Masuk Daftar
My Getplus

Basuki Tjahaja Purnama dan Pidato Sukarno

Mengutip pidato Sukarno, Basuki Tjahaja Purnama meminta pendukungnya tidak golput. Pilihlah partai politik yang teruji dan berkomitmen pada Pancasila.

Oleh: Hendri F. Isnaeni | 17 Jan 2019
Surat Basuki Tjahaja Purnama dari Mako Brimob (17/1) yang mengutip pidato Presiden Sukarno. (IG basukibtp)

Basuki Tjahaja Purnama (BTP) mengunggah surat terbaru di akun instagramnya (17/1). Surat ini dibuat untuk merespons rencana pendukungnya yang akan menyambut hari kebebasannya di Mako Brimob pada 24 Januari 2019. Dia meminta agar rencana itu diurungkan.

“Saya bebas tanggal 24 Januari 2019, adalah hari Kamis, hari orang-orang bekerja. Jalanan di depan Mako Brimob dan di depan lapas Cipinang adalah satu-satunya, jalan utama bagi saudara-saudara kita yang mau mencari nafkah. Saya sarankan demi untuk kebaikan dan ketertiban umum bersama, dan untuk menolong saya, sebaiknya saudara-saudara tidak melakukan penyambutan apalagi menginap,” tulis BTP.

Berikutnya BTP mensyukuri penahanannya dan meminta maaf kepada Ahokers, para PNS DKI, dan para pembencinya, atas segala tutur kata, sikap, perbuatan, yang sengaja maupun tidak sengaja menyakiti hati dan perasaan. Dia juga meminta setelah bebas dipanggil BTP bukan Ahok.

Advertising
Advertising

Di halaman kedua, BTP mengimbau seluruh Ahokers tidak golput pada pemilu dan pilpres 2019. “Kita perlu menegakkan 4 pilar bernegara yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI dengan cara memilih partai politik yang mau menegakkan 4 pilar di atas di seluruh Indonesia. Kita harus mendukung agar di DPRD-DPRD dan DPR RI maupun DPD RI memiliki jumlah kursi yang mencapai di atas 30% untuk partai yang teruji dan berkomitmen pada Pancasila,” tulis BTP.

Baca juga: Cerita di balik peringatan hari lahir Pancasila yang pertama

Terkait harapannya itu, BTP mengutip pidato Presiden Sukarno dalam buku Revolusi Belum Selesai: Kumpulan Pidato Presiden Soekarno 30 September 1965–Pelengkap Nawaksara (10 Januari 1967) karya Budi Setiyono dan Bonnie Triyana, halaman 694-695.

“Saudara-saudara, Pancasila adalah jiwa kita, bukan hanya jiwaku. Tetapi ialah jiwa Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Dan selama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia berjiwa Pancasila, insya Allah Swt., engkau akan tetap kuat, tetap kuat dan sentosa. Tetap kuat dan sentosa. Tetap kuat dan sentosa menjadi tanduk daripada banteng Indonesia, yang telah kita dirikan pada tanggal 17 Agustus 1945…, engkau adalah penegak daripada Pancasila. Dan setialah kepada Pancasila itu, pegang teguh kepada Pancasila, bela Pancasila itu. Sebagaimana aku pun berpegang teguh kepada Pancasila, membela Pancasila, bahkan sebagaimana kukatakan lagi tadi, Saudara-saudara laksana panggilan yang aku dapat daripada Atasan untuk memegang teguh kepada Pancasila ini.”

Kutipan ini merupakan pidato Sukarno pada Hari Ulang Tahun Angkatan Bersenjata Republik Indonesia di Parkir Timur Senayan, Jakarta, 5 Oktober 1966.

Pidato itu salah satu dari 103 pidato Sukarno selama dua tahun (1965-1967) yang berasal dari arsip Sekretariat Negara dan telah diserahkan kepada Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Pidato-pidato yang tak banyak diketahui orang itu ditemukan oleh Bonnie Triyana, saat itu mahasiswa sejarah Universitas Diponegoro (Undip), ketika sedang riset untuk skripsinya, pada Februari 2003. Dia sedang mencari arsip tentang pembunuhan massal anggota PKI di Purwodadi, Jawa Tengah.

Baca juga: Purwodadi: skandal pertama Orde Baru

Menurut laporan majalah Tempo, No. 34/XXXII/20–26 Oktober 2003, naskah pidato Sukarno itu berada di ANRI sejak awal 1970-an. Semuanya disimpan dalam kotak-kotak yang dibungkus karung. ANRI baru mengolahnya pada akhir tahun 1994 karena banyaknya dokumen yang harus diurus dan keterbatasan dana.

Bonnie kemudian mengajak seniornya di Undip, Budi Setiyono, yang saat itu menjadi wartawan dan editor buku, untuk membukukan kumpulan pidato Sukarno. Mereka meminta dukungan dari sejarawan Asvi Warman Adam dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Aiko Kurasawa dari Jepang, dan Jaap Erkelens dari Belanda.

Menurut Budi, sebagaimana dikutip Gatra, edisi 42, 29 Agustus 2003, proses pembuatan buku ini sekitar enam bulan. Mereka memilih 103 pidato dan mengetiknya menjadi sekitar 2.000 halaman. Mereka membayar sepuluh tukang ketik selama sebulan.

Budi dan Bonnie kemudian mengeditnya dari bahasa Indonesia ejaan lama ke ejaan yang disempurnakan. Asvi membantu menerjemahkan kata-kata bahasa Prancis yang digunakan Sukarno. Sedangkan Jaap Erkelens menerjemahkan kata-kata bahasa Belanda.

Pada Agustus 2003, buku itu diterbitkan dua jilid oleh Masyarakat Indonesia Sadar Sejarah (Mesiass) dengan dukungan dari Yayasan Adi Karya Ikapi dan Ford Foundation. Buku itu diluncurkan oleh Soegeng Sarjadi Syndicated di Hotel Regent, Jakarta. Hadir sebagai pembahas Asvi Warman Adam, Nurcholish Madjid, Eep Saefulloh Fatah, Adi Sasono, dan Eros Djarot.

Buku itu diawali dengan pidato Sukarno di acara Musyawarah Nasional Teknik di Istora Senayan, Jakarta pada 30 September 1965, dan diakhiri dengan pidato pelantikan/pengambilan sumpah beberapa duta besar pada 15 Februari 1967.

Dalam pengantarnya, Asvi menyebut pidato-pidato Sukarno itu sangat berharga sebagai sumber sejarah. Dia mengungkap berbagai hal yang ditutupi bahkan diputarbalikkan selama Orde Baru. Dari pidato itu juga tergambar betapa sengitnya peralihan kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto. Terlihat pula kegetiran seorang presiden yang ucapannya tidak didengar lagi oleh para jenderal yang dulu sangat patuh kepadanya.

“Komando dan perintahnya tidak dimuat oleh surat kabar. Ucapannya dipelintir. Sukarno marah bahkan sangat geram. Dia memaki dalam bahasa Belanda, bahasa yang dikuasainya sampai kosakata caci-makinya,” tulis Asvi.

Baca juga: Cerita menyedihkan akhir hayat Sukarno

Kehadiran buku itu disambut antusias. Hanya dalam beberapa bulan, buku yang dicetak 1.500 eksemplar itu habis. Namun, cetakan kedua baru diterbitkan pada 2005 oleh Mesiass berkerja sama dengan Penerbit Ombak, Yogyakarta. Sembilan tahun kemudian diterbitkan ulang oleh Penerbit Serambi, Jakarta. Terbitan inilah yang dibaca dan dikutip oleh BTP di Mako Brimob.

TAG

Sukarno Pancasila

ARTIKEL TERKAIT

Problematika Hak Veto PBB dan Kritik Bung Karno Guyonan ala Bung Karno dan Menteri Achmadi Pejuang Tanah Karo Hendak Bebaskan Bung Karno Rencana Menghabisi Sukarno di Berastagi Supersemar Supersamar Yang Tersisa dari Saksi Bisu Romusha di Bayah Kemaritiman Era Sukarno Obrolan Tak Nyambung Sukarno dengan Eisenhower D.I. Pandjaitan Dimarahi Bung Karno Anak Presiden Main Band