Biola WR Supratman Punya Cerita
Cerita di balik biola asli WR Supratman. Saksi bisu yang musiknya mengalunkan irama jazz hingga lagu kebangsaan “Indonesia Raya”.
DARI sebuah ruangan bertuliskan “Gudang Koleksi”, kurator Museum Sumpah Pemuda (Muspada) Eko Septian membawa sebuah benda berselubung beludru hitam ke atas meja kerja di ruangan lain. Dengan cermat dan hati-hati, Eko yang mengenakan sarung tangan menyingkap sebuah biola tua lengkap dengan bow (stik penggesek) dari balik selubungnya.
Segenap bagian biola –dawai, upper bout dan lower bout (badan biola), chinrest (sandaran pipi), neck dan pegbox– berukuran standar 4/4 dengan panjang 36 centimeter dan lebar 20 cm itu masih sangat apik. Dari sela-sela salah satu f-holes (lubang badan depan) masih terlihat jelas sebuah marking di sisi dalamnya bertuliskan “Nicolaus Amatus fecit”.
“Memang uniknya ini biola model Nicolaus Amatus tapi bukan berarti buatan Nicolaus Amatus. Di zamannya ini biola murah. Banyak ada di pasaran. Yang bikin mahal biola ini tentunya nilai sejarahnya,” terang Eko kepada Historia.
Biola bersejarah itu adalah biola asli milik Wage Rudolf (WR) Supratman yang melantunkan lagu “Indonesia Raya” untuk pertamakalinya di Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928. Momen yang hari ini 94 tahun lampau ditetapkan sebagai Hari Sumpah Pemuda.
Baca juga: Supratman sebagai Buronan
Biola WR Supratman jadi salah satu “bintang” sejak 1974 atau setahun setelah pemugaran gedung yang berlokasi di Jalan Kramat No. 106, Jakarta Pusat. Biola berbahan kayu cyprus (jati Belanda), maple Italia, dan eboni Afrika Sekatan itu direparasi pada 1995. Sejak saat itu biola asli disimpan di gudang koleksi, sementara biola yang diapajang di ruang pamer utama sekadar replika.
“Replikanya juga dibuat di (pengrajin) Solo. Tempat yang sama waktu bagian leher biola aslinya direparasi. Sementara biola yang asli ini memang di gudang karena keluarga (ahli waris, red.) pun setuju daripada kenapa-kenapa karena sudah rapuh juga,” tambahnya.
Biola asli itu disimpan dengan cermat di sebuah lemari besi. Untuk perawatannya digunakan sejumlah bahan non-kimia. Salah satunya bawang putih sebagai pengawet alami yang ditaruh di lemarinya.
“Memang kalau perawatan kita sederhana ya. Kalau konsep yang dipegang museum (di bawah) Kemdikbud Ristek, sekarang kembali ke alam. Kita enggak pengin bersentuhan dengan bahan kimia lagi. Jadi pakai beberapa bahan alami,” imbuh Eko.
Baca juga: Kisah Rumah Tempat Lahirnya Sumpah Pemuda
Musikalitas Jazz hingga Lagu Kebangsaan
Supratman berasal dari keluarga besar yang tergolong berada. Ia termasuk dimanja sejak kecil. Pasalnya Supratman yang lahir di Jatinegara, Batavia (kini Jakarta) pada 9 Maret 1903 –kendati merupakan anak ketujuh dari sembilan bersaudara– merupakan satu-satunya anak lelaki yang bisa hidup dengan sehat hingga dewasa. Dua kakak lelakinya sudah dipanggil Yang Maha Kuasa sejak kecil.
Menurut Anthony C. Hutabarat, yang juga masih punya pertautan kerabat dengan Supratman, dalam biografi Meluruskan Sejarah dan Riwayat Hidup Wage Rudolf Soepratman, ayah Supratman bernama Djoemeno Senen Sastrosoehardjo alias Abdoelmoien. Ia merupakan prajurit KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda, red.) yang menikahi Siti Senen yang juga berasal dari kalangan priyai.
“Soepratman merupakan anak emas dan dimanja oleh keluarganya. Darah seni Soepratman turun dari kakeknya, Mas Ngabehi Notosoedirdjo, yang tergolong kaum priyai kaya dan memiliki persawahan yang luas dan terkenal di bidang kesenian, khususnya seni musik dan seni suara Jawa,” tulis Anthony.
Titik balik hidup Supratman terjadi usai ibunya wafat saat Supratman masih berusia enam tahun. Di saat itu, ayahnya sudah pensiun dari KNIL sehingga pendidikan Supratman dipercayakan kepada kakak sulung, Roekijem Soepratijah, bersama sang suami Willem van Eldik di Makassar.
Baca juga: Dari Timbul Lahirlah Indonesia Raya
Saat bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS), Supratman mulai mengenal seni musik dari Van Eldik. Supratman diajari Van Eldiklah memetik gitar dan menggesek biola saban pulang sekolah dari nol hingga mahir. Ia akhirnya bisa menciptakan karya sendiri.
“Jadi biola (asli di Muspada) ini memang dikasih kakak iparnya untuk digunakan Supratman berkarya ya. Kalau dari kisahnya memang diberikan sebagai hadiah (ulang tahun ke-17) karena sejak awal Supratman memang berguru dari kakak iparnya yang juga musisi itu,” sambung Eko.
Seiring pendidikannya yang cemerlang di ELS Makassar sampai kemudian tamat Normaal School (sekolah keguruan), Supratman sering “ngamen” di berbagai tempat elite di Makassar dengan memainkan musik jazz. Ia menghibur para serdadu KNIL hingga kader-kader Partai National Indische Partij.
“Selain mampu menguasai teknik bermain (biola) lagu-lagu klasik ciptaan (Frédéric) Chopin atau (Ludwig van) Beethoven, Soepratman bersama Van Eldik mendirikan kelompok jazz bernama ‘Black & White’. Band ini lama-kelamaan terkenal di seluruh Makassar. Karena gesekan biola Soepratman benar-benar mempesona dan mengesankan, ia sangat disukai para penggemar dansa. Suatu ketika band ini memperkenalkan diri kepada umum dengan menyelenggarakan pagelaran musik jazz yang penampilannya memperoleh sambutan luar biasa,” ungkap Anthony.
Baca juga: Jejak-jejak Peranakan dalam Alunan Sejarah Jazz
Namun kehidupan malam itu lama-kelamaan menimbulkan rasa bosan di benak Supratman. Minatnya lalu teralihkan pada banyak perkara politik di Hindia Belanda setelah bertemu dan kenal dekat dengan politikus sosialis Hendricus Josephus Franciscus Marie “Henk” Sneevliet pada 1924.
“Soepratman kemudian makin sering menghadiri ceramah dan diskusi politik sampai-sampai PID (Politieke Inlichtingen Dienst) selalu mengamati. Di kantor pengacara tempat ia bekerja, Soepratman membaca satu karangan politik yang mengutip majalah Hindia Poetra. Tulisan mahasiswa Indonesia yang berada di luar negeri Belanda memiliki kesadaran politik dan rasa kebangsaan yang tinggi. Membaca tulisan itu, kesadaran politik dan rasa kebangsaan Soepratman semakin terangsang,” sambungnya.
Di tahun yang sama, Supratman berlayar ke Jawa. Ia menumpang hidup di rumah kakaknya yang lain, Roekinah Soepratirah, di Surabaya, sebelum berpindah-pindah ke Cimahi, Bandung, kemudian Batavia pada 1925.
Demi menyambung hidup, Supratman alih profesi jadi jurnalis di suratkabar Sin Po. Supratman pun mulai dikenal pula oleh para pemuda pergerakan di circle Indonesische Club (IC).
“Ia juga insyaf bahwa perlu ada lagu-lagu pergerakan. Lagu yang mengobarkan semangat juang rakyat. Waktu itu sudah ada lagu yang dapat dianggap lagu pergerakan tapi belum cukup menggugah semangat berjuang. Lagu itu ialah ‘Dari Barat Sampai ke Timur’, lagu ciptaan Soepratman yang pertama. Hasratnya menggubah lagu yang dapat jadi lagu kebangsaan makin bertambah setelah tersiar berita dari IC yang dimpinpin Bung Karno, bahwa perlu adanya segera lagu nasional,” tulis Anthony lagi.
Baca juga: Jalan Panjang Indonesia Raya
Menjelang Kongres Pemuda II itulah, pertengahan 1928, lagu “Indonesia Raya” diciptakan. Tepat di hari kedua atau agenda terakhir kongres pada 28 Oktober 1928, Supratman mengalunkannya dengan gesekan biolanya yang syahdu dan menghanyutkan.
“Soepratman menggesek biolanya dengan penuh hikmat. Para hadirin terdiam mendengarkannya. Suasana ruangan hening dan tenang. Kemudian dilanjutkan dengan koor pemuda pemudi dari Perkumpulan Pelajar Indonesia membawakan lagu ‘Indonesia Raya’ yang dipimpin langsung oleh Soepratman dengan diiringi Orkes Indonesia Merdeka. Para hadirin terpaku dibuatnya,” ungkapnya.
Di hari itu juga “Indonesia Raya” ditetapkan jadi lagu kebangsaan Indonesia, seiring “sumpah suci” yang diucapkan para pemuda Indonesia yang dikenal dengan Sumpah Pemuda. Lantaran itulah kemudian lagu itu jadi lagu yang “haram” diperdengarkan di muka publik oleh pemerintah Hindia Belanda. Baru masa pendudukan Jepang “Indonesia Raya” boleh diperdengarkan berurutan dengan lagu kebangsaan Jepang, “Kimigayo”, sebagaimana bendera Merah-Putih diizinkan berkibar bedampingan dengan bendera Jepang.
Dari Tangan Keluarga ke Museum
Sangat disayangkan, Supratman sudah keburu berpulang sebelum lagu ciptaannya nan penuh makna itu tersiar luas di masa kemerdekaan. Supratman wafat di Surabaya pada 17 Agustus 1938. Kendati begitu, ia amat yakin negerinya bakal merdeka.
“Nasibku sudah begini. Inilah yang disukai oleh pemerintah Hindia Belanda. Biarlah saya meninggal. Saya ikhlas. Saya toh sudah beramal, berjuang dengan caraku, dengan biolaku. Saya yakin Indonesia pasti merdeka,” kata Supratman dua hari sebelum wafat kepada Oerip Kasansengari dalam Lagu Kebangsaan Indonesia Raya dan W. R. Soepratman, Pentjiptanja yang juga dikarang Oerip.
Oerip Kasansengari termasuk kerabat dekat Supratman yang turut membesuk di saat-saat terakhirnya. Hubungan keluarga terjalin lewati adik Oerip, B. M. Santoso Kasansengari, yang menikahi adik Supratman, Gijem Soepratinah.
Baca juga: Peranakan Tionghoa dan Lagu "Indonesia Raya"
Berbeda dari lagu “Indonesia Raya” yang telah menjadi milik bangsa, nasib biola Supratman berpindah-pindah tangan.
“Biola ini tetap dipegang Supratman sampai setelah beliau wafat dan yang pegang itu jatuh ke tangan kakaknya, Bu Roekijem. Beliau memegang biola itu sampai 1950-an. Sempat pada 1960-an Pemda Jawa Timur berencana membangun sebuah museum dan salah satu yang ingin dimasukkan ke museum di kota Surabaya itu ya biolanya Supratman. Tapi sampai berapa tahun kemudian museum itu enggak pernah ada (terealisasi, red.),” ujar Eko.
Biola Supratman tetap disimpan ahli warisnya di Surabaya. Dari satu kakak ke kakak yang lain lantaran Supratman meninggal dalam keadaan masih membujang.
Baca juga: Indonesia Raya Setelah Sumpah Pemuda
Pada 1974, biola itu diserahkan ke Muspada. Kisahnya bermula dari gagasan Raden Soediro Hardjodisastro, ketua Yayasan Gedung-Gedung Bersejarah DKI Jakarta, yang ingin memugar beberapa bangunan bersejarah untuk dijadikan museum. Di antaranya Museum Gedung Joang 45, Museum Kebangkitan Nasional, dan Museum Sumpah Pemuda.
“Nah Pak Soediro ini yang menghubungi Pak Oerip. Mereka berkomunikasi dengan saling membalas surat. Membicarakan tentang keinginan mengisi Gedung Sumpah Pemuda (nama lama Muspada) dengan beberapa koleksi, di antaranya koleksi Moh. Yamin dan Supratman,” jelas Eko.
Gayung pun bersambut. Oerip bersedia ditugasi Soediro untuk mengumpulkan dan mengkurasi sejumlah benda koleksi mendiang Supratman. Yang terpenting, biola Supratman yang masih di tangan salah satu kakaknya.
“Pencariannya itu dari 1973 bertepatan dengan pemugaran gedung (Muspada) ini. Kan ini dipugar pada 20 Mei 1973 tapi belum ada isinya. Pak Soediro minta Pak Oerip mencari dengan penugasan dan diberi honor. Setelah selesai tahun 1974, Pak Soediro dan Pak Oerip sama-sama menandatangani dokumen itu, yang intinya berisikan serah-terima semua koleksi yang berhubungan dengan WR Supratman. Ini jadi salah satu legalitasnya,” lanjutnya.
Baca juga: Perempuan dalam Kongres Pemuda
Meski mendekam di gudang, bukan berarti biola yang asli itu tak pernah “diangin-angini”. Biola bernomor inventaris 0002/07 itu bahkan pernah dua kali dimainkan Muhammad Idris Sardi, pada peringatan Hari Sumpah Pemuda tahun 2005 dan 2007.
“Kita sempat sedikit bingung karena Pak Idris pernah berpesan, biolanya harus sering dimainkan. Dan menjadi ganjil karena seluruh pegawai di sini enggak ada yang bisa main biola,” tandas Eko setengah bergurau.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar