BULUTANGKIS bukanlah olahraga yang digemari Lius Pongoh, pebulutangkis era 1980-an, ketika kanak-kanak. Lius kecil yang bercita-cita menjadi tentara, justru menggemari kungfu, karate, hingga taekwondo.
“Tapi enggak kesampaian. Jadinya paling hanya bisa nonton film (kungfu) saja. Saya paling senang film-filmnya Bruce Lee dan Chen Lung (Jackie Chan),” ujarnya kepada Historia.
Sayang, ayahnya, Darius Pongoh, kurang mendukung cita-cita Lius menjadi atlet olahraga beladiri. Darius kekeuh ingin menyalurkan energi masa muda Lius di olahraga tepok bulu. Lius pun masuk PB Tangkas sejak usia delapan tahun hingga akhirnya masuk Pelatnas PBSI pada 1979.
Postur Lius yang tak terlalu tinggi untuk ukuran pemain bulutangkis membuatnya berlatih lebih keras dari para kompatriotnya. Namun, kegemarannya pada Bruce Lee dan Chen Lung menginspirasi Lius untuk mengadaptasi gerakan-gerakan kungfu Lee dan Lung ke ke dalam latihan-latihannya saban hari.
“Sering saya ikuti. Kalau pinggangnya mau kuat, sit up-nya digantung di pohon nangka. Itu saya masih ingat betul. Sit up digantung di pohon dengan tambahan beban kantong berisi pasir yang dibikinkan papa saya,” kenang Lius.
Untuk urusan penguatan bagian kaki, Lius menggenjot fisiknya dengan membantu ibunya, Kartin Pongoh, berdagang di pasar. “Saya kan anak lelaki, harus bisa bantuin bawa ember yang lebih besar dari badan saya. Harus bisa saya angkat biar kuat kaki saya,” sambungnya.
Dampak Meniru Bruce Lee
Sial bagi Lius, latihan-latihan ala Bruce Lee ternyata lebih banyak negatifnya ketimbang manfaatnya. “Jadi rontok pinggang dan lutut saya,” kata Lius.
Akibatnya, Lius terpaksa absen dua tahun dari Pelatnas PBSI lantaran terkena cedera pinggang. “Ya karena itu. Latihan saya kurang pintar, modalnya hard (latihan keras), harusnya kan smart (latihan cerdas).”
Baca juga: Saat PBSI dikomando jenderal rangkap jabatan
Cedera itu membuat Lius mencoba beragam pengobatan, medis hingga pengobatan alternatif seperti akupunktur atau urut Cimande. Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) juga membantu dengan mengirim Lius memeriksakan cederanya ke Jerman.
“Sampai dua minggu saya diobservasi di Jerman, lalu dikasih dua pilihan. Mau operasi dengan dipakaikan metal di pinggang saya tapi dampaknya jadi pergerakan tidak lentur. Atau tidak operasi dan pengobatan biasa. Tapi konsekuensinya sewaktu-waktu bisa kambuh,” lanjutnya.
Lius pilih opsi kedua. Ketika sudah sedikit pulih, dia mulai latihan pelan-pelan dengan ayahnya. Lius comeback ke Pelatnas pada 1984. Meski mengurangi porsi latihan keras sebagaimana sebelumnya, Lius tetap mampu tampil ciamik di Indonesia Open 1984.
Lius juara setelah di final mengalahkan rival yang dikenal tak kalah ulet darinya – Hastomo Arbi. “Suatu kebanggaan juga mengalahkan dia, salah satu pahlawan Thomas Cup 1984. Hastomo juga pemain yang gigih. Punya footwork yang enteng. Pukulan yang bagus,” tutur Lius.
Sejatinya bukan hanya Hastomo yang tersingkir gara-gara keuletan Lius. Selain Liem Swie King di perempatfinal, jagoan Denmark Morten Frost Hansen juga disisihkannya di semifinal.
Keuletan Lius di turnamen itu membuatnya dijuluki “Si Bola Karet”. “Julukan yang menggambarkan bagaimana ringan langkah kaki Lius yang terus bergerak layaknya bola yang melenting ke sana kemari. Bola-bola yang di mata orang lain akan sulit dikembalikan, di tangan Lius, sesulit apapun ternyata biasa diatasi,” tulis Broto Happy Wondimisnowo dalam Baktiku Bagi Indonesia.
Baca juga: Lius Pongoh persembahkan gelar juara Indonesia Open 1984 untuk mendiang ibunya
Namun, Lius akhirnya harus mengaku kalah pada cedera lutut. Meski mengaku masih bisa bermain, ayahnya menganjurkannya untuk pensiun. Lius gantung raket pada 1988.
“Ya ayah saya juga bilang bahwa kasih saja kesempatan orang lain di Pelatnas. Sampai sekarang cedera di pinggang juga tidak sembuh. Berdiri kelamaan tidak enak, duduk kelamaan juga tidak enak. Ya konsekuensi jadi atlet,” tutupnya.