg tak berlama-lama menggambarkan kengerian itu. Ia ingin langsung menyajikan inti film bertajuk Kursk itu kepada penonton. Pasalnya Vinterberg dan penulis skenario Robert Rodat bukan sedang menyuguhkan film action.
Kenyataan Getir
Tersisa 23 kru yang masih hidup dari total 118, Averin mati-matian menuntun 22 rekannya untuk mengevakuasi diri di Kompartemen 9 di buritan. Mereka berjuang mempertahankan hidup dengan keterbatasan oksigen dan suhu dingin akibat merembesnya air laut di ruangan evakuasi itu.
Namun, para kolega mereka di berbagai kapal perang lain di permukaan belum menyadari Kursk hilang dari radar. Justru AL Inggris yang –turut memantau latihan itu– duluan insyaf. Kolonel David Russel (Colin Firth) dari markasnya mencoba mengontak Panglima Armada Utara Rusia Laksamana Vyacheslav Grudzinsky (Peter Simonischek), namun nihil hasil.
Grudzinsky baru sadar belasan jam kemudian bahwa Kursk mengalami masalah dan tumbang ke dasar laut. Sementara kapal penyelamat lamban bereaksi, para keluarga awak Kursk sudah mendengar desas-desus bencana itu. Pun begitu, AL Rusia masih menolak memberi informasi.
Kendati berulangkali kapal selam penyelamat gagal mencapai para penyintas Kursk, Grudzinsky dengan pede-nya menyatakan armadanya mampu menyelamatkan mereka. Tawaran bantuan dari militer Barat dengan peralatan canggih pun terus mengalami penolakan.
Baca juga: Vassily dan Tradisi Sniper Rusia
Berkejaran dengan waktu, para keluarga menuntut penjelasan dan upaya lebih dari AL Rusia. Keributan pun pecah saat Laksamana Vladimir Petrenko (Max von Sydow) diprotes massa yang dipicu tuntutan Tanya Averina (Léa Seydoux), istri Letnan Averin. Seorang perawat AL Rusia sampai harus membius paksa salah satu ibu yang mencela Petrenko.
Di dasar laut, kondisi 23 penyintas kian kritis setiap waktu. Bahkan, korban jiwa bertambah saat pemantik generator oksigen meledak secara tak sengaja di hari keempat. Baru pada pagi di hari keempat para penyelam sipil Norwegia dan Inggris diperkenankan membantu. Namun, itu jelas terlambat.
“Kursk menyimpan banyak rahasia militer. Rusia menolak penghinaan publik dengan menerima bantuan asing,” ujar Russel dalam salah satu adegan pasca-tawarannya ditolak Petrenko.
Dramatisasi Tragedi
Meski bukan film action, efek visual Kursk begitu halus. Iringan tata suara garapan Alexandre Desplat turut membangun suasana tegang di beberapa adegan, utamanya kala Averin menyabung nyawa untuk menyelam ke kompartemen lain yang sudah dipenuhi air demi mengambil stok pemantik generator oksigen.
Namun, bukan keterpukauan penonton akan adegan-adegan frontal yang dicari Vinterberg selaku sineas. Vinterberg dan Rodat lebih ingin mempertontonkan betapa ada getir dalam gengsi yang dipertahankan pemerintah dan para petinggi AL Rusia. Demi mempertahankan gengsi dan kebanggaan itu, mereka secara tidak langsung menelantarkan ke-23 penyintas.
Baca juga: Hiu Taklukkan Angkatan Laut AS
Rusia seolah memilih meninggalkan mereka mati ketimbang malu dibantu pihak asing. “Di saat-saat akhir film terdapat momen tanpa harapan yang membuat kita dihantui kesedihan dan kemarahan. Film yang mengiris hati tentang para pelaut yang nyawanya secara kejam tidak diprioritaskan. Diakhiri adegan melankolis yang dibakar amarah para keluarga, serta meninggalkan luka yang mungkin takkan pernah pulih,” sebut Benjamin Lee dalam ulasannya di The Guardian, 7 September 2018.
Film yang sedianya tayang pertamakali di Festival Film International Toronto, 6 September 2018 ini baru akan beredar di Amerika Serikat pada 21 Juni 2019. Belum ada kabar apakah juga akan tayang di Indonesia dan diragukan akan naik tayang di Rusia.
Menariknya, film ini merupakan proyek gabungan beberapa negara –kecuali Rusia. Maka, dialog-dialognya pun berbahasa Inggris. Uniknya, tak sekali pun Vinterberg menggambarkan reaksi Putin yang sedang liburan di pesisir Laut Hitam ketika musibah terjadi.
Jangankan penggambaran Putin, dari deretan pemeran utama, hanya Artemiy Spiridonov yang –berperan sebagai Misha Averin– orang Rusia. Satu hal lagi yang menegaskan bahwa film ini didramatisir, adalah nama-nama karakternya yang nyaris semua disamarkan produser Ariel Zeitoun.
Pengecualian hanya Kolonel David Russel yang diperankan Colin Firth, merupakan sosok asli. Sisanya bukan karakter tulen sebagaimana catatan sejarahnya. Seperti karakter utama Mikhail Averin yang aslinya bernama Dmitri Kolesnikov; panglima armada Laksamana Grudzinsky yang aslinya bernama Laksamana Vyacheslav Alekseyevich Popov; serta Panglima AL Rusia Laksamana Vladimir Petrenko yang karakter aslinya adalah Laksamana Vladimir Kuroyedov.
Baca juga: Kematian Stalin dalam Banyolan
“Ada banyak rumor di internet (soal nama-nama fiksi), bahwa kami terintimidasi otoritas Rusia. Itu omong kosong. Saya tidak ingin film ini tentang menunjuk hidung siapa yang salah tapi lebih kepada sisi kemanusiaannya. Makanya saya pikir akan lebih baik jika mengganti nama-namanya dan meniadakan sosok Putin,” terang Vinterberg, mengutip The Hollywood Reporter, 21 Oktober 2018.
Pun begitu jalannya kisah merupakan fakta sejarah lantaran Rodat selaku penulis skenario menggarap naskahnya berdasarkan catatan riset jurnalis Inggris Robert Moore yang dibukukan, A Time to Die: The Untold Story of the Kursk Tragedy. Salah satu catatan yang dipercaya paling akurat terkait tragedi itu.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar