Masuk Daftar
My Getplus

Batavia Kota Polusi

Pencemaran lingkungan bukan hal baru di Jakarta. Sudah terjadi sejak VOC berkuasa.

Oleh: M. Fazil Pamungkas | 21 Jul 2019
Suasana Jakarta kini dipotret dari atas gedung. (Fernando Randy/Historia).

KAMIS (4/7/2019), Tim Advokasi Gerakan Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta menggugat sejumlah pejabat ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dikutip dari dw.com, diketahui ada 31 orang yang melayangkan gugatan Citizen Law Suit (CLS). Mereka menuntut pemerintah segera membuat kebijakan baru terkait polusi udara di ibu kota yang terus memburuk.

Adapun pejabat yang tergugat dalam kasus ini antara lain: Presiden, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Jawa Barat, dan Gubernur Banten.

Sementara itu sebuah cuitan dari akun @rifandaputri di Twitter menghebohkan jagat maya. Cuitan yang telah 13.000 kali dibagikan itu memperlihatkan perbedaan kualitas udara di Jakarta dan Manado dari atas pesawat.

Advertising
Advertising

“Mungkin selama ini gue ga begitu aware sama perubahan polusi di Jakarta, sampe akhirnya hari ini sepulang dari Manado bener-bener kaget dan jadi merasa insecure banget ternyata udah separah itu polusi udara di Jakarta,” tulis @rifandaputri.

Masalah polusi bukan soal baru di Jakarta. Sudah sejak abad ke-17 pemerintah kolonial Belanda fokus menangangi hal ini. Mereka melakukan banyak perencanaan agar Batavia (sebutan Jakarta waktu itu) terlihat indah, bersih, dan terbebas dari polusi. Meski dalam praktiknya, persoalan lingkungan agaknya sulit diatasi dan terus menghantui masyarakat di Batavia.

Awal Masalah

Sejak pertama didirikan pada 1619, Batavia telah diproyeksikan menjadi basis kegiatan ekonomi Belanda di Hindia Timur. Hanya dalam waktu 10 tahun, kota ini telah membangun pusat-pusat kegiatan produksi dan dihuni oleh 20 ribu orang dari aneka rupa bangsa.

Namun ternyata pertumbuhan itu telah memunculkan permasalahan baru, yakni polusi. Semakin berkembang Batavia, semakin cepat pula polusi ini muncul. Tidak hanya pabrik-pabrik, masyarakatnya pun ikut ambil bagian dalam pencemaran lingkungan di Batavia

Dalam tulisannya, “Urban Pollution in Java 1600-1850” dimuat Issues in Urban Development, Luc Nagtegaal menyebut aktivitas perdagangan internasional yang begitu besar di Batavia telah menyisakan sampah-sampah. Bau tak sedap pun merebak di beberapa sudut kota yang menjadi pusat keramaian industri.

Baca juga: Usaha Awal Melindungi Lingkungan di Hindia Belanda

“Pada 1630, tumpukan sampah di jalan dan kanal Batavia menjadi masalah. Sampah-sampah ini, terutama sekali, terdiri dari abu, batu bata, kapur, daun palem, dan material lainnya. Ini ditambah lagi bangkai ikan dari beberapa pasar.” tulis Luc.

Tidak hanya dari aktivitas dagang dan produksi, kegiatan biologis masyarakat pun turut mencemari kanal-kanal di sana. “Bentuk utama polusi air adalah feses.” lanjut Luc. Batavia kala itu belum menerapkan sistem sanitasi yang baik. Penduduk biasa memakai guci untuk menampung kotoran. Kemudian setelah dirasa perlu dibuang, mereka akan mengalirkannya ke kanal dan kali.

Praktik semacam itu sangat mengganggu mana kala kanal dan kali mampat di musim kemarau. Bau busuk kotoran akan tercium selama berhari-hari hingga aliran kanal kembali lancar. Akibatnya udara di kota pun ikut terdampak.

Sama seperti pencemaran air, polusi udara juga ikut membuat penat penduduk Batavia. Pencemarannya berasal dari pabrik gula, pabrik mesiu, pabrik batu bata, penggergajian kayu, penyulingan arak, dan pabrik kapur. Mayoritas ditemukan di sepanjang kali yang membelah Batavia.

Baca juga: Perdebatan Lingkungan di Volksraad

Bondan Kanumoyoso dalam disertasinya, Beyond the City Wall , menyebut beberapa lokasi pabrik-pabrik gula di Batavia. Ada 16 pabrik gula di Ciliwung, 36 pabrik di sepanjang Kali Sunter, dan 26 pabrik di tepi Kali Peranggrahan. “Jumlah itu bertambah pada 1710, ketika industry ini mencapai kejayaannya,” tulisnya.

Sementara itu pabrik bubuk mesiu dan lainnya telah berdiri sejak 1657 di wilayah pinggiran Batavia. Menurut Luc, dari semua pabrik yang ada, tempat produksi mesiu lah yang paling berbahaya. Zat polutan yang dihasilkan benar-benar sangat beracun.

“Penduduk di kota itu tak tahan lagi. Sebagian besar memilih pindah ke wilayah yang lebih sehat di luar kota,” ucap Luc.

Salah satu sudut Jakarta yang terlihat diselimuti polusi pekat. (Fernando Randy/Historia).

Upaya Penanggulangan

Melihat semakin besarnya dampak dari polusi di kotanya, Pemerintah Tinggi Batavia segera bertindak. Mereka menerapkan hukuman bagi masyarakat yang membuang sampah ke jalan atau kanal.

Pemerintah Batavia juga mempekerjakan sekelompok orang yang bertugas mengangkut sampah. Para pertugas itu akan menyusuri kanal untuk mengambil sampah-sampah di sana. Pada tempat tertentu mereka akan berhenti dan turun dari tongkang, kemudian beranjak ke jalan untuk memungut sampah.

Demi mendukung kerja para petugas pemungut sampah itu, Pemerintah Tinggi Batavia menyediakan tempat sampah di banyak tempat. “Tapi itu tidak menyelesaikan masalah kekotoran di kota,” pungkas Luc.

Cara lain pun ditempuh. Pada 1707, Pemerintah Tinggi mengontrak orang-orang Tionghoa untuk membereskan sampah-sampah ini. Namun keputusan itu malah menambah masalah. Bukannya membawa sampah-sampah itu ke luar kota yang jauh, mereka malah membuangnya ke laut. Kenakalan pekerja Tionghoa itu sudah sering dilakukan dengan dalih mempersingkat kerja. Alhasil pinggiran laut ikut tercemar. Pemerintah pun kembali harus menerapkan peraturan baru, baik untuk masyarakat maupun orang-orang yang bekerja di bawah mereka.

Baca juga: Tarik-Ulur Soal Lingkungan Zaman Kolonial

Kebiasaan masyarakat membuang guci kotoran juga ikut diperhatikan. Sadar akan bahayanya terhadap kualitas air dan udara, pemerintah membuat larangan pembuangan guci sebelum pukul sembilan malam. Sebagai gantinya, pemerintah menugaskan beberapa orang untuk berkeliling mengambil guci-guci kotoran milik penduduk dan membuangnya di tempat penampungan yang jauh dari kota.

Sementara untuk pencemaran udara akibat pabrik, Pemerintah Tinggi Batavia mengatasinya dengan menanam banyak pohon di taman-taman terbuka, kantor pemerintah, dan rumah-rumah pejabat yang berdiri di tengah kota.

Di sepanjang jalan dan kanal juga ditemukan pohon-pohon besar. Jenisnya pun beragam, bahkan sebagian tidak dikenal oleh orang-orang Eropa. “Jalan-jalan dan kanal-kanal ditumbuhi banyak pohon besar di sisinya. Umumnya berasal dari jenis pohon anophyllum, calophyllum, dan calaba. Namun ada juga jenis pohon yang tidak dikenal,” tulis John Joseph Stockdale dalam Island of Java.

Foto ini memperlihatkan jarak pandang yang pendek di Jakarta. (Fernando Randy/Historia).

Hasil yang Didapat

Lantas apakah usaha Pemerintah Tinggi Batavia berhasil? Berdasarkan arsip-arsip pemerintah Belanda, Peter H. Van Der Brug dalam tulisannya, ”Batavia yang Tidak Sehat dan Kemerosotan VOC pada Abad ke-18” dimuat Jakarta-Batavia: Esai Sosio-Kultural, menyebut jika Batavia dilanda sebuah penyakit misterius pada pertengahan abad ke-18.

Anehnya, penyakit tersebut hanya menyerang para pendatang Eropa, termasuk tentara, yang baru satu atau dua tahun tinggal di sana. Tercatat hampir 85.000 orang meninggal dunia. “Ketidaksehatan kota itu, yang begitu mematikan bagi pertumbuhan dan kemakmuran koloni, menghancurkan kepentingan dan keuangan kompeni,” tulis Peter.

Sejalan dengan itu, Charles Walter Kinloch, seorang penulis Inggris, menggambarkan suasana Batavia pada 1852. “Kapal-kapal harus berlabuh dalam jarak yang cukup jauh dari pantai untuk menghindari penyakit yang dibawa oleh angin darat yang buruk, proses pendaratan selalu menjadi hal yang menyulitkan”.

Baca juga: Lingkungan dalam Kungkungan

Tetapi JWB Money, seorang Inggris, memberikan jawaban berbeda yang mengejutkan di dalam catatan pelayarannya, termuat di Jawa Tempo Doeloe: 650 Tahun Bertemu Dunia Barat.

Pada 1858, dia sebenarnya hendak pergi ke Pulau Jawa untuk mencari terapi bagi kesembuhan istrinya. Tetapi perjalanan yang jauh, dari India, membuat ia terpaksa harus singgah di Batavia sebelum melanjutkan misinya menyusuri wilayah Jawa.

Sesampainya di Batavia, Money tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dia terkejut saat menemukan suasana di Batavia jauh dari apa yang pernah dibacanya di buku-buku, bahwa Batavia kota yang kotor.

“Batavia sendiri merupakan salah satu kota terbersih dan tercantik di sana,” tulis Money.

TAG

Lingkungan Polusi

ARTIKEL TERKAIT

Bumi Pertiwi Hampir Mati Ketika Hujan Es Melanda Jakarta Polusi Membunuhmu PLTU Menyumbang Polusi, Waktunya Beralih ke PLTN? Surga Burung Langka Terancam Tambang Emas Kebijakan yang Mengabaikan Lingkungan Pemujaan di Bukit Tandus Setetes Air di Tanah Gersang Yang Terkubur Amukan Merapi Tanaman untuk Penghijauan dari Relief Candi