Tentara Kolonial dalam Pusaran Masa
KNIL, garda terdepan kolonialis Belanda dalam menguasai Nusantara selama seabad lebih. Perjalanannya berliku.
HARI ini, 25 Juli, 69 tahun silam di kediaman Komisaris Tinggi Belanda Hans Max Hirschfeld. Naiknya Letnan Jenderal (Letjen) Dirk Cornelis Buurman van Vreeden ke podium jadi momen paling ditunggu. Panglima terakhir Koninklijke Nederlands Indisch Leger (KNIL/Tentara Kerajaan Hindia Belanda) itu menyampaikan pernyataan di depan mikrofon lewat dua bahasa –Belanda dan Indonesia– yang menandakan bubarnya serdadu kolonial berusia 120 tahun itu.
Benarkah 120 tahun? Pasalnya, monument KNIL di Bronbeek yang mengabadikan usia KNIL sudah direvisi dari penyebutan kurun waktu 1830-1950 menjadi 1814-1950. Perubahan itu dilakukan setelah muncul hasil riset Letkol (tituler) Willem L. Plink yang meyakini KNIL sudah lahir sejak 14 September 1814, bukan 4 Desember 1830 yang mengacu pada Algemeene Orders voor het Nederlandsch-Oost-Indische Leger dari Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch.
Dikutip dari situs Vrieden van Bronbeek, Plink mendasarkan pernyataannya pada temuan sebuah panji Resimen Van Heutsz bertarikh 1814 di sebuah pameran di Museum Bronbeek. Panji tersebut memuat jahitan bertuliskan “Krijgsverrichtingen Koninklijke Nederlands-Indisch Leger 1816-1950” serta “Korea 1950-1954”.
Plink meyakini resimen itu jadi pendahulu KNIL yang sudah eksis sejak 1814 dan dikirim ke Hindia Belanda (kini Indonesia) dua tahun berselang. Wawan Kurniawan Joehanda, penulis KNIL: Dari Serdadu Kolonial menjadi Republik, menilai perbedaan tahun pendirian KNIL merupakan imbas dari berdirinya Republik Bataaf di Belanda pada 1795.
“Wilayah Belanda saat itu direbut kelompok yang didukung pasukan Prancis yang tak puas dengan sistem monarki yang menyebabkan keluarga kerajaan (Raja William V, red) melarikan diri ke Inggris. Penguasan itu otomatis berimbas juga terhadap daerah koloni yang mulanya dikuasai VOC (Kongsi Dagang Hindia Timur) hingga gubernur jenderalnya saat itu dipegang (Herman Willem) Daendels tahun 1808,” ujar Wawan kepada Historia.
Sampai 1813, lanjut Wawan, memang sudah ada pasukan di Hindia Belanda namun bukan KNIL. Pasukan tersebut semacam legiun asing yang dikumpulkan Belanda untuk jadi garda terdepan VOC. Para serdadunya rekrutan dari Prancis, Jerman, dan negeri-negeri koloni di Afrika.
Pada 1816, terjadi perubahan kekuasaan dari Thomas Stamford Raffles (gubernur jenderal Inggris) ke (Godert) Van der Capellen. Kendati demikian, pemerintahan Hindia Belanda baru kembali didirikan pada 1819. Oleh karena itu, Wawan mengacu tahun pendirian KNIL pada 1830. Begitu pula dengan sejarawan Iwan ‘Ong’ Santosa. “Iya, setahuku memang KNIL tetap resminya berdiri 1830,” kata Iwan.
Garda Terdepan Pemerintah Kolonial
Tahun 1830 dijadikan tahun berdirinya KNIL karena mengacu pada fakta bahwa pasukan tersebut baru berdiri pasca-Perang Diponegoro (1825-1830). Gubernur Jenderal Van den Bosch menyebutnya Oost Indisch Leger alias Tentara Hindia Timur. Pengakuan resmi sebagai bagian dari tentara kerajaan baru dikeluarkan Raja Willem I enam tahun berselang dengan penyematan status “Koninklijke Leger”. Nama KNIL sendiri baru populer pada 1933 setelah dicetuskan Perdana Menteri Hendrik Colijn.
Ia jadi garda terdepan pemerintah kolonial di berbagai konflik, mulai dari Perang Paderi (1821-1845), Perang Aceh (1873-1904) hingga invasi ke Lombok (1894) dan Bali (1908). Perang Aceh merupakan ujian terberat KNIL sebelum Perang Dunia II (PD II).
Kedigdayaan KNIL, yang lalu bergabung dalam Komando ABDACOM, berubah seketika di PD II kala menghadapi Jepang. “Tapi karena ketidaan keseragaman komando dalam berbagai hal, Komando ABDA berantakan,” kata P.K. Ojong dalam Perang Pasifik.
Gubernur Jenderal Hindia Belanda Jonkheer Tjarda van Starkenborgh dan Panglima KNIL Jenderal Hein ter Poorten akhirnya menandatangani penyerahan pada Jepang di Kalijati, 9 Maret 1942. Apakah KNIL serta-merta bubar?
“Menyerah di medan laga Hindia Belanda. Tapi sebagai organisasi militer, KNIL tidak bubar. Lebih dulu ada sejumlah pasukannya yang kabur ke Australia. Kekuatannya dibangun lagi dengan berfokus pada pembebasan Hindia Belanda,” ujar Iwan Ong.
Baca juga: Kelana Opsir KNIL Mencari Manusia Purba
Beberapa perwira KNIL yang lebih dulu kabur antara lain adalah Kapten Simon Hendrik Spoor –yang pada masa Perang Kemerdekaan (1945-1949) jadi panglima KNIL sekaligus panglima tertinggi Tentara Belanda di Indonesia– dan Kapten Buurman van Vreeden. Van Vreeden kemudian jadi wakil Spoor di KNIL dan naik jadi panglima begitu Spoor meninggal.
Dengan berdirinya pemerintahan sipil Belanda (NICA) di bawah pimpinan Hubertus van Mook, kekuatan KNIL kembali dibangun. “Ada juga bantuan lend lease Amerika dan kerjasama Sekutu. Rekrutannya dari eks-Hindia Belanda, dari Suriname, dan ada juga dari Antilles (dua koloni Belanda yang masih utuh),” sambung Iwan.
Sekembalinya NICA ke Jawa membonceng Sekutu, medio Oktober 1945, KNIL mengemban misi untuk menghapus Republik Indonesia (RI) yang diproklamirkan 17 Agustus 1945. KNIL pun menambah personil dari eks-interniran KNIL asal Indonesia Timur. Keganasan KNIL sohor selama Agresi Militer Belanda I (1947) dan Agresi II (1948).
Dipaksa Berkawan dengan Bekas Lawan
Di berbagai perundingan RI dengan Belanda, terutama Konferensi Meja Bundar (23 Agustus-2 November 1949), nasib KNIL turut dibahas. Dalam pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 27 Desember 1949, disepakati para serdadu KNIL, yang ditetapkan akan dibubarkan pada 26 Juli 1950 pukul 00.01, diberi pilihan untuk bergabung ke dalam APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat).
Penyerahan markas besar dan alutsista KNIL dari tiga matra dilakukan dalam sebuah upacara di kediaman Komisaris Tinggi Belanda Hirschfeld pada 25 Juli 1950 malam. Pihak republik diwakili Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) Kolonel TB Simatupang, dan KSAD Kolonel AH Nasution. Peresmiannya ditandai dengan penurunan bendera triwarna Belanda dan digantikan sangsaka merah-putih.
Pagi sebelum resepsi itu, Letjen Buurman van Vreeden ditemani kastaf-nya Mayjen Dirk Reinhard Adelbert van Langen berpamitan ke Presiden Sukarno di Istana Kepresidenan. “Bersama jajaran stafnya, Jenderal Buurman van Vreeden akan langsung berangkat ke Belanda setelah pembubaran resmi KNIL,” tulis De West, 26 Juli 1950.
Di Belanda pun, dihelat upacara pembubaran serupa. Suratkabar Provinciale Drentsche en Asser Courant, 26 Juli 1950, memberitakan upacaranya dipimpin Menteri Zonder Portfolio L. Götzen, ditemani Menteri Perang W.F. Schokking, Sekretaris Kementerian Perang W.H. Fockema, dan perwakilan KNIL Jenderal E. Engles beserta Jenderal J.J Mojet.
Baca juga: Royal Netherlands East Indies Army (KNIL) 1819-1950
Ratu Juliana turut memberi pidato dalam resepsi di Den Haag itu. “KNIL dibubarkan pada 26 Juli 1950. Hari yang mengakhiri kejayaan 120 tahun dalam sejarah. Saya menyadari transisi dari kehidupan militer ke sipil akan berdampak pada kehidupan Anda sekalian. Namun, kini bukan waktunya melihat ke belakang, melainkan ke depan bersama Anda sekalian adalah prajurit yang berani. Namun pemerintah Belanda akan melepas Anda… Bagi yang kembali ke Belanda, kami menyambut Anda kembali. Semoga Tuhan membimbing dan memimpin Anda semua di kehidupan yang baru,” kata Ratu Juliana.
Pembubaran itu mengakibatkan sekira 3.250 serdadu KNIL berkulit putih dipulangkan ke Belanda. Sejumlah 26 ribu serdadu dilebur ke APRIS, dan 18.750 personil lainnya dibebastugaskan meski masih menyisakan 17 ribu yang menunggu penyelesaian.
Banyak mantan serdadu KNIL, terlebih yang berasal dari Indonesia Timur, enggan bergabung dengan TNI lantaran ogah bersanding dengan bekas lawan. TNI merupakan kekuatan inti APRIS, lawan mereka dalam beragam bertempuran sejak 1946.
“Mantan KNIL dari Indonesia Timur merasa beda (prasangka), di mana pihak Jawa dan Indonesia timur masih kuat ketika itu. Yang tidak melebur ke APRIS sementara dikirim ke Papua. Lalu ada beberapa dari mereka yang juga ikut Perang Korea sebagai kontingen Belanda,” sambung Iwan.
Baca juga: Colonial Reserve KNIL 1890-1951
Menurut Wawan, banyaknya eks-KNIL yang enggan melebur ke APRIS lantaran imbas dari berdirinya negara boneka di Indonesia Timur yang belum mau berpisah dari Belanda. “Terbukti mereka membuat pemerintahan sementara Republik Maluku Selatan (RMS) di Belanda. Yang ikut Perang Korea mereka sudah bukan KNIL lagi tapi melebur dengan Angkatan Darat Belanda. Intinya hidup-mati mereka ingin dengan Belanda,” kata Wawan.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar