Fantasi Perang
Apa jadinya bila Perang Dunia II tidak pernah ada? Mungkin Fanta juga tidak pernah ada.
“FANTA, cerianya berasa banget!” Begitulah slogan salah satu iklan minuman ringan Fanta di Indonesia. Fanta, seperti juga Coca-Cola dan Sprite, adalah produk Coca-Cola Company, perusahaan internasional dalam bidang minuman yang didirikan pada 8 Mei 1886 oleh apoteker Dr John Stith Pemberton, dan bermarkas di Atlanta, Georgia, Amerika Serikat (AS). Tapi siapa yang mengira kalau minuman itu lahir dalam situasi yang jauh dari ceria? Ia lahir dan besar di tengah kecamuk Perang Dunia II.
Pada 1941, secara mengejutkan dan tiba-tiba, Jepang melancarkan serangan udara ke Pearl Harbour, pangkalan angkatan laut AS terbesar di Pasifik. AS pun mengumumkan perang melawan Jepang, dan mulai terlibat dalam Perang Dunia II. Selain menghadapi Jepang dalam Perang Pasifik, AS juga membantu sekutu-sekutunya di Eropa untuk menghadapi Jerman.
Keterlibatan AS membuat posisi Coca-Cola dilematis. Jerman merupakan pasar terbesar kedua setelah AS. Penjualan Coca-Cola di Jerman jadi terhambat. Sentimen anti-Amerika juga tinggi. Padahal Coca-Cola sudah masuk negeri itu lebih dari sepuluh tahun, sejak 1929. “Berbisnis di sana (Jerman) sangat berbahaya,” tulis Frederick Allen dalam Secret Formula: How Brilliant Marketing and Ralentless Salesmanship Made Coca-Cola the Best-Known Product in the World.
Coca-Cola GmbH, pabrik Coca-Cola di Jerman yang bermarkas di Essen, berpikir keras untuk mempertahankan kelangsungan perusahaan. Max Keith, CEO Coca-Cola GmbH, memikul beban berat itu. “Secara politis memang sulit, tapi potensi keuntungan pasarnya begitu besar dengan 70 juta penduduk,” tulis xroads.virginia.edu.
Keith meminta bantuan Coca-Cola Swiss untuk berkoordinasi dengan Atlanta, kantor pusat Coca-Cola. Saat itu hanya Swiss negara netral di Eropa Barat, yang memungkinkan Keith bisa kontak dengan AS. Letak Swiss juga tidak jauh dari Jerman.
Masih untung Coca-Cola tak sampai ditutup Nazi. Ini karena adanya kesamaan pandangan mengenai universalitas antara Coca-Cola dan Nazi. Kepemimpinan Max Keith yang totaliter tapi simpatik juga disukai orang Jerman, termasuk petinggi Nazi. Coca-Cola sendiri menyesuaikan diri dan bersahabat dengan Nazi. Coca-Cola memasang iklan di koran-koran milik Nazi, bahkan menjadi salah satu sponsor utama Olimpiade Berlin 1936.
Tapi karena perang, sirup untuk membuat Coca-Cola kian sulit, bahkan kemudian sama sekali tak bisa didapatkan di Jerman. Keith memutar otak. Dia mendapat ide: menciptakan minuman baru rasa buah, yang bahannya bisa diperoleh di Jerman. Dengan menggunakan whey (salah satu produk turunan keju) dan serat apel yang didapat dari perasan sari apel, Keith menciptakan minuman baru. Minuman yang benar-benar beda dari Coca-Cola classic dan pembuatannya pun tanpa campur-tangan Atlanta.
Untuk mencari nama minuman baru itu, Keith bikin kontes. Pesertanya: karyawan Coca-Cola di Jerman. Keith menyeru kepada para peserta kontes untuk meliarkan imajinasi guna mendapatkan nama menarik. Seorang veteran salesman bernama Joe Knipp langsung berseru, “Fanta” – kependekan dari fantasie, tak lama setelah mendengar seruan Keith. Eureka! Nama sudah ditemukan.
Di masa-masa awal, seringkali Fanta dibuat dari sisa bahan-bahan industri makanan lainnya. Buah-buah yang digunakan dalam formulasi minuman itu tak tetap, tergantung ketersediaan. Untuk pemanisnya, Keith menggunakan sakarin, menggantikan gula yang mulai langka akibat masalah impor yang dialami Jerman. Pada 1941 itu juga penggunaan gula bit sebanyak 3,5 persen untuk membuat minuman tersebut diperbolehkan.
Keberadaan Fanta membuat kelangsungan pabrik Coca-Cola di Jerman tetap terjaga. Ribuan pegawainya pun tak harus kehilangan pekerjaan. “Produksi Coca-Cola di negara itu benar-benar terhenti dan digantikan oleh Fanta dari 1942 hingga 1949,” tulis economy-point.org.
Penjualan Fanta cukup baik. Tahun 1943 saja setidaknya tiga juta kerat Fanta dijajakan. Uniknya, tak semua Fanta yang terjual itu diminum. Beberapa ibu rumah tangga menggunakannya untuk menambah rasa pada sup atau masakan rebusan lainnya. Maklum, waktu itu ada penjatahan gula akibat adanya pembatasan impor.
Tak butuh waktu lama, Fanta bisa diterima masyarakat di Jerman dan menjadi populer. Penyebabnya? Ketajaman rasa buahnya begitu “dahsyat”. Selain itu, kemasannya ada yang memuat gambar orang Yahudi diserang harimau.
Usai perang, Fanta mulai diperkenalkan ke Amerika dan perlahan mendapat tempat di hati rakyat negeri Paman Sam. Coca-Cola membeli merek dagangnya pada 1960. Sejak itu, penjualan Fanta kian meluas. Sebanyak 36 negara menjual Fanta. Tiga tahun kemudian, Fanta menjadi minuman rasa buah terlaku di dunia. “Konsumen terbesar remaja berusia 12-19 tahun,” tulis coca-colabottling.co.id.
Kini Fanta memiliki varian rasa lebih dari 70 macam. Fanta rasa buah tertentu yang dijual di suatu wilayah belum tentu dijual di wilayah lain. Fanta Shokata, misalnya, hanya dijual di Rumania. Fanta dengan rasa sama juga belum tentu memiliki nama yang sama di tiap negara. Pada 2003, misalnya, di negara-negara Nordik, Fanta orange classic ganti nama menjadi “Funky Fanta Orange”. Hingga kini Fanta orange menjadi Fanta paling banyak penggemarnya dan dijual di 180-an negara.
Di Amerika sendiri Fanta tetap tak sepopuler Coca-Cola. Fanta lebih digandrungi di negara-negara seperti Jerman dan Brazil.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar