top of page

Sejarah Indonesia

Supratman Sebagai Buronan

Supratman sebagai Buronan

Film tentang pencipta lagu Indonesia Raya yang dikejar-kejar polisi Belanda. Menghindari kontroversi, seperti soal istri.

Oleh :
29 Oktober 2017

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Wage Rudolf Supratman (Rendra Bagus) dalam salah satu adegan di film Wage. Foto: Trailer film Wage.

MELIHAT beberapa rekannya semangat menyerukan perjuangan kemerdekaan di sebuah gudang pabrik di Makassar, Wage Rudolf Supratman (Rendra Bagus) tergerak untuk membantu mereka secara finansial. Bantuannya terhadap pergerakan ini diselidiki polisi setempat. Tak ingin keluarganya, Van Eldick (Wouter Aweers) dan Roekiyem (Putri Ayudya), terancam, dia memutuskan pindah ke Jawa.


Di Jawa, Supratman bekerja sebagai wartawan dan penulis. Dia berteman dengan beberapa tokoh pergerakan. Dia juga bertemu dengan Fritz (Teuku Rifnu Wikana), polisi Belanda yang mengejarnya dan selalu mencari kesalahannya.


Gambaran inilah yang ditampilkan John de Rantau dalam film Wage yang dirilis serentak pada 9 November 2017. John tak ingin menyebut film ini sebagai biopic melainkan noir. Meski film menceritakan perjalanan hidup Supratman sebagai pencipta lagu Indonesia Raya, inti cerita ada pada pengejaran seorang polisi Belanda bernama Fritz dengan buronannya, Wage. “Saya membuat film tentang penjahat yang dikejar-kejar polisi,” ujar John.


Untuk membuat film berdasarkan kisah hidup tokoh sejarah, John mempersiapkan riset film ini secara on-off selama beberapa tahun belakangan dan terlaksana pada tahun kelima risetnya. “Saya melakukan riset pustaka, tidak mewawancarai narasumber. Yang dengan narasumber para pemain,” kata John.


Jauh sebelumnya, pada 1980-an Perusahaan Film Negara (PFN) berencana membuat film tentang Supratman. Umar Nur Zain ditunjuk sebagai penulis naskah dan rencananya diterbitkan oleh PT Sinar Harapan. “Sayangnya, rencana ini tidak terealisasi karena PFN mengeluarkan film yang dianggap lebih penting untuk dibuat, yakni Pengkhianatan G 30 S PKI,” kata Asvi Warman Adam, sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).


Asvi mengapresiasi usaha John karena tak hanya membuat film tentang tokoh sejarah, tetapi juga pelurusan sejarah. Misalnya, tempat kelahiran Supratman di Desa Somongari, Purworejo, Jawa Tengah, bukan Jatinegara. “Tempat kelahiran Supratman sebenarnya di Purworejo. Bapaknya memang tugas di Jatinegara, biasanya tempat kelahiran ditulis seusai tempat tugas bapaknya,” kata Asvi.


John menampilkan Supratman tak hanya sebagai tokoh pencipta lagu tapi juga seorang wartawan Sin Po dan penulis novel. John mengaku berusaha menghindari kontroversi seputar kehidupan Supratman. Misalnya, soal istri. Ada sumber yang menyebutkan Supratman menikah dengan Salamah, namun pihak keluarga membantahnya. John hanya menampilkan Supratman sempat menjalin hubungan dengan seorang gadis.


Film yang didanai Pondok Pesantren Majma’ul Bahroin Hubbul Wathon Minal Iman Siddiqiyah ini, tak luput dari kritik. Salim Said, guru besar ilmu politik Universitas Pertahanan sekaligus mantan ketua Dewan Kesenian Jakarta, mengkritik adegan ketika perumusan Sumpah Pemuda. Para peserta kongres menolak usulan Sumpah Pemuda ketiga yang menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu. Padahal, di masa tersebut bahasa Indonesia sudah cukup luas digunakan, terbukti dari adanya terbitan berbahasa Indonesia.


“Sulit menerima bahwa orang Jawa tidak mau menerima Sumpah Pemuda soal bahasa karena rata-rata elite politik Jawa sudah mengerti bahasa Melayu,” kata Salim.


John juga melewatkan detil-detil dalam film. Misalnya, para perempuan bumiputra yang mengenakan baju terusan. Padahal, di tahun itu masih banyak dan lumrah perempuan bumiputra mengenakan kebaya. Justru memakai pakian ala barat yang tidak lumrah. Bangunan-bangunan bergaya Eropa yang rusak padahal seting film tahun 1920-an.


Casting para pemain juga jadi catatan. John barang kali punya asalan, tapi sangat sulit rasanya melihat Teuku Rifnu Wikana, terlepas dari aktingnya yang patut diacungi jempol, memerankan seorang Indo-Belanda. Dialog-dialog dalam film juga terasa tidak natural. Meski demikian, film ini patut diapresiasi lantaran menampilkan tokoh sejarah tanpa terjebak heriosme dan tak menampilkan Belanda sebagai pihak yang melulu jahat.

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
bottom of page