Kue Asida dari Arab untuk Raja dan Rakyat Maluku
Kue Asida tiba di Maluku di zaman perdagangan rempah-rempah. Kini bagian dari sejarah-budaya Maluku.
DI bulan puasa Ramadhan ini, Asida masih jadi salah satu panganan paling favorit untuk berbuka di Maluku. Di Masjid Raya Bula, Seram Timur, asida menempati posisi teratas jajanan paling laris untuk takjil.
“Rata-rata yang paling laku itu Asida dan Lontar yang paling banyak, biasa sampai seng (tidak) ada sisa, kalau ada juga itu paling sedikit,” ujar Masita, penjual takjil, dikutip ambon.tribunnews.com, 11 Maret 2025.
Hidangan ringan khas Maluku yang mirip dengan dodol itu dengan demikian tidak kehilangan penggemar kendati telah eksis sejak berabad-abad silam. Asida merupakan salah satu produk budaya yang tersisa dari era perniagaan rempah yang melibatkan berbagai bangsa dan telah mencapai Maluku sejak abad ke-16. Dalam kasus asida, tak bisa dilepaskan dari relasi niaga penduduk Maluku dengan bangsa Arab.
Setidaknya sudah lebih dari 500 tahun orang Arab datang dan tinggal di Kepulauan Maluku. Keturunan mereka di Maluku telah tersebar di berbagai tempat. Dalam Sejarah Kebudayaan Maluku, R.Z. Leirissa dkk. menuliskan, orang Eropa macam Antonio Galvao melihat bahwa Islam sudah ada di Ternate pada 1460 dan pengaruh Islam datang lewat Malaka yang kala itu pusat perdagangan rempah-rempah.
Menurut Buya Hamka, hubungan Islam dengan Maluku secara tidak langsung bahkan sudah jauh lebih tua. Sekira tahun 650 atau 18 tahun setelah kematian Nabi Muhammad Sholallahu Alaihi Wassalaam (SAW), menurutnya, orang-orang Arab dan Persia telah berdagang cengkeh ke Eropa. Cengkeh itu mereka dapatkan dari Nusantara, kemungkinan Malaka sebelum mereka bisa mencapai Maluku.
Orang Arab menyebut Kepulauan Maluku sebagai Jaziratul al-Mulk. Menurut Nabiel A. Karim Hayaze dalam Hikayat Kapitein Arab di Nusantara, jaziratul atau jazirah dalam bahasa Arab berarti “pulau” dan Mulk –yang berasal dari kata Malik– artinya “raja”. Jadi Jazirah al-Mulk berarti Pulau para raja.
Di Ambon dan sekitarnya, raja adalah sebutan untuk pemimpin negeri. Sebuah negeri wilayahnya setara dengan satu desa atau kelurahan di zaman sekarang. Sejak dulu, ada banyak negeri di Ambon dan pulau-pulau sekitarnya. Raja-raja negeri bukanlah seperti raja jawa yang jauh dengan rakyatnya, raja negeri di Maluku hidupnya berbaur dengan rakyatnya.
Ambon sendiri sejak dulu dikenal karena makanannya yang lezat. Sagu merupakan makanan penting kalau bukan utama di sana dan Maluku pada umumnya. Makanan dari sagu cukup beragam di sana, seperti sagu tumbuk, awuk sagu, lapis sagu, mam raha, kue suami, nasi pulut unti, pisang coe. Namun yang punya sejarah unik adalah kue asida.
“Kue Asida sebenarnya berasal dari Negara di Timur Tengah. Diyakini kudapan tersebut bisa menyebar ke desa-desa Muslim di Pulau Ambon, ketika para saudagar Arab ikut jalur perdagangan rempah sekitar tahun 1400-an,” catat Murdijati Gardjito dkk. dalam Ragam Kudapan Maluku, Sulawesi & Kalimantan.
Asal asida yang bukan dari Maluku terlihat dari bahan pembuatnya. Tepung untuk asida adalah tepung terigu, bukan tepung sagu yang khas Maluku. Lalu, bahan lainnya adalah gula aren, mentega, dan bubuk kayu manis yang dicampur dengan kapulaga. Menurut Murdijati Gardjito dkk., di negeri asalnya kue ini dicocol madu atau minyak samin. Namun karena di negeri-negeri di Ambon dan sekitarnya minyak samin kurang populer, kue tersebut pun dicocol mentega.
Sebagai kue bawaan pendatang dari Arab, masuk akal jika asida dipekenalkan kepada raja-raja negeri di Ambon ketika para pembawanya baru tiba. Berhubung raja-raja di sana sangat dekat dengan rakyatnya dibandingkan raja-raja Jawa, maka kue asida juga dikenal rakyat di berbagai negeri di Ambon. Belakangan, seiring ramainya perniagaan rempah yang melibatkan berbagai bangsa –yang tak melulu Muslim, orang-orang Kristiani di Ambon dan sekitarnya juga menyukai asida hingga akhirnya asida menjadi makanan favorit siapa saja di Maluku.
“Asida biasanya dihidangkan pada saat acara tertentu saja. Tetapi sekarang sudah sudah dapat dibeli sebagai oleh-oleh di kota Ambon,” catat Zulyani Hidayah dalam Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar