Masuk Daftar
My Getplus

Cerita dari Lampegan

Kisah sebuah tempat yang menjadi saksi bisu perkembangan kereta api di tanah Jawa. Sempat menjadi rebutan gerilyawan Indonesia dengan tentara Belanda.

Oleh: Hendi Johari | 26 Jun 2019
Terowongan Lampegan. (Hendi Jo/Historia).

SENJA baru saja jatuh di Stasiun Lampegan,Cianjur ketika sebuah lokomotif yang membawa 4 rangkaian gerbong keluar dari mulut terowongan Lampegan. Bak ular besi raksasa, rangkaiannya meliuk-liuk. Sesekali suara klakson-nya berbunyi nyaring, mengingatkan orang-orang yang terlihat masih santai melewati rel di pintu perlintasan.

“Awas! Awas kereta api lewat! Kereta api lewat!” teriak sang penjaga pintu perlintasan.

Secara historis, Lampegan merupakan salah satu perlintasan kereta api tertua di tanah Jawa . Dibuat sekitar tahun 1879. Itu mengacu kepada barisan angka yang tertera di atas pintu terowongan berpanjang 415 meter tersebut. Proses pembangunan dikisahkan sempat menemui kesulitan karena harus menembus Gunung Kancana. Namun setelah bukit besar itu diledakan bagian tengahnya dengan dinamit, pembangunan pun berjalan lancar.

Advertising
Advertising

Baca juga: Terowongan Neyama Romusha

Terowongan Lampegan sebagai penghubung jalur kereta api Sukabumi-Cianjur-Bandung, baru benar-benar rampung dan bisa digunakan pada 1882. Peresmiannya dilakukan oleh para pejabat Hindia Belanda dan menak-menak lokal.

Diceritakan, untuk memeriahkan peresmian tersebut, pada malam harinya pihak jawatan kereta api Hindia Belanda tak lupa mengundang juga Nyi Sadea, seorang ronggeng terkenal di daerah tersebut. Malang bagi Nyi Sadea, usai meronggeng, seseorang mengajaknya pergi dan sejak itu dia tak pernah kembali.

”Katanya dia telah dijadikan tumbal pembangunan terowongan itu,”kata Qadim (95), yang mengaku dapat cerita tersebut dari ayahnya.

Baca juga: Ronggeng Deli, Hiburan Orang Melayu yang Mati Suri

Hilangnya Nyi Sadea bak ditelan bumi memunculkan gossip-gosip beraroma mistis di kalangan masyarakat sekitar. Sebagian masyarakat di sana yakin, perempuan cantik itu telah dibunuh. Konon tubuhnya ditanam di salah satu dinding beton di sebelah dalam terowongan. Arwahnya yang penasaran lalu diperistri oleh Ranggawulung, raja siluman di Gunung Kancana.

Sejak itu menurut Dachlan, tokoh masyarakat setempat, Nyi Sadea sering beredar sebagai mahluk halus yang menjadi penghuni gaib terowongan Lampegan.

"Dia sekali-kali sering menampakan diri di terowongan dalam penampilan perempuan cantik berkebaya merah,"ujar lelaki kelahiran 1957 itu. Entah benar atau tidak, nyatanya hingga kini masyarakat setempat seolah menggenggam erat kisah skandal itu.

Sebelum ada jalur kereta api, kawasan Lampegan hanya dikenal sebagai kawasan Cikancana. Bisa jadi, itu mengacu kepada Gunung Kancana. Lalu dari mana munculnya nama Lampegan? Tak lain itu berasal dari kondektur kereta api yang tiap menjelang terowongan kerap berteriak: "Lampen aan!" yang berarti “nyalakan lampu”. Di telinga orang lokal kata-kata itu seolah terdengar sebagai “lampegan”.

Lepas zaman Hindia Belanda (1942-1945), terowongan Lampegan dikuasai oleh bala tentara Jepang. Yusup Supendi (95) masih ingat bagaimana serdadu Jepang membuat sebuah pos penjagaan yang lumayan kuat di sana. Di akhir kekuasaan bala tentara Dai Nippon, stasiun itu kerap dijadikan sasaran penyerangan para pemuda Indonesia untuk mendapatkan senjata.

Baca juga: Kisah Pembantaian di Cianjur Selatan

”Ini golok Jepang, saya dapatkan dari sana dengan menendang pemiliknya dari atas kereta api ke bawah jurang dekat Lampegan,”ujar Yusup sembari memperlihatkan sebilah klewang kecil yang terlihat usang.

Tentara Jepang pergi, giliran serdadu Belanda menguasai stasiun dan terowongan Lampegan. Dalam biografinya, Untuk Sang Merah Putih, Kolonel (Purn) A.E. Kawilarang mengisahkan bagaimana kawasan tersebut kerap menjadi ajang duel mortir antara TNI dengan KNIL.

Senada dengan Kawilarang, J.C. Princen (eks serdadu Belanda yang membelot ke Divisi Siliwangi) juga menyatakan dirinya pernah bergerilya di wilayah sekitar Lampegan. Sengaja dia berposisi di hutan-hutan dekat Stasiun Lampegan, supaya dia bersama anak buahnya bisa rutin mengganggu para serdadu Belanda yang berpos di Lampegan.

Baca juga: Dirgahayu, Poncke!

Namun dari Stasiun Lampegan pula-lah pada dini hari 9 Agustus 1949, Pasukan Baret Hijau dari KST (Korps Pasukan Khusus Belanda) pimpinan Letnan Henk Ulrichie bertolak ke Cilutunggirang. Misi mereka adalah menghabisi Pasukan Istimewa Yon Kala Hitam pimpinan Letnan J.C.Princen yang dinilai oleh Panglima Tentara Belanda di Jawa Barat Mayor Jenderal E.Engles sangat mengganggu situasi kemananan di jalur tersebut.

“Dalam penyerbuan itu saya kehilangan 12 anak buah dan Odah, istri saya yang sedang mengandung,” kenang Princen kepada saya.

Stasiun dan terowongan Lampegan kini masih aktif dipergunakan untuk jalur kereta api Sukabumi-Cianjur-Sukabumi. Sementara jalur ke Bandung belum bisa dilalui karena ada bagian rel yang rusak parah di sekitar jembatan Sungai Cisokan. Padahal jika dinormalisasi, ada kemungkinan besar para turis (domestik maupun mancanegara) akan berminat datang ke Lampegan. Selain pemandangan alamnya yang sangat bagus dan historis, Stasiun dan Terowongan Lampegan pun hanya berjarak 6 km dari situs megalitikum Gunung Padang yang sedang populer itu.

TAG

transportasi kereta api

ARTIKEL TERKAIT

Insiden Menghebohkan di Stasiun Kroya Sejarah Kereta Malam di Indonesia Masa Lalu Lampu Lalu Lintas Pemilik Motor Pertama di Indonesia Sukarno Bikin Pelat Nomor Sendiri Sejarah Pelat Nomor Kendaraan di Indonesia SIM untuk Kusir dan Tukang Becak Begitu Sulit Mendapatkan SIM Kemacetan di Batavia Tempo Dulu Mula Istilah Kuda Gigit Besi