Masuk Daftar
My Getplus

Pengobatan Nusantara

Pengobatan tradisional mempunyai ruang hidup sejak berabad-abad silam, bahkan tercatat dalam beberapa naskah kuno Nusantara.

Oleh: Hendaru Tri Hanggoro | 23 Feb 2012
Sumber: Sumatera Tempo Doeloe, dari Marco Polo sampai Tan Malaka karya Anthony Reid. Ilustrasi: Micha Rainer Pali.

KEBERLIMPAHAN flora Hindia Timur menarik minat VOC (Vereenigde Oostindische Campaignie) untuk melakukan kajian botani sejak abad ke-17. Kajian ini dimulai bersamaan penjelajahan mereka ke Hindia Timur. Kajian botani penting bagi VOC untuk menggerakkan roda ekonomi perusahaan.

Melalui kajian itu, mereka mengetahui tetanaman yang aman dikonsumsi dan laku di pasaran. Selain itu, mereka harus mengenal tetanaman oba sebagai obat penyakit khas di kepulauan Asia Tenggara, yang jelas berbeda dari penyakit di Eropa.

Dalam “The Making and Unmaking of Tropical Science: Dutch Research on Indonesia 1600-2000” Journal KITLV, Vol. 162 No. 2 (2006), Peter Boomgard, peneliti senior di KITLV, menyebut Georg Everhard Rumpf, seorang naturalis Jerman, sebagai peneliti botani tersohor. Dia bertugas untuk VOC pada paruh kedua abad ke-17. VOC membiayai aktivitas kajian botaninya selama di Ambon. “Dia menjelaskan penggunaan tetanaman yang berguna bagi manusia, termasuk untuk pengobatan,” tulis Boomgard.

Advertising
Advertising

Rumpf dibantu Susanna, seorang penduduk lokal. Hanya sebatas itu keterangan mengenainya. Bantuan penduduk lokal dibutuhkan para peneliti botani Eropa, sebab mereka lebih mengenal tetanaman di Hindia Timur. Tapi keterangan mengenai mereka sangat sedikit. Padahal pengetahuan mereka terhadap tetanaman obat dikenal orang Eropa. Tetanaman obat itu mereka racik tanpa tambahan bahan kimia hingga menjadi ramuan pengobatan atau jamu. Ini menarik minat orang Eropa.

“Orang Eropa juga tertarik dengan pengobatan Timur, sebagai contohnya adalah Rumpf dengan karyanya Herbarium Amboinense,” tulis Peter Boomgard dalam “The Development of Colonial Health Care In Java”, Jurnal KITLV Vol. 149 No. 1 (1993). Catatan Christoforo Borii pada 1633 memperkuat argumentasi Boomgard. Borii menulis, “Obat-obatan mereka tidak mengubah alam, tapi membantunya dalam fungsi alamiahnya, mengeringkan cairan yang menyakitkan, tanpa menyusahkan orang yang sakit sama sekali,” demikian dikutip Anthony Reid dalam Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga. John Crawfurd, pelancong dari Skotlandia, menegaskannya dua abad kemudian. Dia mengakui obat-obatan di Hindia Timur tak berbahaya.

Kekaguman orang Eropa terhadap pengobatan Timur bukan tanpa cela. Mereka tetap menganggap pengobatan Timur tak masuk akal, lebih pada praktik perdukunan dengan penggunaan mantra dan jimat. Menurut mereka, penduduk lokal juga tak punya pengetahuan memadai tentang anatomi tubuh manusia, yang sudah berkembang di Eropa. Karenanya beberapa kerajaan lokal, Mataram misalnya, pernah mempekerjakan ahli bedah VOC pada 1677.

Penduduk lokal belum mengenal pembedahan yang datang dari Eropa sebagai salah satu metode pengobatan. Pengetahuan medis mereka merupakan campuran dari pengetahuan Ayuwerda (India), Tiongkok, dan Arab. Inilah alasan Boomgard tak menyebut pengobatan mereka sebagai pengobatan tradisional melainkan pengobatan Timur, lawan dari pengobatan Barat (Eropa).

Orang Eropa sendiri, meski ada yang kagum, tak cukup puas dengan pengobatan Timur. Ini karena beberapa wabah yang sempat melanda Jawa pada abad ke-17 tak bisa diatasi. Sebaliknya, Boomgard mencatat selama 1800-1940 tingkat kematian di Jawa menurun setelah pengobatan Barat makin dikenal masyarakat Hindia.

Kenyataan ini dipertegas dengan pendirian sekolah medis modern di Batavia pada 1851. Rumah-rumah sehat mulai berdiri. Obat pun segera dibuat secara kimiawi. Vaksinasi cacar diujicobakan dan sukses menanggulangi wabah cacar. Masyarakat perlahan menerima metode pengobatan asing. Sementara itu, kajian pengobatan Timur tak memiliki lembaga resmi meski pengetahuan Ayuwerda terus diturunkan.

Pengetahuan Ayuwerda dominan di Jawa. Awalnya, pengetahuan itu dialihgenerasikan secara lisan. Kemudian, tanpa diketahui pasti kapan mulanya, beberapa kitab obat-obatan India diterjemahkan dan ditulis kembali dalam bahasa Jawa. Dalam Penulisan Sejarah Jawa, C.C. Berg mencatat beberapa naskah Jawa Kuno yang dipercaya merupakan mantra yang dapat mengusir penyakit.

Konsep penyakit dalam masyarakat Jawa tak terbatas pada segi fisik, seperti masuknya kuman tak kasat mata ke dalam tubuh. Penyakit dapat juga berupa gangguan roh leluhur, makhluk gaib, atau tenung dari manusia. Ketidakseimbangan lalu terjadi. Tubuh menjadi panas, lalu seseorang jatuh sakit. Untuk menyembuhkannya tak cukup dengan ramuan tertentu. Upacara khusus (ruwatan) harus dilakukan seperti mengaliri tubuh dengan air yang dibacakan jampi-jampi.

Selain metode pengobatan supranatural, beberapa metode pengobatan Timur yang lebih teknis tersua dalam khazanah naskah kuno Nusantara. Dalam “Kajian Terhadap Naskah Kuna Nusantara Koleksi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia”, Jurnal Makara Sosial Humaniora Vol 8. No. 2 (2008), Dina Nawaningrum menyebut delapan naskah kuno berbahasa Sunda, Jawa, Bali, dan Melayu yang memuat pengobatan dan ramuan tradisional. Sayangnya, tahun terbit naskah tersebut tak diketahui secara pasti.

Gangguan sistem reproduksi seksual dan sistem pencernaan, cacar, asma, dan gangguan jantung teridentifikasi masyarakat Nusantara sejak lama. Bahan obat, kebanyakan dari tanaman, dan cara pengolahannya pun tersua dalam naskah. Di masa modern, pengetahuan itu tersimpan dalam kerapuhan naskah-naskah kuno, di tengah temuan-temuan modern dunia pengobatan. Meski tergerus, pengobatan tradisional masih bertahan.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Sponsor Jersey Timnas Indonesia dari Masa ke Masa Serangkaian Harapan dari Mahkamah Rakyat Pejuang Tanah Karo Hendak Bebaskan Bung Karno Siapa Penembak Sisingamangaraja XII? Roland Garros Pahlawan di Udara Mendarat di Arena Tenis Sejarah Prajurit Perang Tiga Abad tanpa Pertumpahan Darah Ibnu Sutowo dan Para Panglima Jawa di Sriwijaya Mahkamah Rakyat sebagai Gerakan Moral Mencari Keadilan Serdadu Ambon Gelisah di Bandung