Celaka di Selat Sunda
Bahkan ketika sudah puluhan tahun menjadi kuburan bagi ratusan pelaut yang mengawakinya, kapal AL Australia yang tenggelam Selat Sunda ini tetap tak aman.
ARKEOLOG maritim asal Australian National Maritime Museum (ANMM) James Hunter gundah. Bangkai kapal-kapal perang Dunia II di bawah Laut Jawa dan laut-laut lain di Asia Tenggara terancam bahaya. Mereka bukan terancam oleh alam tapi oleh tangan-tangan jahat pencuri dan penjarah.
Dia tak pernah mengira kejahatan tersebut juga menyasar benda-benda bersejarah (baca: bangkai kapal perang semasa PD II). Setahu Hunter, dulu pencurian dan penjarahan hanya terjadi pada bangkai-bangkai kapal dagang kecil dan sedang.
Hunter baru mengatahui pencurian dan penjarahan terhadap bangkai kapal perang setelah ANMM mendapat info dari komunitas selam Indonesia. “Saya sudah berkecimpung di bidang ini selama 20 tahun, dan saya belum pernah mendengar adanya perongsokan benda bersejarah, terutama lambung baja seberat 8000 ton, benar-benar dicolong. Saya tak bisa mempercayainya. Saya hampir menolak untuk mempercayainya,” ujarnya sebagaimana diberitakan www.theguardian.com.
Dari sekian banyak bangkai kapal perang Australia yang jadi sasaran pencurian, bangkai kapal penjelajah ringan HMAS Perth paling berharga. Namun, ketika Hunter menyelam untuk mengetahui bangkai kapal sepanjang 169 meter itu, dia dibuat ngeri.
Perth merupakan kapal AL Australia yang dibeli dari Inggris pada 1939. Kapal bernama HMS Amphion itu lalu dimodifikasi dan diberi nama baru HMAS Perth. Setelah menyelesaikan tugas di berbagai perairan Eropa dalam Perang Dunia II, Perth kembali ke perairan Australia. Ia lalu bergabung dalam armada ABDA Com (America, British, Dutch, Australia Command) atas permintaan pemerintah Australia. Perth mendapat tugas mengawal konvoi kapal-kapal sipil.
Usai mengawal tiga kapal tanker Australia ke Fremantle, pada 14 Februari 1942 Perth berlayar ke Laut Jawa untuk bergabung dengan squadron kapal perang ABDA guna menghadapi Pertempuran Laut Jawa. Dalam perjalanan menuju markas squadron, Surabaya, Perth tiba di Tanjung Priok 10 hari kemudian dan langsung mendapat serangan pesawat-pesawat Jepang. Karena tak mengalami kerusakan berarti, Perth melanjutkan pelayaran ke Surabaya keesokan harinya.
Pada 26 Februari, Perth bersama dua kapal penjelajah Belanda, sebuah kapal penjelajah berat AS USS Houston, sebuah penjelajah berat Inggris HMS Exeter, dua destroyer Belanda, empat destroyer AS, dan tiga destroyer Inggris berlayar menuju pantai utara Madura guna mencari konvoi kapal Pasukan Invasi Timur Jepang di bawah pimpinan Laksamana Takagi Takeo. Squadron ABDA itu berada di bawah pimpinan Laksamana Muda Karel Doorman, yang berkedudukan di kapal penjelajah De Ruyter.
Lantaran tak menemukan sasaran, kapal-kapal ABDA kembali ke Surabaya untuk mengisi bahan bakar. Saat itulah Laksamana Karel Doorman menginformasikan bahwa armada Jepang sudah terlihat di utara dalam perjalanan menuju Jawa. Doorman memerintahkan mereka untuk segera mencegat.
Pada 27 Februari malam, kapal-kapal Jepang membuka tembakan. Pertempuran Laut Jawa pun dimulai dan berlangsung hingga keesokan harinya. Perth memberi perlindungan kepada sebuah destroyer Belanda yang terkena torpedo. Setelah kapal Belanda itu tenggelam, Perth beralih melindungi HMS Exeter yang terbakar hebat dan akhirnya tenggelam.
Squadron ABDA menghadapi pukulan berat, satu per satu kapalnya tenggelam, termasuk De Ruyter dengan Doormannya. “Pasukan itu tak pernah dilatih bersama sebagai kekuatan terpadu, tak memiliki doktrin dan sistem komunikasi umum, para prajuritnya menderita kelelahan pada hari pertempuran, dan komando tersebut tak pnya apapun untuk menandingi torpedo Long Lance Jepang yang sangat baik. Yang lebih penting, meski Doorman telah meminta dukungan udara, itu tak tersedia,” tulis Spencer C Tucker dalam World War II at Sea: An Encyclopedia, Vol. 1.
Perth dan Houston berhasil melepaskan diri dari pertempuran dan mundur ke Tanjung Priok –meski hal itu menyalahi aturan agar bertempur hingga kapal terakhir. Setelah mengisi bahan bakar, keduanya berlayar ke Cilacap via Selat Sunda. Pukul 19.00 tanggal 28 Perth yang berada lima mil di depan Houston, buang sauh. Keduanya kembali terlibat pertempuran dengan kapal-kapal Pasukan Invasi Barat Jepang di Teluk Banten.
Perth dan Houston memberi perlawanan gigih meski dikepung dari berbagai arah. Perth membuat setidaknya empat kapal transport dan sebuah kapal penyapu ranjau Jepang menemui dasar laut. Ia hanya mengalami kerusakan ringan.
Namun pada tengah malam, persediaan amunisi Perth menipis. Kapten Hector Waller (komandan kapal) memerintahkan Perth segera memasuki Selat Sunda dengan kecepatan penuh dan berbelok ke selatan menuju Pulau Toppers. Nahkoda kurang waspada dengan jalur barunya itu. Akibatnya, Perth kena hantam tiga torpedo Jepang berturut-turut. Sekira lima menit lepas dari permulaan 1 Maret, Perth tenggelam dan meninggalkan Houston sendirian bertempur.
Perth lalu menjadi kuburan bagi 357 awaknya –termasuk Kapten Waller; 320 lain dari total 680 awak Perth selamat dan kemudian ditawan Jepang. Namun, kuburan itu kemudian terusik oleh para pencuri dan penjarah besi tua komersil yang memburu bangkai kapal-kapal perang Sekutu dalam Perang Dunia II.
Dari selusinan kapal Sekutu yang tenggelam, bangkai Perth merupakan yang terakhir diketahui telah dijarah bagian-bagiannya. Baja bahan pembuat Perth dan kapal lain selama PD II punya harga tinggi di pasaran. Bangkai Perth pun hampir ludes, 60-70 badannya telah raib. "Dari rekaman video yang kami miliki terlihat sebagian besar struktur inti kapal sudah hampir semuanya hilang, senjata di menara depan juga sudah tidak ada, begitu juga sebagian besar dek atas kapal itu juga sudah hilang,” ujar Andrew Fock, penyelam ekspedisi pemerhati HMAS Perth, sebagaimana dilansir www.radioaustralia.net.au.
Kondisi itu membuat banyak pihak di Australia geram. “Pencurian bangkai-bangkai kapal untuk tujuan komersil, yang sering menggunakan bahan peledak, membuat para veteran, sejarawan, dan politisi yang ingin melestarikan tempat peristirahatan terakhir para pelaut kecewa,” tulis www.theguardian.com. Mereka bahkan menuduh Canberra menyembunyikan informasi tersebut demi menjaga hubungan bilateral dengan Indonesia.
Pemerintah Australia sendiri kesulitan untuk menyelamatkan bangkai Perth lantaran berada di wilayah perairan Indonesia. Baik Australia maupun Indonesia belum meratifikasi Konvensi Unesco tentang underwater cultural heritage sehingga Perth belum secara resmi ditetapkan sebagai kuburan perang yang dilindungi. Akibatnya, beberapakali penyelaman riset terhadap Perth membuktikan bukan hanya bagian-bagian kapal itu saja yang terus raib tapi juga jasad-jasad para pelautnya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar