Masuk Daftar
My Getplus

Gubernur Jawa Barat di Tengah Badai G30S

Bagaimana situasi Jawa Barat saat dan sesudah terjadinya Insiden Gerakan 30 September 1965.

Oleh: M. Fazil Pamungkas | 02 Okt 2020
Gubernur Mashudi. (Perpusnas RI).

Kabar terbunuhnya enam perwira tinggi Angkatan Darat pada subuh 1 Oktober 1965 di Jakarta begitu menggemparkan. Seluruh daerah di Indonesia seketika memanas. Keadaan di Jawa Barat, yang secara geografis bersebelahan dengan Jakarta, tidak luput dari situasi tersebut. Tapi sedikit banyaknya keadaan di wilayah Pasundan masih bisa dikendalikan aparat dan pejabat setempat. Hampir tidak ada tindakan-tindakan agresif berskala masif seperti menimpa Jawa Tengah, Jawa Timur, hingga Bali.

Namun rupanya ketika peristiwa 30 September itu terjadi, Gubernur Jawa Barat Mashudi sedang tidak bertugas. Dia diketahui tengah berada di Peking (Tiongkok) dalam rangka lawatan kenegaraan sebagai anggota MPRS. Mashudi bersama anggota MPRS lain, serta sejumlah perwira tinggi militer menghadiri undangan Perayaan Hari Nasional Tiongkok 1 Oktober di Lapangan Tiananmen.

Baca juga: Tuntut PKI Membubarkan Diri

Advertising
Advertising

Kabar dari tanah air baru diterima Mashudi pada saat perayaan berlangsung. Perdana Menteri Chou En-Lai mengatakan kepada rombongan bahwa di Jakarta telah terjadi penggulingan pemerintah oleh kelompok yang menamakan diri Dewan Revolusi. Dewan yang menurut Victor M. Fic, dalam Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi Tentang Konspirasi, memiliki fungsi “pembersihan” atas unsur-unsur penghalang kekuasaan baru pasca peristiwa 30 September.

Dikisahkan Nina H. Lubis dalam “Tatar Sunda di Guncang Konflik Sosial Politik” dimuat Malam Bencana 1965 dalam Belitan Krisis Nasional Bagian II: Konflik Lokal, Mashudi dan rombongan, yang seharunya tiba di tanah air pada 2 Oktober, sempat tertahan di Tiongkok karena penerbangan ke Jakarta ditutup. Namun pada 4 Oktober, atas bantuan Raja Norodom Sihanouk, mereka bisa kembali ke Indonesia melalui Phnom Penh, Kamboja. Tiba di Kemayoran, rombongan langsung dibawa ke Markas Kostrad guna mendapat penjelasan. Malamnya, Mashudi segera berangkat ke Bandung.

“Mashudi, sebagai perwira tinggi AD, merasa terpukul dengan kematian Jenderal Ahmad Yani, atasannya, yang juga sudah dianggap saudara dan teman seperjuangan,” tulis Nina. “Para jenderal korban Lubang Buaya lainnya, ternyata juga kakak dan adik kelas sewaktu Mashudi menempuh pendidikan di AMS-B Yogyakarta.”

Baca juga: Ahmad Yani, Jenderal Brilian Pilihan Sukarno yang Berakhir Tragis

Pada 5 Oktober, Mashudi mengadakan rapat pimpinan. Panglima Siliwangi Mayjen Ibrahim Adjie turut hadir dan memberi penjelasan terkait peristiwa yang sebenarnya terjadi di Jakarta. Dia mendapat informasi langsung dari Mayor Ali Rachman dari Batalion 328 Kodam VI Siliwangi, yang sebelum malam 30 September telah berada di Jakarta untuk mengikuti parade perayaan Hari ABRI 5 Oktober.

Sang gubernur, imbuh Nina, pun merasa bersyukur karena para pimpinan di Jawa Barat tidak mengeluarkan pernyataan terkait dukungan kepada Dewan Revolusi. Hanya daerah Kuningan yang diketahui mencoba membentuk Dewan Revolusi Daerah sehingga bupatinya diamankan demi mencegah kegaduhan di Jawa Barat. Di Kuningan dan sekitarnya, berdasar data dalam Politik Tanpa Dokumen karya Muhidin M. Dahlan, keberadaan simpatisan PKI memang cukup besar.

“Selanjutnya Gubernur Jawa Barat Brigjen TNI Mashudi mengeluarkan serangkaian tindakan yang berkaitan dengan aparatur pemerintahan. Mashudi secara maraton mengadakan rapat-rapat dengan para bupati/kepada daerah dan walikota. Ia langsung pula membuat pernyataan: mendukung pemerintah dan mengutuk Dewan Revolusi,” ungkap Nina.

Melalui Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Provinsi Jawa Barat No. 149/X/B.IV/HUK/PENG/65 tanggal 26 Oktober 1965, Mashudi memberhentikan sementar waktu delapan anggota PKI yang duduk dalam DPRD-GR. Mereka adalah Suharna Affandi, Abbas Usman, Akhmad Suganda, Enok Rokhayati, Mustofa, Cece Suryadi, Sukra Prawira Sentana, dan Suhlan Sujana.

Baca juga: Pembersihan PKI di DPRD Yogyakarta

Pada 2 November 1965, Mashudi kembali mengeluarkan Instruksi Gubernur Kepada Daerah Jawa Barat No. 211/Staf/T.U/65 tentang Pengamanan dan Pembersihan Aparatur Negara/Daerah dari unsur-unsur G30S. Di dalam instruksi itu gubernur menindak secara administratif aparatur daerah yang dicurigai terlibat PKI. Mereka dibedakan menjadi beberapa klasifikasi, sesuai dengan keterlibatan di dalam G30S, yaitu: golongan yang aktif/pasif ikut terlibat PKI; golongan yang dicurigai terlibat peristiwa G30S; golongan yang mendapat hasutan sehubungan dengan peristiwa G30S; golongan yang menghilang setelah peristiwa G30S; dan golongan yang meski tidak terlibat G30S, instansinya terindikasi terlibat.

Bagi aparatur yang terbukti terlibat dalam peristiwa G30S, Mashudi memerintahkan walikota/bupati, serta pimpinan daerah tingkat 2 seluruh Jawa Barat untuk melakukan penahanan. Kemudian selama di dalam tahanan mereka akan diberikan indoktrinasi mengenai ideologi negara, juga diberikan pekerjaan yang bermanfaat.

“Selanjutnya, Pangdam Mayjen Ibrahim Adjie mengeluarkan surat keputusan atas usul Gubernur Mashudi bahwa PKI di Jawa Barat sudah bubar. Menurut Mashudi, pimpinan PKI di Jawa Barat menyadari bahaya yang mengancam mereka, yaitu kalau-kalau terjadi tindakan penghakiman yang dilakukan rakyat seperti yang terjadi di Jawa Tengah dan Jawa Timur sehingga mereka membubarkan diri,” tulis Nina.

TAG

pki g30s mashudi

ARTIKEL TERKAIT

Eks Pemilih PKI Pilih Golkar Melawan Sumber Bermasalah Sudharmono Bukan PKI D.N. Aidit, Petinggi PKI yang Tertutup Suami-Istri Cerai Gara-gara Beda Partai Eksil, Kisah Orang-orang yang Terasing dari Negeri Sendiri Abdoel Kaffar Ingin Papua dan Timor Masuk Indonesia Hubungan Jarak Jauh Pierre Tendean Ketika Nama PKI Diprotes Mohamad Gaos Sangat Keras