Dilema Pengangkatan Muatan Kapal Tenggelam
Dari puluhan pengangkatan muatan kapal tenggelam hanya beberapa yang berhasil. Ribuan benda gagal dilelang dan menumpuk di gudang.
Perbincangan tentang benda cagar budaya bawah air mencuat setelah Presiden Joko Widodo mengeluarkan Perpres No. 10 Tahun 2021 sebagai aturan pelaksana dari UU Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020. Perpres ini memberikan kesempatan kepada investor termasuk asing untuk melakukan pengangkatan benda muatan kapal tenggelam (BMKT).
Selain itu, bidang usaha lain di ranah kebudayaan dan sejarah yang masuk dalam daftar terbuka bagi investasi adalah penyelenggaraan museum pemerintah dan jasa pengoperasian wisata peninggalan sejarah dan purbakala, seperti candi, keraton, prasasti, petilasan, dan bangunan kuno.
Semula ketiganya masuk dalam daftar 20 bidang usaha yang dilarang bagi investasi berdasarkan Perpres No. 44 Tahun 2016. Namun, Perpres No. 10 Tahun 2021 merevisinya sehingga hanya enam bidang usaha saja yang terlarang.
Badan Riset Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan memperkirakan ada sekira 463 titik lokasi kapal tenggelam di perairan Indonesia. Sedangkan laporan UNESCO mencatat 5.000 kapal tenggelam di Asia Tenggara, sepuluh persennya berada di perairan Indonesia. Nilai “harta karun” itu ditaksir mencapai $12,7 miliar dolar atau setara Rp170 triliun.
Baca juga: Investasi Asing dalam Pengangkatan Muatan Kapal Tenggelam
“Pemerintah melalui Panitia Nasional (PANNAS) BMKT diperhitungkan akan dapat bagi hasil dari para investor yang akan melakukan pengangkatan terhadap kapal karam dan muatannya sebagai sumbangan devisa negara,” kata Surya Helmi, anggota senior Perkumpulan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) sekaligus anggota Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) dalam diskusi bertajuk “Nasib Warisan Budaya di Laut dalam Perpres No. 10 Tahun 2021” yang diadakan para ahli arkeologi dari IAAI Pusat lewat daring, Rabu (10/03/2021).
“Kenyataannya dalam catatan sejarah hasil pengangkatan kapal tenggelam yang pernah dilakukan di Indonesia sejak 1985 boleh dikatakan sampai saat ini negara tidak atau belum dapat apa-apa,” kata Surya yang pernah menjabat direktur Direktorat Peninggalan Arkeologi Bawah Air Kemendikbud.
Bukan Untung Malah Buntung
Dari puluhan pengangkatan muatan kapal tenggelam hanya beberapa yang dinilai berhasil. Termasuk pengangkatan muatan kapal Geldermarsen pada 1985 di perairan Karang Heluputan, Kepulauan Riau. Kapal milik VOC itu tenggelam pada 1751.
Pengangkatan itu dilakukan oleh Michael Hatcher, pelaut Inggris yang terkenal sebagai pemburu harta karun kelas kakap. Muatan kapal itu terdiri dari keramik masa Dinasti Qing dan ratusan logam mulia.
Hatcher melelang hasil jarahannya di Amsterdam senilai $17 juta dolar. Negara tidak dapat apa-apa. “Pengangkatan ini ilegal, dilakukan tanpa izin resmi pemerintah,” kata Surya.
Baca juga: Kasus-kasus Pencurian Benda Koleksi Museum di Indonesia
Pengangkatan kapal tenggelam di Situs Batuhitam, Belitung pada 1998, menghasilkan puluhan ribu artefak di antaranya berbagai jenis keramik masa Dinasti Tang, benda-benda logam, kaca kayu, dan gading.
Seluruh artefak itu dilelang senilai $32 juta dolar. Barang-barang itu menjadi milik perusahaan swasta di Singapura, Sentosa Development Corporation dan pemerintah Singapura. “Bagian untuk pemerintah Indonesia juga tak begitu signifikan,” kata Surya.
Pada 1999, perusahaan nasional bekerja sama dengan dua perusahaan dari Singapura dan Australia, melakukan pengangkatan kapal Tek Sing di Selat Gelasa, Bangka Belitung. Kegiatan itu ilegal karena surat izin dari PANNAS BMKT dicurigai palsu. Hatcher diduga terlibat dalam pengangkatan ini. Benda-benda yang didapat sebagian besar keramik berbagai bentuk serta benda logam dan mata uang logam.
Hasil pengangkatan itu tidak dilaporkan ke PANNAS BMKT. Semua benda dimasukkan ke dalam 43 kontainer lalu dikirim ke Australia untuk dikonservasi. Setelah selesai dikonservasi, 36 kontainer dikirim ke Jerman yang kemudian dilelang di Balai Lelang Nagel di Stuttgart, Jerman pada November 2000. Sisanya tujuh kontainer masih berada di Australia.
“Dari hasil lelang di Stuttgart, 1.400 jenis keramik yang dipilih berhasil diperoleh untuk jadi koleksi Indonesia dan sebanyak Rp4,2 miliar masuk ke kas negara,” kata Surya.
Baca juga: Syarat Pengangkatan Muatan Kapal Tenggelam
Pengangkatan kapal tenggelam di perairan utara Cirebon pada 2004 berhasil mendapatkan 500.000 jenis keramik dan beberapa benda logam yang terbuat dari emas, perak, perunggu, besi, kayu, gading, dan timah. Jenis keramik itu berasal dari masa pemerintahan Five Dinasty yang berkuasa di Tiongkok pada abad ke-10.
Benda-benda itu gagal dilelang karena bertepatan dengan disahkannya UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya yang melarang membawa benda cagar budaya ke luar negeri.
“Kompensasinya negara dapat sebagian dari hasil pengangkatan untuk dijadikan koleksi negara,” kata Surya.
Dilema Pengelolaan dan Pemanfaatan
Selain yang dinilai berhasil, kata Surya, proses pengangkatan muatan kapal tenggelam selebihnya hanya menghasilkan puluhan ribu benda, sebagian besar berupa keramik yang tak memiliki nilai komersial dan tak laku dijual. Semuanya bertumpuk di gudang BMKT Cileungsi. Sebagian lainnya tersimpan di gudang penyimpanan para investor yang tersebar di berbagai tempat di Indonesia.
Sedangkan hingga kini belum ada kesepakatan pemanfaatannya oleh instansi terkait yang berwenang. “Puluhan ribu keramik bertumpuk di Cileungsi. Mau diapakan? Saya nggak tahu, kita pikirkan bersama,” kata Surya.
Supratikno Rahardjo, arkeolog Universitas Indonesia, menilai bahwa negara belum siap mengelola hasil pengangkatan muatan kapal tenggelam termasuk mengantisipasi jika proses lelang gagal seperti lelang kapal tenggelam di Cirebon.
“Ada ratusan ribu benda milik negara yang belum siap, titipan investor juga tak tahu bagaimana menanganinya,” kata Supratikno.
Baca juga: Utamakan Nilai Ekonomi, Ancaman Bagi Situs Bersejarah
Surya mengakui, jika potensi cagar budaya bawah air dibiarkan justru tak bisa dimanfaatkan baik untuk ilmu pengetahuan maupun kesejahteraan masyarakat. Dan terancam rusak oleh alam maupun perburuan ilegal.
“Ini adalah kendala yang ada sekarang. Kita melarang tapi kalau pemerintah yang mengerjakan harus menyediakan dana besar dan SDM yang prima,” kata Surya.
Andi Achdian, sejarawan dan pengajar di Universitas Nasional sekaligus anggota TACB Kabupaten Bogor, menambahkan perlunya suatu lembaga yang mengelola secara khusus benda-benda peninggalan arkeologi bawah air. Lembaga itu memiliki kewenangan yang seimbang dengan kementerian yang berkaitan dengan urusan BMKT.
Selama ini, menurut Andi, ada ketidakseimbangan soal perizinan. Perizinan hanya menyinggung peran swasta dan pemegang kebijakan. Sementara pola pikir perumus kebijakan lebih sering melupakan aspek perlindungan dan pelestarian tapi langsung meloncat ke tahap pemanfaatan.
“Tapi jangan lupa harus punya sikap terbuka, apakah kebijakan ini [investasi pengangkatan BMKT] membuka peluang kerusakan atau apakah membuat bisa lebih berkoordinasi dengan berbagai pihak,” kata Andi.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar