Ketika Genderang Buruh Ditabuh
Pergerakan buruh memasuki masa kegemilangan pada 1950-an. Mati suri setelah pergantian rezim.
19 Mei 1948. Ribuan buruh dan petani kapas di Delanggu, Klaten, Jawa Tengah, mendatangi kantor Badan Textil Negara (BTN) di Solo. Mereka menuntut pembayaran upah yang tertunda sejak 1947.
Aksi itu memicu munculnya aksi mogok di berbagai tempat. Sejak 26 Mei, Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) mengambil-alih aksi tersebut. Konflik kian memanas ketika mereka bentrok dengan Serikat Tani Islam Indonesia yang berafiliasi dengan Masyumi.
Untuk mengatasinya, Kementerian Perburuhan dan Sosial mendudukkan wakil-wakil pihak yang bertikai di meja perundingan. Hasilnya, kedua pihak sepakat menandatangani “Akte Persetudjuan”. Sayang, akte tersebut akhirnya hanya jadi secarik kertas lantaran BTN tak tergerak menjalankannya. Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat pun turun tangan dengan membentuk Panitia Enquete. Lagi-lagi, Panitia Enquete tak memberi banyak hasil. Baru setelah Perdana Menteri Mohammad Hatta mengadakan pertemuan dengan pimpinan SOBSI pada 14 Juli, pemogokan dihentikan.
Pemogokan Delanggu bukan hanya aksi buruh dan tani pertama setelah Indonesia merdeka, tapi juga menjadi bahan ajar penting bagi pemerintah dalam menangani masalah perburuhan.
Dari THR hingga Cuti Hamil
Periode 1950-an ditandai dengan aksi mogok yang dilakukan berbagai serikat buruh. Salah satu tuntutan yang diangkat adalah Tunjangan Hari Raya (THR). Tingkat kenaikan upah buruh amat kecil bila dibandingkan kenaikan harga barang, terutama mejelang Lebaran. SOBSI berada di garda terdepan dalam memperjuangkan THR sebagai hak kaum buruh.
Namun, hingga 1952, tuntutan itu masih bersifat lokal. Penyelesaiannya pun beragam, tergantung kesepakatan dengan perusahaan masing-masing. Umumnya, THR masih dianggap sebagai pemberian yang bersifat sukarela. Maka, untuk mengintensifkan perjuangan, kaum buruh menggalang dukungan secara nasional, termasuk dengan menggandeng pegawai negeri. Perjuangan mulai menampakkan hasil pada 1954 dengan keluarnya peraturan tentang Persekot Hari Raya, Surat Edaran No. 3676/1954 tentang Hadiah Lebaran, dan puncaknya Permen No. 1/1961 yang esensinya menetapkan THR sebagai hak buruh.
Baca juga: SK Trimurti, Menteri Perburuhan Pertama
“THR menjadi satu contoh bagaimana hasil perjuangan serikat buruh pada akhirnya dapat dirasakan oleh masyarakat luas, dan malah kemudian menjadi kebiasaan umum,” tulis Jafar Suryomenggolo, peneliti dari Pusat Studi Asia Tenggara (CSEAS), Universitas Kyoto.
Buruh perempuan punya perjuangan lebih berat. Selain hak-hak umum buruh, mereka memperjuangkan kesetaraan upah dan perlindungan kesehatan reproduksi seperti cuti haid dan cuti hamil. Hak-hak itu sudah diakui dalam Undang-Undang (UU) No. 12/1948 namun implementasinya jauh panggang dari api. Upah buruh perempuan masih lebih rendah daripada buruh laki-laki. Banyak majikan juga engan membayar upah buruh perempuan yang mengambil cuti hamil.
Baca juga: Dua Buku Buruh Karya Menteri Buruh SK Trimurti
Untuk memenuhi tuntutan buruh perempuan, Menteri Perburuhan Iskandar Tedjasukmana membentuk Panitia Sosial Buruh Perempuan pada 1951. Panitia itu bertugas membentuk sejumlah badan yang mendukung dan menolong kehidupan perempuan, seperti klinik bersalin, tempat penitipan bayi dan anak-anak, hingga asrama buruh perempuan. Sayangnya, tak ada informasi lebih lanjut mengenai Panitia ini.
Pada 1957, pemerintah juga mengakui Konvensi ILO No. 100 tahun 1951 yang mengatur kesetaraan upah buruh laki dan perempuan. “Dasar aturan hukum ini menjadi rujukan utama yang masih kita pergunakan sampai hari ini,” tulis Jafar.
Militer dan Politik
Periode 1950-an juga dicirikan dengan menguatnya peran militer, termasuk dalam politik perburuhan. Militer menganggap pemogokan buruh sebagai ancaman terhadap keamanan dan karenanya harus dilarang. Sepanjang 1950, beberapa panglima daerah mengeluarkan aturan larangan pemogokan di wilayah masing-masing. Yang melawan diganjar pemutusan hubungan kerja. Pemerintah seia-sekata, terbukti dengan dikeluarkannya Peraturan Kekuasaan Militer Pusat No 1/1951.
“Aturan larangan pemogokan ini menjadi rangka awal keterlibatan militer dalam urusan perburuhan –dan menjadi pola umum dalam menundukkan kaum buruh, yang berlanjut hingga di masa Orde Baru,” tulis Jafar.
Baca juga: Jejak Buruh di Awal Mei
Peraturan-peraturan itu ternyata tak menyelesaikan masalah perburuhan. Pada September 1951, pemerintah mengeluarkan UU Darurat No. 16/1951. Selain mencabut Peraturan Kekuasaan Militer Pusat, UU ini mengamanatkan pembentukan Panitya Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (P-4). Kendati bisa menekan jumlah pemogikan dan menyelesaikan beberapa perselisihan perburuhan, UU baru ini tak disenangi kaum buruh. Penyebabnya, sejumlah pengusaha enggan menyerahkan perselisihan perburuhan kepada P-4. Setelah mendapat masukan dari pihak buruh maupun majikan, UU Darurat digantikan dengan UU No. 22/1957.
Perjuangan buruh masih jauh dari selesai. Terlebih ketika militer mendapat kekuasaan lebih lewat Keadaan Darurat Perang. Namun, pada saat bersamaan, serikat-serikat buruh juga punya kekuatan tawar yang signifikan karena afiliasinya dengan partai politik. SOBSI contoh paling kentara. Bersama Partai Komunis Indonesia, SOBSI aktif mengkampanyekan hak-hak buruh dan tani.
Baca juga: Menyuarakan Nasib Buruh Perempuan
Jafar memang tidak spesifik membahas SOBSI, yang kerap dianggap sebagai ikon pergerakan buruh. Tapi ulasannya mengenai perseteruan Serikat Buruh Kereta Api (SBKA) dengan Persatuan Buruh Kereta Api (PBKA) bisa menjadi contoh gesekan yang timbul akibat perbedaan ideologi. SBKA bergandengan dengan kelompok “kiri”, sementara PBKA merapat ke kelompok “kanan”. Bahkan, sesuai konteks Perang Dingin, PBKA menerima dana dari International Cooperation Administration (ICA), lembaga donor dalam naungan Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat –kini, Badan Bantuan Pembangunan Internasional Amerika (USAID).
Gegap-gempita perjuangan buruh berakhir setelah terjadinya pergantian rezim. Pergerakan buruh mati suri.
Buku ini merupakan kompilasi dari tulisan-tulisan Jafar Surjomenggolo yang berserakan di sejumlah media dan dua tulisan baru. Sayangnya, banyaknya bahasan pada masa Orde Baru membuat isi buku ini kurang padu dengan judulnya. Mungkin untuk menunjukkan kontinuitas sejarah pergerakan buruh di Indonesia. Namun, kendati bukan kajian utuh, buku ini mengisi kekosongan referensi mengenai pergerakan buruh tahun 1950-an.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar