Al-Asma'i, Penyair di Balik Lantunan "Tob Tobi Tob"
Tembang viral “Tob Tobi Tob” bermula dari syair abad ke-8 karangan penyair Al-Asma’i dari Kekhalifahan Abbasiyah.
POTONGAN lirik “Tob Tobi Tob” belakangan di tengah bulan suci Ramadhan viral jadi audio beberapa meme di TikTok dan Instagram. Aslinya, itu adalah sebuah lantunan syair bertajuk “Sawt safiri el-bolboli” (suara siulan burung bulbul) yang dipopulerkan penyanyi Timur Tengah Ahmed el-Qatane.
Syair itu bukan ciptaan El-Qatane, melainkan syair yang sudah ada sejak era Kekhalifahan Abbasiyah di abad ke-8 Masehi. Salah satu syair karya penyair kondang Abdul Malik bin Qurayb al-Asma’i.
Beberapa sumber menceritakan, syair “Sawt safiri el-bolboli” dengan sembilan ayat itu dibuat Al-Asma’i dengan dipahat di atas bongkahan-bongkahan marmer untuk memperdaya penguasa kedua Kekhalifahan Abbasiyah (periode 754-775 M), Abu Jafar Abdullah bin Muhammad al-Mansur. Ia seorang khalifah yang menggemari syair-syair klasik. Ia juga punya dua pelayan yang sama-sama pandai menghafal syair.
“Khalifah Al-Mansurlah yang membangun kota nan indah dan ternama Baghdad. Al-Mansur menyenangi syair dan bahkan seringkali sanggup mengulang ayat-ayat syair yang dibacakan kepadanya. Terkadang jika syairnya membuatnya senang ia akan memberi hadiah pada sang penyair,” tulis James Baldwin dalam Fifty Famous People.
Namun selain dikenal menggemari syair, Khalifah Al-Mansur juga dikenal cermat dengan keuangan negara hingga bahkan cenderung dianggap kikir. Dalam beberapa sumber lain menyebutkan untuk menjaga reputasinya dari anggapan negatif itu, pada suatu ketika ia mengundang para penyair ke istananya di Baghdad.
Bak mengadakan sayembara, Khalifah Al-Mansur mempersilakan para penyair melantunkan syair-syairnya dan barang siapa yang syairnya belum pernah didengar oleh sang khalifah, si penyair akan dihadiahi emas berpeti-peti. Namun karena sang khalifah “jago” menghafal syair, ia akan selalu mengatakan sudah pernah mendengarnya sehingga para penyair yang datang hanya bisa pulang dengan tangan hampa.
Maka kemudian Al-Asma’i ikut serta dalam sayembara berikutnya. Ia datang dengan menyamarkan wajah dan berbusana laiknya seorang Arab Badui. Lantas Al-Asma’i melantunkan bait-bait syair “Sawt safiri el-bolboli” yang sarat dengan permainan kata yang cepat dan tata bahasa yang tak lazim yang akhirnya sang khalifah “kena ulti” karena tak bisa menghafalnya. Al-Asma’i meminta imbalan emas seberat bongkahan-bongkahan marmer yang jadi medium syairnya.
Baca juga: Baghdad, Islam dan 1001 Kehancuran
Siapa Al-Asma'i?
Dalam sejarah intelektualisme Islam, Al-Asma’i jadi satu dari sekian cendekiawan, sastrawan, penyair, dan bahkan ilmuwan di Era Keemasan Islam yang mendahului Umar Khayyam (abad ke-11), Jalaluddin Rumi (abad ke-13), apalagi Kahlil Gibran (abad ke-20). Ia lahir di Basra (Irak) sekitar tahun 740 Masehi dari keturunan keluarga penyair Uyaynah al-Muhallabi dan kemudian menimba ilmunya di Madrasah al-Basrah.
Seiring waktu setelah pindah ke Baghdad, Al-Asma’i jadi sosok polymath dalam beberapa studi ilmu. Tak ayal kemudian di masa kepemimpinan Khalifah Harun al-Rashid (periode 786-809 M), sang khalifah menitipkan kedua putranya, Al-Amin dan Al-Ma’nun untuk dibimbing oleh Al-Asma’i.
“Abdul Malik bin Qurayb al-Asma’i seorang filolog. Ia juga menulis kitab-kitab tentang fauna dan menghasilkan karya-karya antologi dan studi puisi Arab sepanjang sejarah. Dengan reputasi yang sopan dan gaya berbicara yang lembut, ia menjadi sahabat dekat Khalifah Abbasiyah, Harun al-Rashid di Baghdad,” ungkap Kousik Adhikari dalam Some Essays on Culture, Literature and Poetry: Essays.
Baca juga: Samudera Pasai dan Dinasti Abbasiyah
Al-Asma’i menjadi sahabat dekat sang khalifah bukan hanya karena ia merupakan guru dari kedua putra sang khalifah. Pasalnya, menurut Ouyang Wen-chin dalam Literary Criticism in Medieval Arabic-Islamic Culture: The Making of a Tradition, Al-Asma’i seringkali dengan sabar meladeni diskusi tengah malam dengan Khalifah Al-Rashid tentang sastra dan syair-syair Arab bahkan hingga ke masa Jahilliyah atau Pra-Islam.
Salah satu dari sekian karya yang jadi magnum opus-nya adalah Asma’iyyat. Kitab antologi itu dihimpun dan disusun Al-Asma’i terdiri dari 92 qasidah karangan 71 penyair, baik dari masa pra-Islam hingga awal berdirinya Islam di Jazirah Arab. Kelak pada abad ke-19, Asma’iyyat diterjemahkan orientalis Jerman Wilhelm Ahlwardt dan dimasukkan ke dalam salah satu dari 10 volume katalog manuskrip Arab, Verzeichnis der arabischen Handschriften (1887-1899).
Beberapa karya lainnya adalah kitab-kitab mengenai kritik sastra hingga analisis tata bahasa dan dialek. ia juga berkesempatan berperjalanan ke sejumlah tempat dengan tradisi dan budaya berbeda di wilayah Kekhalifahan Abbasiyah. Di masa Khalifah Al-Rashid, wilayahnya mencakup Ifriqiyah (Tunisia) di ujung barat hingga Samarkand (Uzbekistan) di ujung timur.
Sebelum wafat pada tahun 828 Masehi di Basra, Al-Asma’i acap jadi teladan dan rujukan tentang adab dan etika dalam keislaman. Utamanya di kalangan masyarakat yang multikultural antara kalangan masyarakat perkotaan dan kalangan masyarakat Arab Badui.
“Tidak mengherankan namanya juga ikut ditulis dalam Alf Laylah wa-Laylah (abad ke-18/Kisah 1001 Malam) dalam satu cerita, di mana ia sebagai juri dari sebuah kontes syair yang dilantunkan tiga gadis muda Basra. Al-Asma’i memilih pemenangnya berdasarkan syair yang lebih dekat dengan kehidupan nyata,” tandas Adhikari.
Baca juga: Kisah Harun Dari Negeri Seribusatu Malam
Tambahkan komentar
Belum ada komentar