Dua Buku Buruh Karya Menteri Buruh SK Trimurti
Melihat kurangnya pemahaman teori perjuangan buruh, SK Trimurti menulis buku tentang buruh.
Pada 11 Mei 1975, dia berceramah tentang sejarah buruh dalam acara yang dihelat Yayasan Idayu bekerja sama dengan Yayasan Gedung-gedung Bersejarah Jakarta dan Museum Kebangkitan Nasional. “Saya berpikir, bahwa ceramah-ceramah yang diadakan di gedung ini, semuanya akan diarahkan kepada memperlengkap penulisan sejarah,” tulis Trimurti dalam pengantar ceramahnya. Kedua karya ini mengisi kelangkaan informasi dalam penulisan sejarah buruh di Indonesia.
Tentang Perjuangan Buruh
A.B.C. Perdjuangan Buruh, diterbitkan oleh Pusat Pimpinan PBI, Yogyakarta, 1948.
Mengapa buruh berjuang? Untuk memperbaiki nasib agar dapat hidup layak sebagai manusia. Apa saja? Trimurti menyebut hak demokrasi, meliputi berserikat dan berdagang, menyatakan pikiran, berdemonstrasi dan mogok. Setelah itu barulah kaum buruh memperjuangkan jaminan upah minimum, jam kerja, hak istirahat dan hari libur, keselamatan kerja, jaminan sosial, UU perjanjian kerja, serta perwakilan buruh yang mengawasi penerapan semua UU untuk melindungi buruh.
Tapi itu saja belum cukup; baru tujuan jangka pendek (“reformis”). Selama kapitalisme masih ada, buruh akan diperbudak. Kaum buruh harus punya tujuan jangka panjang (“prinsipil”), yakni hilangnya masyarakat kapitalis dan terbentuknya masyarakat sosialis yang menghendaki hapusnya perbedaan kelas dalam masyarakat.
Baca juga: SK Trimurti, Menteri Perburuhan Pertama
Trimurti menjawab kritik kalangan agama bahwa masyarakat sosialis kafir, memungkiri Tuhan. Menurutnya, tiap agama, tiap kitab suci, baik Injil maupun Alquran, memerintahkan manusia agar mencintai sesama manusia, tak menindas satu golongan dengan golongan lain. “Orang merdeka memeluk agama atau kepercayaannya masing-masing. Tapi itu tidak patut menjadi alasan bagi kaum agama untuk menjauhi sosialisme.”
Untuk mencapai tujuan itu, kaum buruh bukan hanya menjadi anggota serikat buruh tapi juga partai. Serikat buruh memperjuangkan nasib buruh sehari-hari, sementara partai memperjuangkan tujuan yang prinsipil dan radikal.
Negara, bagi Trimurti, adalah pentung dari kelas yang menang untuk mementung kelas yang kalah, kelas proletar. Wujud pentung itu adalah polisi, UU, pegawai, anggota parlemen, anggota kabinet, suratkabar, pendidikan, dan lain-lain, yang sebagian besar jadi kaki tangan dan alat kapitalisme. “Kaum buruh harus merebut kekuasaan negara, sebagai pentung, untuk alat perjuangannya.”
Bagaimana caranya? Trimurti menyebut jalan parlementer dan aksi massa.
Trimurti menutup buku ini dengan uraian mengenai kemerdekaan Indonesia sebagai jembatan emas bagi perjuangan buruh. Kemerdekaan Indonesia belumlah 100%. Karenanya, selain memperjuangkan perbaikan nasib, kaum buruh harus mengisi dan memperkuat pemerintahan, bekerja sama dengan segala golongan dan aliran.
Tentang Sejarah Buruh
Hubungan Pergerakan Buruh Indonesia dengan Pergerakan Kemerdekaan Nasional, Yayasan Idayu-Jakarta, 1975.
Penggerak perjuangan buruh di Indonesia berbeda dari Eropa. Di Eropa, yang negaranegaranya sudah merdeka, kaum pekerja terenggut nasibnya karena perkembangan industri dalam sistem kapitalis. Mereka tak punya alat produksi. Mereka dinamakan golongan proletar. Perjuangan kelas antara golongan proletar dan kapitalis tampak jelas di Eropa.
Di Indonesia, yang masih agraris, kaum pekerja memiliki alat produksi seperti cangkul dan ani-ani. Mereka menjadi miskin karena penjajahan. Itulah sebabnya daya penggerak perjuangan buruh di Indonesia adalah perjuangan rakyat miskin untuk memperjuangkan nasib dengan satu penghalang: penjajahan. “Dalam sejarahnya, perjuangan buruh selalu berdampingan dengan perjuangan kemerdekaan nasional.”
Trimurti pun membahas perjuangan kaum buruh, yang dipengaruhi situasi sosial-politik, dalam beberapa periode: sebelum 1908, 1908-1918, dan 1918-1945.
Politik Etis bukan hanya menciptakan kaum terdidik yang mendirikan organisasi politik tapi juga mendorong kemunculan serikat buruh. Kondisi ekonomi yang sulit meningkatkan pergerakan buruh, yang memunculkan gagasan untuk mendirikan induk organisasi. Namun, semuanya harus bubar di masa Jepang.
Baca juga: Jejak Buruh di Awal Mei
Usai Proklamasi, kaum pemuda ambil bagian. Muncullah Barisan Buruh Indonesia, yang kemudian disusul dengan organisasi buruh lainnya. Perbedaan pendapat di antara pemimpinpemimpin politik memecah perjuangan buruh. Begitu juga perbedaan ideologi politik dan sikap mengenai perundingan dengan Belanda, atau pengaruh dan perseteruan partai politik selama 1950-an. Perpecahan menjadi warna gerakan buruh hingga pemerintahan Sukarno berakhir. Gerakan 30 September 1965 mengubah semuanya.
“Sesudah G30S dapat ditumpas, organisasi-organisasi buruh yang nonkomunis tetap berdiri dan berkembang. Sedang yang prokomunis semuanya dibubarkan.”
Tambahkan komentar
Belum ada komentar