Syarat Pengangkatan Muatan Kapal Tenggelam
Mencari nilai ekonomi dari benda cagar budaya tidak harus dengan menjualnya.
Presiden Joko Widodo mengeluarkan Perpres No. 10 Tahun 2021 yang membuka kesempatan bagi investor termasuk asing dalam pengangkatan benda muatan kapal tenggelam. Selain itu, bidang usaha lain di ranah kebudayaan dan sejarah yang masuk dalam daftar terbuka bagi investasi adalah penyelenggaraan museum pemerintah dan jasa pengoperasian wisata peninggalan sejarah dan purbakala, seperti candi, keraton, prasasti, petilasan, dan bangunan kuno.
Sebelumnya, ketiga bidang itu masuk dalam daftar 20 bidang usaha yang dilarang bagi investasi berdasarkan Perpres No. 44 Tahun 2016. Namun, Perpres No. 10 Tahun 2021 merevisinya sehingga hanya enam bidang usaha yang terlarang.
UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya memang memungkinkan pemanfaatan ekonomi warisan budaya dalam air. Namun, ada syarat yang harus dipenuhi.
Baca juga: Investasi Asing dalam Pengangkatan Muatan Kapal Tenggelam
Endang Sumiarni, profesor hukum Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, mengatakan ada tiga poin yang ditegaskan dalam UU No. 11 Tahun 2010, yaitu cagar budaya merupakan kekayaan budaya, aset bangsa dan negara, tetapi ia harus dilestarikan.
“Ini harus kita garis bawahi, cagar budaya itu adalah aset tapi harus dilestarikan,” kata Endang dalam diskusi bertajuk “Nasib Warisan Budaya di Laut dalam Perpres No. 10 Tahun 2021” yang diadakan para ahli arkeologi dari Perkumpulan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) Pusat secara daring, Rabu (10/03/2021).
Endang mengatakan, pelestarian cagar budaya meliputi perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan. Kemudian ada perubahan paradigma dalam pelestarian cagar budaya yaitu dimungkinkan untuk memasukkan kepentingan ekonomi.
“Nah, [kepentingan] ekonomi ini muaranya untuk kesejahteraan rakyat. UU Cagar Budaya tegas mengatur itu,” kata Endang.
Siapapun Bisa Melakukan Pencarian
Menurut Endang, salah satu cara pelestarian cagar budaya adalah penelitian yang dirumuskan dalam Pasal 26 UU No. 11 Tahun 2010. Disebutkan bahwa pemerintah berkewajiban melakukan pencarian benda, bangunan, struktur, dan/atau lokasi yang diduga sebagai cagar budaya. Pencarian cagar budaya atau yang diduga cagar budaya dapat dilakukan oleh setiap orang dengan penggalian, penyelaman, dan/atau pengangkatan di darat dan/atau di air.
“Di situ menggunakan kata pencarian. Pencarian ini ada unsur kesengajaan. Dan pasal itu mengatur pencarian itu kewajiban pemerintah,” kata Endang.
Baca juga: Wacana Pengembalian Benda Jarahan Inggris
Selain kewajiban pemerintah, dalam pasal itu juga disebutkan bahwa setiap orang bisa, tidak harus, melakukan pencarian. Endang menjelaskan, setiap orang yang dimaksud bisa perorangan, kelompok masyarakat, badan usaha tidak berbadan hukum, maupun badan usaha berbadan hukum seperti perseroan terbatas, BUMN, dan koperasi.
“Sehingga pencarian boleh dilakukan baik wajib oleh pemerintah maupun setiap orang. Tapi syaratnya ketat,” kata Endang.
Syarat Ketat
Pencarian atau pengangkatan warisan budaya bawah air wajib menggunakan metode arkeologi sejak menetapkan titik koordinat situs, prosedur pengangkatan, penyesuaian dan perawatan, sampai proses penyimpanan.
Setelah diangkat, benda-benda itu wajib didaftarkan untuk dikaji oleh Tim Ahli Cagar Budaya (TACB). Kajian ini menghasilkan rekomendasi penetapan sebagai benda cagar budaya.
Apabila benda-benda itu telah berstatus cagar budaya, ada dua konsekuensi yuridis yang berlaku padanya. Pertama, jika jumlahnya sedikit dan langka, ia diambil alih oleh pemerintah.
Baca juga: Kisah Benda-Benda Bersejarah Indonesia Dibawa ke Negeri Orang
Kedua, jika negara sudah mengambil benda cagar budaya tetapi jumlahnya banyak, maka sisanya boleh dimiliki atau dikuasai oleh orang lain. “Kalau sudah begitu boleh untuk nilai ekonomi. Tidak ada larangan. Mau diwariskan silakan, mau dijual atau jadi hadiah silakan. Tapi tidak boleh dibawa ke luar negeri,” kata Endang.
Benda-benda hasil pengangkatan bisa dijual ke luar negeri jika hasil kajian TACB menyimpulkan tidak memenuhi kriteria sebagai benda cagar budaya.
Jadi, kata Endang, investor boleh melakukan pengangkatan tapi harus memiliki izin sesuai kewenangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Ketika investor akan melakukan pengangkatan, mereka harus menyiapkan metode penelitian arkeologis dan ada ahli arkeologi di dalamnya untuk melakukan penelitian sampai penyimpanan.
Baca juga: Kasus-kasus Pencurian Benda Koleksi Museum di Indonesia
Setiap peralihan benda cagar budaya wajib melewati perizinan untuk mengetahui mobilitas benda itu. Setiap pemegang benda cagar budaya juga memiliki sertifikat kepemilikan. Dengan sistem registrasi nasional, keberadaan benda cagar budaya bisa terus dikontrol: apakah ia masih eksis, di mana keberadaannya, sudah hilang atau rusak.
Ada konsekuensi pidana jika pengangkatan muatan kapal tenggelam tidak berdasarkan UU No. 11 Tahun 2010. Meski sampai saat ini penegakan hukum bidang cagar budaya sangat lemah.
Menurut Endang, kelemahannya tidak ada Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di setiap instansi pemerintah daerah maupun pemerintah yang berwenang di bidang pelestarian cagar budaya. Padahal, PPNS bisa bergerak cepat bila terjadi pelanggaran untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan.
Bertentangan dengan UU
Perpres No. 10 Tahun 2021 merupakan aturan pelaksana dari UU Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020. “UU Cipta Kerja mengatur begitu banyak hal, sehingga dalam istilah hukum ia bersifat lex generalis,” kata Endang.
Sedangkan UU Cagar Budaya spesifik mengatur cagar budaya sehingga bersifat khusus atau disebut lex specialis. Perubahan tentang UU Cagar Budaya tidak ditemukan dalam UU Cipta Kerja. “Prinsipnya jika ada dua UU yang bertentangan semacam itu yang diberlakukan adalah lex specialis,” kata Endang.
Baca juga: Melindungi Kenangan Kapal Perang
Begitu pula jika terdapat Perpres yang bertentangan dengan UU Cagar Budaya. Dalam kasus ini berlaku prinsip derogasi. Artinya, peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
“Sehingga mari kita bergerak. Mau surat terbuka, menghadap presiden, atau secara legal lewat judicial review, karena Perpres di bawah undang-undang,” kata Endang.
Tidak Harus Dijual
Sementara itu, Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hilmar Farid menegaskan bahwa pemanfaatan ekonomi bagi kesejahteraan rakyat, sebagaimana dijelaskan dalam UU Cagar Budaya, tidak selalu harus dengan menjual benda cagar budaya. Mencontoh pada pengelolaan Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah, kandungan intelektual yang ada padanya bisa menjadi basis pengembangan ekonomi kreatif.
“Bukan tiket masuk yang kita kejar. Saat ini sedang diupayakan badan pengelola untuk Borobudur, pelestarian akan ada di depan tanpa meninggalkan pemanfaatan secara ekonomi,” ujar Hilmar.
Begitu pula dengan pengelolaan benda-benda warisan budaya maritim yang masih tersimpan di bawah laut. Hilmar berharap nantinya akan ada kelembagaan yang solid dan efektif supaya pelestarian bisa berjalan.
“Kami sangat memerlukan pandangan para ahli,” kata Hilmar. “Pemanfaatan ekonomi, saya garis bawahi, bukan urusan jual beli. Jangan di situ mencari nilai ekonomi cagar budaya kita. Jangan ganggu bendanya.”
Tambahkan komentar
Belum ada komentar