Cerita Impor Kedelai di Indonesia
Kedelai impor membanjiri Indonesia sejak masa Hindia Belanda. Harganya lebih murah daripada kedelai lokal.
Masyarakat Indonesia mendapat kejutan pada awal tahun baru 2021. Tempe dan tahu menghilang dari pasaran. Musababnya pembuat tempe dan tahu kesulitan mengolah kacang kedelai. Harga kedelai impor naik pesat. Padahal lebih dari 70 persen kebutuhan kedelai Indonesia berasal dari impor. Belakangan, pembuat tempe dan tahu mulai berproduksi kembali. Tapi harga tempe dan tahu naik.
Harga kedelai naik pesat bukanlah cerita baru. Sejarah menunjukkan Indonesia sulit lepas dari ketergantungan impor kedelai. Impor ini telah bermula sejak masa Hindia Belanda. Menurut William Shurtleff dan Akiko Aoyagi dalam History of Tempeh and Tempeh Products (1815–2011), Hindia Belanda menjadi salah satu pengimpor besar kedelai di dunia pada 1920-an.
Baca juga: Sejarah Tempe
“Setiap tahun, Jawa membutuhkan jumlah kedelai yang cukup banyak. Sekitar setengahnya berasal dari impor,” ungkap Shurtleff dan Aoyagi, mengutip catatan D.F. Blokhuis dalam Over de Beteekenis van de Sojaboon als Handelsproduct (Arti Pentingnya Kacang Kedelai Secara Komersial Sebagai Komoditas) terbitan 1932. Jumlah impornya mencapai 200 ribu ton untuk kebutuhan 35 juta penduduk.
Dari 200 ribu ton kedelai impor, 95 ribu ton lebih berasal dari Manchuria. Kedelai impor itu digunakan untuk membuat tempe, tahu, dan kecap. Blokhuis menyebut sebenarnya kedelai lokal sama cocoknya untuk digunakan sebagai bahan utama pembuatan tiga jenis makanan tersebut.
“Tetapi para pembuat tempe dan tahu memilih menggunakan kedelai impor sebagai bahan utama pembuatan tempe dan tahu karena kedelai impor lebih memuaskan,” sebut Blokhuis. Ukuran kedelai impor lebih besar daripada kedelai lokal. Selain itu, pasokannya juga lebih stabil.
Masa itu, pasokan kedelai lokal terbanyak di Hindia Belanda berada di Jawa Tengah dan Timur. Di sini para pembuat tempe dan tahu memilih kedelai lokal. Tapi di Jawa Barat justru kebalikannya. Sebab lahan kedelai di Jawa Barat lebih sedikit daripada di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sedikit lahan mengakibatkan sedikitnya produksi kedelai. Buntutnya pasokan tak stabil dan kurang. Karena itulah, kedelai impor sangat laku di Jawa Barat.
Baca juga: Tempe Berdikari Produksi ITB
Memasuki masa kemerdekaan, impor kedelai menurun. Saat bersamaan, kebutuhan terhadap kedelai juga stagnan. Masa-masa setelahnya sampai era Demokrasi Terpimpin Sukarno, data produksi tempe sangat minim. Tak diketahui secara pasti berapa nilai impor dan produksi tempe dalam negeri ketika itu.
Yang pasti, tempe saat itu termasuk menjadi menu andalan bersama jagung untuk Revolusi Menu yang dicanangkan Sukarno pada 1964. Sebab tempe telah dikenal memiliki kandungan protein tinggi. Bahkan Institut Teknologi Bandung memproduksi tempe dengan kandungan gizi lebih tinggi daripada telur.
Data impor dan produksi tempe muncul kembali pada 1970-an. Menurut Anes Rachman dkk. dalam Ekonomi Kedelai di Indonesia, Indonesia mengimpor kembali kedelai pada 1972. Jumlahnya 183 ton. Relatif kecil dibandingkan dengan produksi dalam negeri yang mencapai 518.229 ton. Sementara kebutuhan kedelai saat itu berada pada angka 515.357 ton untuk 131 juta penduduk.
Baca juga: Sukarno dan Gerakan Makan Jagung
Angka tersebut menunjukkan Indonesia surplus kedelai sehingga mampu mengekspor kedelai sebesar 3.055 ton. Tapi cerita manis ini berubah memasuki 1976. Nilai konsumsi kedelai Indonesia naik sedikit menjadi 692.969 ton. Begitu pula dengan produksi. Ada kenaikan menjadi 521.777. Tetapi kenaikan ini tak sebanding dengan kebutuhan.
Defisit konsumsi tersebut tak tertutup oleh pembukaan keran impor kedelai secara besar-besaran. Tercatat saat itu nilai impor kedelai naik drastis hingga 171.746 ton. Anes Rachman mencatat, defisit tersebut terjadi karena beberapa hal seperti penurunan areal produksi, peningkatan jumlah penduduk, dan kelambanan perubahan teknologi.
Baca juga: Impor Beras Burma Sebabkan Wabah Pes di Jawa
Karena itulah, pemerintah meminta Badan Urusan Logistik (BULOG) untuk mengurangi defisit kebutuhan kedelai nasional. BULOG memegang monopoli impor kedelai dan harus menjaga harga kedelai lokal agar tetap bisa bersaing dengan kedelai impor. Untuk urusan ini, BULOG bekerja sama dengan Koperasi Pengusaha Tempe Tahu Indonesia (KOPTI) yang berdiri sejak 1979.
Radius Prawiro dalam Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi Pragmatisme dalam Aksi menyebut BULOG mencatat peran penting dalam swasembada beras di Indonesia pada 1980-an. Tetapi dalam kasus kedelai, BULOG tak berperan banyak. Beberapa program BULOG yang sukses diterapkan dalam program swasembada beras seperti Bimbingan Masyarakat, gagal pada ranah kedelai.
Dalam urusan penentuan harga kedelai pun, BULOG tak berdaya menghadapi tekanan hukum permintaan dan penawaran. “Harga komoditas kedelai hampir tidak tersentuh oleh kebijakan pemerintah. Harga kedelai sepenuhnya ditentukan oleh mekanisme pasar, yang tergantung pada permintaan dan penawaran (demand and supply),” catat Tahlim Sudaryanto dan Dewa K.S. Swastika dalam “Ekonomi Kedelai di Indonesia” termuat dalam Kedelai Teknik Produksi dan Pengembangan.
Baca juga: Alkisah Beras Sintetis dari Zaman Orde Baru
Kondisi tersebut membuat harga kedelai impor selalu lebih rendah daripada kedelai lokal. Petani menjadi tak begitu tertarik untuk memproduksi lebih banyak kedelai. Sebab, tak banyak untung dari memanen kedelai. Mereka lebih memilih menanam jagung karena harganya lebih kompetitif dan menguntungkan.
Sementara itu, angka perbandingan pertumbuhan produksi dan konsumsi kedelai sepanjang dekade 1970–1990 juga jomplang. Angka konsumsi selalu lebih tinggi daripada angka produksi.
Tahlim Sudaryanto mengungkapkan tingkat produksi kedelai Indonesia sebenarnya pernah mengalami penurunan beberapa kali sejak 1992 hingga puncaknya pada 1998. Tetapi penurunan konsumsi itu terjadi karena penurunan ketersediaan kedelai impor.
“Turunnya volume impor kedelai secara otomatis menurunkan volume persediaan (penawaran) dalam negeri. Konsumsi pun menyesuaikan dengan ketersediaan kedelai di dalam negeri,” ungkap Tahlim.
Untuk mengatasi itu, pemerintah mengakhiri monopoli impor kedelai di tangan BULOG pada 1998. Sejak itulah, swasta ikut berperan dalam menentukan tinggi rendahnya jumlah impor kedelai.
Produksi kedelai nasional tak kunjung mampu mencukupi kebutuhan kedelai. Sejak itulah pemerintah menerapkan bea impor nol persen. Kebijakan liberalisasi ini membuat kedelai impor kian membanjiri Indonesia. Sebagian besar berasal dari Amerika Serikat. Kemudian pada 2004, pemerintah menghapus subsidi dan kredit lunak untuk palawija termasuk kedelai.
“Menyebabkan biaya produksi kedelai di dalam negeri meningkat, sehingga daya saing usaha tani kedelai semakin lemah,” tulis Dewa K.S. Swastika dkk. dalam “Perdagangan Internasional Kedelai” termuat dalam Kedelai Teknik Produksi dan Pengembangan.
Hingga hari ini, Indonesia masih terbelit lingkaran setan produksi kedelai nasional.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar