Bukti Keberagaman dari Muatan Kapal Tenggelam
Kapal tenggelam membuktikan Nusantara dikunjungi berbagai bangsa. Membawa budaya yang menjadikan Indonesia beragam.
Pemerintah membuka peluang investasi asing dalam pengangkatan Benda Muatan Kapal Tenggelam (BMKT) di perairan Indonesia. Namun, para ahli arkeologi mengkritik kebijakan itu.
Selain terjegal aturan ketat dalam UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, kapal tenggelam juga menjadi bukti keberagaman di Indonesia.
“Jadi, bicara tentang temuan arkeologi bawah laut bukan cuma kapalnya, tapi kebudayaan yang dibawanya,” kata Widya Nayati, pengajar arkeologi maritim di Universitas Gadjah Mada, dalam forum konsultasi pengelolaan BMKT pasca terbitnya Perpres No. 11 Tahun 2021, yang diadakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) via daring, Kamis (18/03).
Indonesia menjadi pusat pertemuan global pada 1480–1650, yang oleh Anthony Reid, sejarawan Australia National University, disebut sebagai age of commerce. Dengan lautnya yang luas dan posisinya yang strategis, banyak kapal bermuatan barang berharga melintasi kepulauan Nusantara.
Baca juga: Kesalahan Memahami Sejarah Maritim
Sehingga tak mengherankan banyak peninggalan arkeologi bawah air di perairan Indonesia. Badan Riset Kelautan dan Perikanan KKP memperkirakan sekira 463 titik lokasi kapal tenggelam di perairan Indonesia. Sedangkan laporan UNESCO mencatat 5.000 kapal tenggelam di Asia Tenggara, sepuluh persennya di perairan Indonesia.
“Kapal tenggelam di lautan Indonesia ini warisan budaya yang menjadikan Indonesia punya budaya bermacam-macam seperti sekarang,” kata Widya.
Fitra Arda, pelaksana tugas Direktur Perlindungan Kebudayaan Kemendikbud, menjelaskan cagar budaya bawah air bukan hanya kapal tenggelam, melainkan semua data arkeologi yang ditemukan di bawah air, baik di laut, sungai, maupun danau. Pun meliputi seluruh aspek hubungan manusia dengan laut, danau, sungai, dan rawa.
“Tak bisa lepas dari konteksnya. Tidak hanya menyangkut teknologi, melainkan juga aspek sosial, ekonomi, politik, dan religi,” kata Fitra.
Misalnya, dari teknologi kapal yang tenggelam bisa diketahui asal-usul kapal itu, apakah milik Tiongkok, Arab, Asia Selatan, Eropa, atau Asia Tenggara. “Dari sisa-sisa muatannya bukan hanya keramik tapi komoditas darat dari tempat-tempat yang disinggahinya,” kata Widya.
Baca juga: Kapal Perang Jerman Karam di Sukabumi?
Dari muatan yang dibawa oleh kapal itu juga bisa diketahui proses transfer kebudayaan dari satu tempat ke tempat lain. Widya menyebut koin Romawi yang ditemukan bersama dengan koin dari Dinasti Han, Tiongkok, di Sungai Brantas.
“Ia kontaknya tak hanya satu jalur, tapi banyak jalur. Saya bisa membayangkan kalau orang sekarang pulang dari Singapura di dompetnya masih ada uang dolar Singapura,” kata Widya.
Di dataran tinggi Dieng, di mana terdapat kompleks percandian Dieng dari abad ke-7-8 M, ditemukan keramik asal Changsha, Tiongkok. Kemudian di Situs Liyangan yang terletak di lereng Gunung Sindoro, Kabupaten Temanggung, juga ditemukan berbagai keramik dari masa Dinasti Tang pada abad ke-9-10 M.
“Artinya, kita tahu pengaruh Tiongkok sudah sampai sana. Bagaimana sampai ke sana?” kata Widya.
Kontak dengan Tiongkok Lewat Keramik
Keramik merupakan komoditas paling digemari masyarakat dunia pada masa lalu. Menurut Listiyani, peneliti Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jambi, dalam “Keramik BMKT Hasil Survei Kepurbakalaan di Kabupaten Belitung”, jurnal Relik No. 06 September 2008, hampir di setiap muatan kapal karam ditemukan keramik dalam jumlah yang tidak sedikit. Umumnya keramik-keramik itu dalam kondisi masih baik. Kendati ada pula yang sudah tidak utuh.
Keramik yang diangkat dari kapal tenggelam kebanyakan dari Tiongkok masa Dinasti Tang hingga Dinasti Qing. Namun, sering juga ditemukan barang-barang keramik dari Thailand, Vietnam, Jepang, dan Eropa.
Baca juga: Investasi Asing dalam Pengangkatan Muatan Kapal Tenggelam
Keramik juga menjadi muatan terbanyak yang ditemukan dalam kapal tenggelam di perairan Cirebon. Dari kapal yang dieksplorasi pada 2005–2007 itu diangkat 314.000 barang, 90 persen adalah keramik utuh dan pecahan.
Menurut Eka Asih Putrina Taim, arkeolog Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, dalam “Keramik Muatan Kapal Karam Cirebon: Sebaran di Situs-Situs Arkeologi Sumatera Bagian Selatan”, jurnal Kalpataru Vol. 25 No. 1, Mei 2016, selain keramik ditemukan juga berbagai jenis benda berharga, seperti perhiasan emas, batuan permata, artefak perunggu berupa arca, cermin dan alat-alat upacara; manik-manik, benda-benda logam dari emas, perak, perunggu, dan besi; serta koin, benda dari kaca, dan kayu.
Eka menjelaskan, dari hasil analisis keramik diketahui hampir seluruh keramik kapal tenggelam di perairan Cirebon berasal dari masa Dinasti Tang Akhir atau periode Lima Dinasti berkuasa pada abad ke-9–10. Sebagian besar keramik itu dibuat di tempat pembakaran (kiln) di Provinsi Zhejiang.
“Zhejiang merupakan pusat dan tempat awal keramik kualitas terbaik diproduksi di Tiongkok, dan telah berkembang sejak 1000 tahun yang lalu,” tulis Eka.
Baca juga: Syarat Pengangkatan Muatan Kapal Tenggelam
Menariknya, dilihat dari bentuk dan teknologi kapal, kapal yang tenggelam di perairan Cirebon itu menunjukkan teknologi yang umum dipakai oleh kapal-kapal di Asia Tenggara. Sehingga kapal itu diduga merupakan kapal Nusantara, bukan kapal Arab, Tiongkok maupun negara lain. Kapal itu diduga kuat adalah kapal penyambung jalur lintas dagang yang membawa muatan dari pelabuhan di Pantai Timur Sumatra ke pelabuhan di utara Jawa pada abad ke-9-10.
“Kita bicara masalah transfer kebudayaan, sehingga di Indonesia saya lihat selintas, saya bisa ngomong oh itu keturunan Arab, Tiongkok, Jepang, India. Itu bukti kebesaran transportasi yang membawa barang dan kebudayaan,” kata Widya.
Narasi Sejarah Bangsa
Masalahnya, menurut Surya Helmi, anggota senior Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) sekaligus anggota Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) dalam diskusi “Nasib Warisan Budaya di Laut dalam Perpres No. 10 Tahun 2021” yang diselenggarakan IAAI Pusat lewat daring, Rabu (10/03), potensi cagar budaya bawah air terancam karena tak kunjung jelas pemanfaatan dan pengelolaannya. Kapal-kapal tenggelam yang menyimpan “harta karun” pengetahuan budaya dan sejarah jika dibiarkan takkan membawa manfaat karena keburu rusak oleh alam atau perburuan ilegal.
Harry Satrio, direktur utama PT. Cosmix Asia sekaligus Sekjen Asosiasi Perusahaan Pengangkatan dan Pemanfaatan BMKT, mengatakan bahwa saat ini pemangku kebijakan menghadapi pilihan sulit. Melakukan pencarian, pengangkatan, dan pengelolaan barang-barang muatan kapal tenggelam membutuhkan dana yang besar.
“Pemerintah punya dana [melakukan pengangkatan dan pengelolaan]? Ini pertanyaan saya. Lalu ke depannya bagaimana? Bagaimana membuat perusahaan tertarik [investasi] tapi bagaimana caranya agar Indonesia tak kehilangan warisan budayanya?” katanya.
Harry prihatin dengan pencurian muatan kapal tenggelam yang masih ada di bawah laut. Dia pernah melihat pengangkatan muatan kapal tenggelam ilegal di Kepulauan Riau. “Kami prihatin sampai detik ini masih terjadi pencurian di Kepulauan Riau, cukong-cukong membeli dari nelayan, terutama akhir pekan,” katanya.
Baca juga: Dilema Pengangkatan Muatan Kapal Tenggelam
Harry Octavianus Sofian, arkeolog Balai Arkeologi Palembang dalam “Benda Muatan Asal Kapal Tenggelam di Situs Karang Kijang–Belitung: Survei Awal Arkeologi Bawah Air”, Jurnal Penelitian Arkeologi Papua dan Papua Barat TH. III No. 1, Juni 2011, mencatat rusaknya Situs Karang Kijang di sebelah barat Selat Gaspar di perairan Pulau Belitung. Situs ini merupakan salah satu situs arkeologi bawah air yang dangkal. Kedalamannya hanya 1,5 m di bawah permukaan laut.
“Karena letak dan kedalaman yang mudah dicapai oleh manusia serta BMKT-nya bernilai ekonomis maka Situs Karang Kijang dijarah, sehingga situs arkeologi ini menjadi rusak,” tulisnya.
Harry mencatat, tinggalan arkeologi yang masih ada di situs itu berupa keramik dengan motif flora, naga, dan kura-kura. Keramik-keramik ini bentuknya mangkuk, buli-buli, dan guci. Sementara menurut nelayan, ada ribuan artefak keramik berupa mangkuk, buli-buli, dan guci utuh yang ditemukan dan dijarah oleh masyarakat.
Karena sudah dirusak, tak diketahui lagi kapal apa yang mengangkut barang-barang itu. “Tidak diketahui pasti kapal kandas yang membawa kargo di Situs Karang Kijang. Apakah kapal China, seperti Situs Tek-Sing, apakah kapal Arab seperti Situs Belitung Wreck, atau kapal Eropa atau Nusantara yang mengangkut kargo keramik China,” tulisnya.
Kendati sudah dirusak, kata Harry, situs ini menjadi bukti arkeologi keganasan Selat Gaspar dengan karangnya yang mampu membuat kapal kandas dan menumpahkan muatannya. Sebagaimana namanya, Karang Kijang yang merupakan penamaan lokal masyarakat setempat, hal ini untuk membedakan letak gugusan karang yang banyak terdapat di perairan Belitung.
Menurut Widya, dari sebuah kapal tenggelam narasi tentang sejarah bangsa yang dibanggakan masyarakatnya bisa ditulis. Indonesia yang memiliki jalur rempah bisa dibuktikan salah satunya dengan muatan-muatan kapal tenggelam. Pun Indonesia yang kini beragam agamanya, DNA-nya, itu karena beraneka macam pula manusia yang datang ke Nusantara menggunakan kapal.
“Kapal yang tenggelam itu hanya sebagian kecil dari cerita. Dari yang tenggelam itu kita bisa merekonstruksi sejarah Indonesia,” kata Widya. “[Kapal] yang tidak tenggelam ya kita tidak tahu ceritanya. Mereka selamat sampai rumah. Cagar budaya itu warisan, kalau mau dijual saya nangis dulu deh, kita belum selesai menulis sejarah kita.”
Tambahkan komentar
Belum ada komentar