Sejarah Awal BNI
Modal awal BNI dari uang keperluan rumah tangga dan iuran rakyat dalam Fonds Kemerdekaan Indonesia.
Tak lama setelah Indonesia merdeka, R.M. Margono Djojohadikusumo, pegawai Volkscredietwezen (perkreditan rakyat) dan jawatan koperasi sejak masa kolonial, memiliki gagasan mendirikan bank nasional yang akan melayani lalu lintas perdagangan. Sejak masa kolonial hingga saat itu bangsa Indonesia tidak memiliki bank nasional. Bank-bank yang ada, seperti bank perkreditan serta bank dagang dan sirkulasi, milik bangsa-bangsa asing, seperti De Javasche Bank.
Margono mengajukan gagasannya kepada kemenakannya, Ir. Surachman, wakil menteri keuangan. Namun, Surachman menanggapinya dengan mengatakan, “Mengapa anda mau bersusah-susah. Nanti kita ambil alih seluruh Javasche Bank lengkap dengan aparatnya yang berpengetahuan dan berpengalaman itu.”
Baca juga: Mesin ATM Pertama di Indonesia
Margono kemudian mendatangi Wakil Presiden Mohammad Hatta. Hatta menyambut baik gagasan tentang satu bank pusat itu. Keduanya bersama-sama menyusun Surat Kuasa kepada Margono untuk membentuk Bank Negara Indonesia. Surat Kuasa bertanggal 16 September 1945 ini ditandatangani oleh Sukarno dan Hatta dalam rapat kabinet pada 19 September 1945 jam empat sore.
“[Naskah] aslinya diambil tentara Belanda dalam aksi militernya yang kedua dalam bulan Desember 1948 bersama berkas-berkas lainnya dari Bank Negara Indonesia. Sejak itu saya tidak pernah melihatnya lagi,” kata Margono dalam memoarnya, Kenang-kenangan dari Tiga Zaman.
Untungnya Margono punya salinannya yang kemudian dicetak dalam laporan tahunan pertama Bank Negara Indonesia pada 17 Maret 1948.
Margono kemudian menghubungi para pengusaha di Bandung, Yogyakarta, Solo, dan Surabaya. Namun, dia hanya menerima janji-janji dan tidak mendapatkan dana dari para pengusaha karena memang Surat Kuasa melarangnya.
Kawannya, R.M. Surojo, seorang notaris di Jakarta, mengusulkan agar Margono membuat yayasan sebagai “stasiun antara” penampung dana. Margono menerima usulan itu. Surojo membuatkan akta pendirian Yayasan Pusat Bank Indonesia dengan modal awal f.100 (seratus rupiah uang Jepang).
“Jumlah ini dapat diambil dari uang keperluan rumah tangga kami,” kata Margono.
Margono kemudian mendapatkan tambahan dana yang besar dari dokter keluarganya, dr. Soeharto, yang juga dokter keluarga Presiden Sukarno. Dr. Soeharto menerangkan kepada Margono bahwa ada dana di bawah pengurusannya, yaitu Fonds Kemerdekaan Indonesia.
“Saya tidak tahu untuk apa dana itu, dan dari mana asalnya. Tetapi dr. Soeharto masih mempunyai Rp350.000 (uang Jepang) dan menawarkan kepada saya supaya dipakai sebagai modal permulaan bank itu. Saya sangat girang menerimanya, karena dengan ini dapatlah saya tutup ongkos-ongkos untuk administrasi, dll,” kata Margono.
Baca juga: Sejarah Lahirnya Bank Syariah di Indonesia
Dr. Soeharto mengelola Fonds Kemerdekaan Indonesia sejak 18 Agustus 1945 dan berkantor di Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Tugasnya sehari-hari mengurus uang yang disumbangkan dan disampaikan untuk Fonds Kemerdekaan Indonesia, terutama melalui Bung Hatta, dan juga mengurus berbagai pengeluaran uang atas perintah Bung Karno atau Bung Hatta.
Pengeluaran itu sebagian besar untuk membekali orang-orang atau rombongan utusan daerah yang hendak kembali ke daerahnya, serta untuk menjalankan berbagai tugas dan sebagainya.
“FKI (Fonds Kemerdekaan Indonesia) pun menyediakan modal pertama bagi Yayasan Pusat Bank Indonesia, yang di kemudian hari berkembang menjadi Bank Negara Indonesia. Modal pertama yang saya serahkan itu sebesar Rp340.000. Uang Jepang tentunya,” kata dr. Soeharto dalam memoarnya, Saksi Sejarah.
Baca juga: Kasus Bank Vanuatu di Indonesia
Pengumpulan dana dari masyarakat lewat lembaga Fonds telah dilakukan sejak masa pendudukan Jepang. Fonds Perang dibentuk pada 1943 untuk menggalang dana mulai dari desa sampai karesidenan dengan berbagai cara, seperti peringatan hari besar nasional, pasar malam, atau pertunjukan kesenian.
Fonds Perang kemudian ditambah kata “Kemerdekaan” setelah Perdana Menteri Koiso mengumumkan janji kemerdekaan kepada Indonesia di depan parlemen Jepang pada 7 September 1944. Setelah Indonesia merdeka, kata “Perang” dihilangkan dan namanya diubah menjadi Fonds Kemerdekaan Indonesia.
Setelah mendapatkan dana dari Fonds Kemerdekaan Indonesia, Margono kemudian mencari kantor untuk Pusat Bank Indonesia. Dia menduduki gedung di Menteng 23 Jakarta yang bertuliskan “Milik Republik”.
Langkah selanjutnya adalah mencari pekerja. Margono merekrut Mr. Ismail Thaib, bekas anak asuhnya di jawatan koperasi; Mr. Abdul Karim yang diajukan Bung Hatta karena pernah bekerja di Shomin Ginko (Bank Rakyat) pada masa pendudukan Jepang; lima tenaga teknis yaitu Sabaruddin, Gondosuwirjo, Saharno, Martiono, dan Mr. Sukasno; Sabaruddin dan Gondosuwirjo bekas pegawai staf Javasche Bank, Saharno dan Martiono dari Nederlandse Handelsbank, serta Mr. Sukasno dari AVB (Algemeene Volkscrediet Bank).
Ketika Jakarta tidak aman dan pemerintahan dipindahkan ke Yogyakarta pada awal Januari 1946, kantor Pusat Bank Indonesia pun ikut pindah dan ditempatkan di gedung bekas Javasche Bank.
Pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 tahun 1946 tanggal 5 Juli 1946 yang menetapkan Pusat Bank Indonesia menjadi Bank Negara Indonesia (BNI) yang pengesahannya secara resmi pada 17 Agustus 1946.
Awalnya BNI sebagai bank sentral, namun kemudian berdasarkan Undang-Undang No. 17 tahun 1968, BNI ditetapkan menjadi “Bank Negara Indonesia 1946” dan statusnya menjadi bank BUMN (Badan Usaha Milik Negara).
“Lembaga dari Republik Indonesia ini, yang dilahirkan tidak lama sesudah Proklamasi kemerdekaan Indonesia, bagi saya pribadi adalah sebagai penutup dari tugas hidup saya,” kata Margono yang dibebaskan dari tugas sebagai presiden direktur BNI dan Bank Industri Negara pada Oktober 1953.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar