Setelah mengundurkan diri sebagai asisten residen Lebak, Multatuli mencari kerja namun gagal. Saudaranya, yang sukses berbisnis tembakau, meminjamkan uang untuknya agar pulang dan mencari pekerjaan di Eropa. Istri dan anaknya ditinggalkan di Batavia.
Di Eropa, ia bekerja sebagai redaktur sebuah suratkabar di Brusel, Belgia. Tak lama ia keluar. Usahanya bekerja sebagai juru bahasa di Konsulat Prancis di Nagasaki juga gagal. Mengadu nasib di meja judi justru membuatnya kian melarat.
Cita-citanya sebagai pengarang memberinya jalan. Ketika kembali dari Hindia Belanda, ia membawa berbagai manuskrip seperti naskah sandiwara dan salinan surat-surat ketika ia menjabat sebagai Asisten Residen Lebak. Pada September 1859, ketika istrinya didesak untuk mengajukan cerai, ia mengurung diri di sebuah kamar hotel di Brussel dan menulis buku Max Havelaar, of de Koffie-veilingen der nederlandsche Handelsmaatschappij (Max Havelaar atau Pelelangan Kopi Perusahaan dagang Belanda). Buku itu, yang diedit penerbit tanpa sepengatahuan penulisnya, terbit pada 1860. Sontak, buku itu menimbulkan kegemparan di Belanda. Pada 1875, buku itu terbit kembali dengan teks hasil revisinya. Namanya sebagai pengarang mendapat pengakuan.
Baca juga: 150 Tahun Max Havelaar
Ketika menerbitkan novel Max Havelaar, ia menggunakan nama pena Multatuli. Nama ini berasal dari bahasa Latin yang artinya "aku sudah banyak menderita". Buku itu dijual di seluruh Eropa dan membuka kenyataan kelam Hindia Belanda.
Max Havelaar bukanlah karya satu-satunya Multatuli. Ketika Max Havelaar ditulis, ia menerbitkan karya prosa pertama, Keyakinan, yang menyajikan sikap kepercayaannya dalam bentuk sangat padat. Pada 1861, setahun setelah Max Havelaar terbit, ia menerbitkan Minnerbrieven (Surat-surat Cinta), yang berisi korespondensi dengan Fancy dan Tine. Tine adalah istrinya, sedangkan Fancy perempuan khayalan yang juga model perempuan muda yang ia dicintai. Surat-surat Cinta, meski judulnya tampak tak berbahaya, berisi kritik pedas berbentuk satir. Di dalamnya berisi serangkaian kisah perumpamaan yang cemerlang: sejarah-sejarah tentang kekuasaan dan dongeng-dongeng.
Ia juga menerbitkan Ideën (Ide-ide) antara tahun 1862 dan 1877. Kepada penerbitnya, ia menulis: "Saya akan menyampaikan kisah-kisah, cerita-cerita, sejarah-sejarah, kisah-kisah perumpamaan, catatan-catatan, kenangan-kenangan, paradoks-paradoks...Saya harap akan ada idenya dalam setiap kisah, dalam setiap keterangan, dalam setiap catatan itu. Jadi namakanlah karya saya itu: Ide-ide. Hanya itu. Dan tulis di atasnya: 'Seorang penabur benih pergi ke luar untuk menabur'."
Baca juga: Jalan Multatuli Menuju Lebak
Di dalam Ideën terdapat fragmen-fragmen Woutertje Pieterse dan naskah drama Vorstenschool (Sekolah Raja-raja). Woutertje, dalam Woutertje Pieterse, yang pada dirinya dapat kita jumpai kembali sifat-sifat Eduard muda, adalah seorang pemuda yang berbakat dan perasa yang selalu berada dalam konflik dengan lingkungannya yang picik dan munafik, termasuk keluarganya sendiri. Sekolah Raja-raja mengupas hubungan antara raja dan rakyatnya. Naskah drama ini meraih sukses ketika dipentaskan.
Ada juga kisah yang mengingatkan kita pada masa tatkala Multatuli menjadi kontrolir di Sumatra Barat dalam Pengadilan Sulaiman.
Ketika menulis naskah drama, ia tinggal di Wiesbaden, Jerman. Ia tak punya uang, tak punya pekerjaan. Uang pensiunannya tak tersisa. Ia pun terkucil dari masyarakat. "Ia jadi gembel, saat berusia 48 tahun, di Jerman…setiap malam, ia makan kacang dari tanah. Dia jadi seperti barang rongsokan," ujar Tom Böhm, dosen sejarah sastra, sebagaimana dituturkan kepada Junito Drias dari Radio Nederland Wereldomroep, 2 Maret 2010.
"Di jalan…dia menukar Alkitab dengan buku roman kepahlawanan, pembela orang miskin. Ini menjadi tanda sejak kecil…dia peduli dengan masalah ketidakadilan," ujar Tom Böhm.
Baca juga: Nasib Sukarno Lebih Tragis dari Multatuli
Sejak 1877, ia tak lagi menerbitkan karya-karya baru. Selama beberapa tahun, ia masih melakukan perjalanan secara teratur dari Jerman, negeri tempatnya menetap, ke Belanda untuk mengemukakan pendirian-pendiriannya melalui ceramah-ceramah. Pada akhir hayatnya, ia lalui bersama istri keduanya, Mimi dan anak angkatnya, Wouter di rumahnya, yang diperolehnya sebagai hadiah dari para sahabat dan pengagumnya, di Ingelheim am Rhein dekat Sungai Rhein sampai akhirnya meninggal 19 Februari 1887.
"Dia mengidap penyakit asma dan meninggal saat tidur di kursi sofa," kata Tom Böhm.
Multatuli meninggalkan gagasan yang abadi. Di Belanda, Max Havelaar bahkan menjadi lambang bahan pangan yang dihasilkan dan dijual guna membantu perekonomian produsen kecil.