Masuk Daftar
My Getplus

Setengah Mitos Bambu Runcing

Bambu runcing dikembangkan semasa pendudukan Jepang. Ia dikenal dengan sebutan takeyari.

Oleh: Hendri F. Isnaeni | 01 Sep 2014
Latihan takeyari pada masa pendudukan Jepang di Indonesia. Foto: Obor Seinendan, 1 Mei 1945.

DALAM suatu wawancara, Jenderal Besar Abdul Haris Nasution ditanya: apakah bambu runcing pernah benar-benar menjadi senjata ampuh perjuangan, atau itu hanya mitos?

“Adalah setengah mitos,” jawab Nasution dalam Bisikan Nurani Seorang Jenderal, “di minggu-minggu pertama merdeka maka rakyat dengan bambu runcing seakan-akan pagar betis menjadi kekuatan untuk memaksa pejabat di kantor, lingkungan, pabrik, dan lain-lain agar taat kepada RI. Tapi, pada pertempuran real, bambu runcing itu lebih banyak jadi senjata semangat.”

Di beberapa daerah, terdapat monumen bambu runcing. Ini melengkapi glorifikasi sejarah nasional yang dibangun Orde Baru bahwa merebut dan mempertahankan kemerdekaan seolah hanya melalui perjuangan bersenjata. Padahal perjuangan politik dan diplomasi juga memainkan peran penting.

Advertising
Advertising

Menurut R.H.A. Saleh dalam Mari Bung, Rebut Kembali!, bambu runcing mulai dikembangkan semasa pendudukan Jepang, yang terkenal dengan sebutan takeyari. Senjata ini digunakan untuk menghadang pasukan payung musuh yang diterjunkan dari udara. Tentara Jepang juga melatih laki-laki dan perempuan cara menggunakan takeyari, yang kalau digunakan biasanya dibarengi teriakan keras dan pekik kemarahan. “Seperti layaknya seorang prajurit dengan senapan yang bersangkur,” tulis Saleh.

Baca juga: 

Pasukan Bunuh Diri Indonesia dalam Perang Kemerdekaan
Cerita dari Museum PETA

Latihan bahaya udara digiatkan terutama ketika Jepang kian terdesak Sekutu. Rakyat dilatih perang-perangan. Sawah-sawah dipasangi bambu runcing untuk merintangi penerjunan tentara musuh.

Namun, bambu runcing pula yang digunakan pejuang Republik untuk menghadapi Jepang. Tak hanya para pejuang dari kelaskaran yang menggunakan bambu runcing. Sebagian besar anggota Badan Keamanan Rakyat (BKR) juga menggunakan bambu runcing. Maklum, setiap kesatuan BKR –menjadi Tentara Keamanan Rakyat pada 5 Oktober 1945– hanya memiliki senjata api tidak lebih dari satu persen, terutama dipegang para komandan.

“Dengan senjata bambu runcing itu, mereka mencari bedil,” tulis Slamet Muljana dalam Kesadaran Nasional Volume 2.

Ini antara lain dilakukan Hizbullah di Magelang ketika menyerbu butai Jepang yang menjadi gudang senjata. Dari sinilah mereka mendapatkan senjata.

“Menyerbu dengan bambu runcing di tangan?” tanya KH Saifuddin Zuhri, dalam otobiografinya Guruku Orang-orang dari Pesantren.

Baca juga: Bambu Runcing Dibilang Pagar

“Ya, dengan bambu runcing!” jawab Kiai Mu’awwam. “Bambu runcing di tangan orang pemberani lebih ampuh daripada mitraliur di tangan orang yang gemetar ketakutan. Jepang dalam keadaan ketakutan menghadapi pemuda-pemuda yang tengah berang dengan tekad ‘mati syahid’.”

Sewan Susanto menjelaskan, karena bambu runcing bermanfaat dan mudah didapat, ia menjadi simbol senjata perang kemerdekaan Indonesia.

“Senjata bambu runcing tidak untuk melawan Belanda secara langsung melainkan merupakan senjata untuk menjaga keamanan oleh rakyat dan untuk latihan bela diri bagi para pemuda di daerah-daerah,” tulis Sewan Susanto dalam Perjuangan Tentara Pelajar dalam Kemerdekaan Indonesia.

TAG

takeyari bambu runcing senjata

ARTIKEL TERKAIT

Bom Fosfor Putih Bukan Senjata Biasa Asal-Usul Pistol Perang Senjata Biologis Serba-serbi Senjata Biologis Gas Air Mata Awalnya untuk Perang Pabrik Senjata di Banten Mengiris Sejarah Pisau Skandal Senjata Era Soeharto Membidik Sejarah Senapan Benarkah Kalashnikov di Balik Lahirnya AK-47?