Investasi Asing dalam Pengangkatan Muatan Kapal Tenggelam
Pengangkatan benda berharga muatan kapal tenggelam dibuka kembali bagi investor termasuk asing.
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengumumkan pada Selasa (2/3/2021) bahwa investor asing dapat menanamkan modal dalam kegiatan pengangkatan benda berharga asal muatan kapal tenggelam (BMKT). Kegiatan ini menjadi salah satu dari 14 bidang usaha yang dibuka bagi investasi.
Selain pengangkatan BMKT yang sesungguhnya peninggalan arkeologi bawah air, bidang usaha di ranah kebudayaan dan sejarah yang masuk daftar terbuka bagi investasi adalah penyelenggaraan museum pemerintah dan jasa pengoperasian wisata peninggalan sejarah dan purbakala, seperti candi, keraton, prasasti, petilasan, dan bangunan kuno.
Ketiga kegiatan itu awalnya masuk dalam daftar 20 bidang usaha yang dilarang bagi investasi berdasarkan Perpres No. 44 Tahun 2016. Namun, Perpres No. 10 Tahun 2021 merevisinya sehingga hanya enam bidang usaha saja yang terlarang.
Arkeolog Balai Arkeologi Yogyakarta, Agni Sesaria Mochtar, menyayangkan jika keputusan itu akan direalisasikan. “Terlepas dari investor asing atau dalam negeri, yang salah menurut saya di sini adalah tinggalan budaya yang dianggap sebagai bisnis komersial,” kata Agni kepada Historia.id.
Berdasarkan pengalaman, proses pengangkatan yang bertujuan komersial biasanya hanya berorientasi mengambil tinggalan arkeologi dari dasar laut sebanyak-banyaknya dan dalam waktu sesingkat-singkatnya. “Otomatis konteksnya sudah hilang. Banyak sekali informasi, pengetahuan, dan nilai-nilai yang hilang karena rusaknya konteks itu,” ujar Agni.
Ratusan Titik Kapal Karam
Indonesia menjadi pusat pertemuan global pada 1480–1650, yang oleh Anthony Reid, sejarawan Australia National University, disebut sebagai age of commerce. Dengan lautnya yang luas dan posisinya yang strategis, banyak kapal bermuatan barang berharga melintasi kepulauan Nusantara.
Maka, tak heran kalau di perairan Indonesia banyak peninggalan arkeologi bawah air. Agni Sesaria Mochtar mencatat jumlahnya dalam makalah berjudul “In-Situ Preservation sebagai Strategi Pengelolaan Peninggalan Arkeologi Bawah Air Indonesia” dalam Kalpataru: Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 1 (2016). Menurutnya, Litbang Oseanologi mencatat kurang lebih 463 titik kapal karam. Sementara Arsip Organisasi Arkeologi di Belanda mencatat sekira 245 kapal VOC karam.
Arina Hukmu Adila dalam tesisnya di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang berjudul “Pengaturan Pengelolaan Benda Berharga Asal Muatan Kapal Tenggelam di Indonesia Berbasis Cultural Resource Management”, mendata pada 2008 ditemukan 463 titik kapal karam yang tersebar di perairan Indonesia. Dalam dokumen Road Map Pengelolaan BMKT disebutkan potensi ekonomi dari 463 titik BMKT diperkirakan mencapai Rp127,6 triliun.
Agni menjabarkan, titik-titik itu tersebar di perairan Selat Malaka, Selat Bangka, perairan Riau, Selat Gaspar, perairan Belitung, perairan Enggano, perairan Kepulauan Seribu-Selat Sunda, Pelabuhan Ratu, perairan Cilacap-Jawa Tengah, Laut Jawa yang meliputi perairan Karimun Jawa dan Pantai Jepara, Selat Madura-Pulau Kangean, Selat Karimata, Nusa Tenggara Barat-Timur, perairan Arafura, perairan Papua, perairan Morotai-Teluk Kao, perairan Halmahera Tidore-Bacan, perairan Ambon Buru, perairan Teluk Tomini dan perairan Sulawesi termasuk Selat Makassar.
Baca juga: Melindungi Kenangan Kapal Perang
Situs arkeologi bawah air tak hanya kapal karam. Bangkai pesawat dari masa Perang Dunia II juga tersebar di perairan Indonesia Timur, seperti Halmahera Utara dan Maluku Utara.
Kapal karam biasanya memuat komoditas dagang. Berbagai barang muatan seperti keramik, logam mulia, perhiasan emas, hingga koin mata uang kuno menjadi incaran pemburu harta karun.
Ratusan kapal karam di perairan Indonesia menjadi sasaran pencurian. Kasus fenomenal adalah pencurian muatan kapal VOC De Geldermalsen yang karam di perairan Bintan Timur tahun 1986 oleh Michael Hatcher, pemburu harta karun asal Australia. Hasil jarahannya dilelang di balai lelang Christie senilai $17 juta dolar.
Kasus lain adalah pengangkatan kapal tenggelam di perairan Cirebon pada April 2004 sampai Agustus 2005 yang dilakukan PT. Paradigma Putra Sejahtera bekerja sama dengan Michael Hatcher. Sekira 271.381 benda berharga berhasil dilelang pada 5 Mei 2010.
Demi Pendapatan Negara
Pada 1989, pemerintah membentuk Panitia Nasional (PANNAS) BMKT. Panitia ini diketuai Menteri Kelautan dan Perikanan dengan anggota pejabat eselon satu dari kementerian atau lembaga terkait, termasuk dari Kemendikbud (dulu Kemenbudpar) dan Dirjen Kekayaan Negara. Tujuan panitia ini untuk mengontrol kegiatan pengangkatan yang dilaksanakan di perairan Indonesia.
Jose A. Lukito dalam “Peran Ditjen Kekayaan Negara Dalam Penanganan BMKT” di laman Dirjen Kekayaan Negara, menjelaskan bahwa PANNAS melakukan pengelolaan BMKT mulai dari izin survei, izin pengangkatan, pemilihan koleksi negara, penjualan selain koleksi negara, sampai sertifikasi dan pemindahtanganan BMKT baik ke pembeli dalam negeri maupun ke luar wilayah Indonesia jika dimiliki oleh pihak asing.
“Karena dulu orientasinya masih komersial, orang-orang kebudayaan sering kalah suara. Istilah BMKT pun masih jadi perdebatan sampai sekarang antara Kemendikbud dan KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan),” kata Agni.
Selama ini kegiatan pengangkatan muatan kapal karam dilakukan bersama antara pemerintah dan perusahaan. Keppres No. 25 Tahun 1992 mengatur bahwa benda berharga asal muatan kapal yang tenggelam harus dijual di muka umum dengan perantaraan Kantor Lelang Negara atau Balai Lelang Internasional setelah memperoleh persetujuan PANNAS. Hasil penjualannya dibagi dua antara pemerintah dan perusahaan.
Baca juga: Tiga Kali Kapal Ini Celaka di Indonesia
Menurut Ashadi Mufsi Batubara, Ketua Jurusan Arkeologi Universitas Jambi, dalam tulisannya “Perlindungan Cagar Budaya Bawah Air dalam Kajian Analisis Hukum” dalam Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur Vol. 8 No. 1 (2014), saat itu jelas bahwa benda cagar budaya bawah air masih dijadikan lahan pencarian keuntungan.
“Masih dianggap sebagai harta karun menggiurkan bukan sebagai benda warisan budaya yang bernilai sejarah dan ilmu pengetahuan,” tulis Ashadi.
Menteri Keuangan kemudian mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 184/PMK.06/2009 (PMK 184) yang mengatur tata cara penetapan status penggunaan dan penjualan benda berharga asal muatan kapal tenggelam.
Benda berharga dari kapal karam diseleksi oleh Depbudpar untuk menentukan benda koleksi negara (BMN). Yang tak masuk BMN dapat dijual untuk meningkatkan penerimaan negara.
“Jadi hanya BMKT berstatus nonkoleksi negara dan BMKT berstatus selain BMN yang dapat diberikan persetujuan penjualan oleh Menteri Keuangan berdasarkan permohonan dari Menteri Kelautan dan Perikanan,” tulis Jose.
Penjualan BMKT nonkoleksi negara dilakukan lewat lelang melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL). Apabila tiga kali lelang melalui KPKNL tak terjual, Menteri Kelautan dan Perikanan bisa melakukan penjualan lelang melalui balai lelang swasta atau internasional, penjualan nonlelang, atau penjualan dengan cara lain.
Menurut Asyhadi, PMK 184 berpatokan pada UU No. 5 Tahun 1992 yang masih sedikit memperhatikan cagar budaya bawah air. Dalam UU itu, warga negara asing diperbolehkan memiliki atau menguasai benda cagar budaya. Syaratnya benda itu dikuasai secara turun-temurun, jumlahnya sudah banyak, dan sebagiannya telah dikuasai negara. UU itu juga melarang setiap orang membawa benda cagar budaya ke luar wilayah Indonesia tanpa izin pemerintah.
“Dapat juga dilihat bahwa antara UU Cagar Budaya, Keppres No. 25, dan Peraturan Menteri Keuangan justru terkesan tumpang tindih,” tulis Asyhadi.
UU No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya kemudian dicabut dengan keluarnya UU Cagar Budaya tahun 2010. Dalam UU ini, benda muatan kapal karam dilindungi sebagai tinggalan budaya yang terlarang untuk dimiliki negara asing dan atau dibawa ke luar Indonesia. Pasal 14 ayat 1 menyebut bahwa warga negara dan/atau badan hukum asing tidak dapat memiliki dan/atau menguasai cagar budaya kecuali yang tinggal menetap di wilayah Indonesia. Lalu Pasal 68 ayat 1 menegaskan bahwa cagar budaya hanya bisa dibawa ke luar wilayah Indonesia untuk kepentingan penelitian, promosi, dan/atau pameran.
Perlu Tenaga Ahli Berlisensi
Terbitnya UU Cagar Budaya Tahun 2010 ditindaklanjuti dengan langkah moratorium. Sejak 11 November 2011 sampai 2014, PANNAS BMKT memberlakukan moratorium pemberian rekomendasi izin survei dan izin pengangkatan BMKT.
Pada 2014, kebijakan moratorium perizinan survei dan pengangkatan BMKT sempat dihentikan selama enam bulan. Kembali diperpanjang sampai 21 Desember 2016.
Dalam proses revisi Perpres No. 39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal (Perpres Daftar Negatif Investasi/DNI), Menteri Kelautan dan Perikanan mengusulkan agar bidang usaha pengangkatan BMKT yang semula terbuka dengan syarat khusus menjadi tertutup bagi investasi. Alasannya barang-barang dari kapal tenggelam merupakan warisan peradaban dan kebudayaan Indonesia yang harus dijaga dan dirawat untuk keperluan ilmu pengetahuan.
Baca juga: Enam Tragedi Kapal Selam Rusia
Presiden Joko Widodo sempat mengeluarkan Perpres No. 44 Tahun 2016 Tentang Daftar Negatif Investasi yang melarang investasi pengangkatan BMKT. Namun, Perpres No. 10 Tahun 2021 merevisinya sehingga investasi pengangkatan BMKT kembali terbuka termasuk bagi asing.
“Aturan serupa pernah sempat dimoratorium dengan Permen KKP tahun 2016. Dari 2016 belum pernah dibatalkan moratoriumnya, baru sekarang ini ada wacana untuk mengizinkan lagi pengangkatan benda-benda arkeologi dari kapal tenggelam,” kata Agni.
Kepala BKPM Bahlil Lahadalia memastikan pemerintah tak akan mempermudah perizinan investasi pengangkatan BMKT. Namun, pada praktiknya perlu ada kajian ahli terkait status benda tersebut, terutama apakah berstatus benda cagar budaya atau bukan.
Baca juga: Kapal Perang Jerman Karam di Sukabumi?
Agni menilai saat ini koordinasi antara dua kementerian, KKP dan Kemendikbud, sudah jauh lebih baik. KKP pun sudah berorientasi pada pelestarian.
Pada 2018, sudah ditetapkan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) Pengelolaan BMKT. Standar ini ditujukan bagi seluruh komponen termasuk pemerintah. SKKNI memiliki ruang lingkup meliputi perencanaan kegiatan, survei, pengangkatan, dan pemanfaatan baik di lokasi maupun di darat.
“Mestinya orang-orang yang boleh menangani benda-benda arkeologi bawah air hanya yang mempunyai lisensi sesuai SKKNI tersebut, atau memang pakar di bidangnya. Termasuk di antaranya arkeolog, konservator, sampai kurator,” kata Agni.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar