Masuk Daftar
My Getplus

Jenderal Belanda Tewas di Aceh

Serangan pertama Belanda ke Aceh berakhir dengan kegagalan. Panglima pasukannya tewas.

Oleh: Hendri F. Isnaeni | 16 Apr 2022
Mayjen J.H.R. Kohler, panglima pasukan Belanda dalam Perang Aceh pertama, yang tewas ditembak tentara Aceh. (The Dutch Colonial War in Aceh).

Belanda khawatir Aceh jatuh ke tangan negara Barat lain setelah melihat Aceh mengadakan hubungan dengan konsul-konsul Amerika dan Italia. Sultan Aceh juga mengirim utusan ke luar negeri untuk mencari bantuan senjata dan dukungan politik sebagai persiapan menghadapi kemungkinan serangan Belanda.

Pada 18 Februari 1873, Menteri Jajahan Van de Putte atas nama pemerintah Belanda menginstruksikan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda James Loudon di Batavia agar penyerangan ke Aceh dapat segera dimulai. Loudon mengadakan sidang khusus Dewan Hindia Belanda membahas teknis pelaksanaan penyerangan.

Ditetapkan Wakil Ketua Dewan Hindia Belanda, F.N. Nieuwenhuyzen sebagai Komisaris Pemerintah untuk Aceh, dan Mayor Jenderal J.H.R. Kohler, komandan teritorial Sumatra Barat, sebagai panglima ekspedisi militer pertama ke Aceh.

Advertising
Advertising

Baca juga: Aceh, Turki, dan Rusia

Menurut Paul van ‘t Veer dalam Perang Aceh: Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje, Kohler dianggap orang yang tepat. Dia sudah lama sibuk mengumpulkan keterangan militer tentang Aceh. Bahkan, dia telah menghitung di atas kertas berapa banyak pasukan yang diperlukan untuk ekspedisi yang mungkin dilakukan.

“Kohler adalah orang self-made (pribadi mandiri dan selalu melakukan segalanya seorang diri, red.). Masa Pemberontakan Belgia sempat masih dialaminya sebagai kopral. Berangsur-angsur dia naik dalam Tentara Hindia Belanda menjadi kolonel; untuk ekspedisi Aceh ini pangkatnya dinaikkan menjadi mayor jenderal. Operasi ini akan merupakan gerakan militer terbesar yang pernah diikutinya sebagai perwira,” tulis Van ‘t Veer.

Baca juga: Snouck Hurgronje dalam Kemenangan dan Kegagalan di Aceh

Kohler didampingi Kolonel E.C. van Daalen sebagai komandan kedua. Mereka menghimpun kekuatan pasukan tiga batalion dari kota-kota garnisun di Jawa. Di samping itu, satu batalion barisan Madura, pasukan bantuan di bawah pimpinan perwira Eropa.

Van ‘t Veer mencatat, tidak mudah menghimpun keempat batalion itu ditambah kavaleri dan artileri. Seluruhnya berjumlah tiga ribu orang, sekitar seribu orang tamtama dan bintara Eropa dan 118 orang perwira. Ditambah seribu orang pekerja paksa (narapidana) sebagai tukang pikul. Dalam ekspedisi ini juga terdapat 220 orang perempuan Indonesia sebagai tenaga kerja dapur dan teman tidur serdadu-serdadu Jawa dan Ambon, menurut ketentuan ekspedisi tradisional delapan orang setiap kompi; dan tiga ratus orang pelayan perwira, dua orang pelayan bagi setiap perwira, dan sisanya personel kantin.

Perang Aceh Pertama

Dalam Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh disebutkan, pada 22 Maret 1873, kapal Citadel van Antwerpen yang membawa Nieuwenhuyzen telah berlabuh di perairan Bandar Aceh Darussalam. Dia mengirimkan surat kepada sultan Aceh agar mengakui kedaulatan Belanda. Surat balasan sultan Aceh tidak menyinggung apa yang diinginkan Belanda. Karena itu, surat kedua Nieuwenhuyzen menegaskan lagi suratnya yang pertama. Tetapi jawaban sultan Aceh tetap pada pendirian tidak dapat memenuhi ajakan Belanda.

Baca juga: Belanda Mengganggu Kemerdekaan Aceh

Sikap tegas sultan Aceh membuat Nieuwenhuyzen menyatakan perang pada 26 Maret 1873. Alasannya Aceh telah bersalah melanggar perjanjian niaga, perdamaian, dan persahabatan yang dibuat pada 30 Maret 1857 antara Aceh dan pemerintah Hindia Belanda.

Pagi berikutnya kapal Citadel van Antwerpen melepaskan tembakan meriam ke arah sebuah benteng berpasir. Perang telah dimulai. Para pejuang Aceh terpaksa mengundurkan diri dan meninggalkan kuta (benteng pertahanan) yang terletak di pantai yang segera jatuh ke tangan pasukan Belanda. Kendati demikian, kapal Citadel van Antwerpen terkena dua belas tembakan meriam artileri Aceh.

Kohler dan pasukannya tiba pada 5 April 1873. Pendaratan pasukan mengakibatkan sembilan orang tewas dan 46 orang luka sebagian besar karena serangan kelewang.

Baca juga: Marsose dari Eropa sampai Perang Aceh

“Rencana perang Kohler sederhana. Akan didirikan sebuah pangkalan di sekitar muara sungai Aceh, dan dari sini mereka maju menuju keraton, kediaman sultan, sekaligus ibu kota. Begitu pusat pemerintahannya dikuasai, Aceh pasti akan menyerah,” tulis Van ‘t Veer.

Tetapi di mana tepatnya letak keraton, mereka tidak tahu. Para perwira hanya tahu dari Buku Saku Ekspedisi Aceh bahwa keraton adalah sebuah tempat yang luas dan besar, yang terdiri dari berbagai kampung, dengan banyak sawah, lapangan, kebun kelapa, serta kira-kira 6.000 jiwa yang bermukim. Dalam kenyataannya tempat sultan bersemayam paling-paling hanya beberapa ratus orang penghuninya dan letak bangunannya lebih ke sebelah sana sungai.

Masjid Raya Baiturrahman di awal abad ke-20. Di sebelah kanan tampak pohon Kohler (Kohlerboom), tempat tewasnya Mayjen J.H.R. Kohler, panglima pasukan Belanda pada Perang Aceh pertama. (Nationaal Archief).

Ketika mencari keraton pada 11 April 1873, Kohler menemukan sebuah benteng yang semula diduga adalah keraton: ruang yang dikelilingi tembok dengan beberapa bangunan di dalamnya. Ternyata benteng itu bukan keraton, tetapi sebuah masjid, yang mati-matian dipertahankan bagaikan sultan sendiri yang bersemayam di sini.

Buku Sejarah Nasional Indonesia: Kemunculan Penjajahan di Indonesia yang disusun oleh Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia, menyebutkan bahwa mula-mula datang kira-kira satu peleton serdadu Belanda mencoba mendekati Masjid Raya Baiturrahman. Sekira 40 orang pasukan Aceh menyerangnya sehingga mereka mundur kembali. Belanda menyerang lagi dengan pasukan yang lebih besar. Masjid diserbu dan dikepung. Pasukan Aceh melawan dengan gigih sampai perkelahian satu lawan satu. Karena kuatnya pertahanan laskar Aceh, serbuan Belanda itu menemui kegagalan.

Baca juga: Pesan Ratu Victoria Terkait Perang Aceh

Kohler kemudian memerintahkan anak buahnya menembakkan peluru api ke arah masjid. Api berkobar di atap masjid yang terbuat dari ijuk. Dinding-dinding masjid yang terbuat dari kayu juga terbakar. Pasukan Aceh terpaksa meninggalkan masjid. Masjid itu pun diduduki oleh pasukan Belanda pada 14 April 1873.

Menurut Van ‘t Veer, masjid itu ditembaki hingga terbakar dan dapat direbut dengan kerugian berat. Tetapi pada hari itu juga Kohler menyuruh meninggalkan benteng itu, karena menurutnya pasukan terlalu letih untuk dapat bertahan dalam posisi yang begitu terancam. Orang Aceh pun segera menduduki masjid itu dengan sorak kemenangan.

Baca juga: Hubungan Aneh Belanda-Aceh

Penarikan mundur itu merupakan tindakan yang keliru, hingga tiga hari kemudian Kohler terpaksa memerintahkan pasukannya merebut kembali kompleks bangunan itu dengan menderita kerugian besar. Dengan demikian, mestinya orang bisa meragukan pandangan strategis seorang panglima tertinggi yang mula-mula menduduki kubu musuh, lalu meninggalkannya, dan kemudian menyuruh menaklukkannya lagi.

“Dia sendiri merupakan korban dalam kekeliruan ini. Ketika berdiri dalam kubu itu pada 14 April 1873 sebutir peluru menembus dadanya dan menewaskannya,” tulis Van ‘t Veer.

Baca juga: Van Heutsz, Pahlawan di Belanda Penjahat di Aceh

Sementara itu, Sejarah Nasional Indonesia menyebut Kohler tewas ditembak seorang prajurit Aceh ketika sedang berjalan untuk memeriksa masjid yang direbutnya. Masjid akhirnya menjadi pusat pertahanan Belanda. Dengan jatuhnya masjid itu, kekuatan pasukan Aceh dipusatkan untuk mempertahankan istana Sultan Mahmud Syah.

Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh menambahkan bahwa pasukan Aceh yang menewaskan Kohler dipimpin oleh Teuku Imam Lueng Bata.

Makam Mayjen J.H.R. Kohler, panglima pasukan Belanda dalam Perang Aceh, di Peucut, Banda Aceh. (Wikimedia Commons).

Gagal dan Mundur

Kematian Kohler membuat pasukan Belanda kehilangan semangat. Penggantinya, Kolonel Van Daalen tidak ditinggali suatu rencana perang apa pun. “Kohler sama sekali tidak pernah menceritakan apa-apa kepadanya,” tulis Van ‘t Veer.

Pada 16 April 1873, dua batalion menyerang keraton. Pertempuran sengit terjadi karena pasukan Aceh mati-matian mempertahankan istana. Kekuatan Aceh begitu besar sehingga Belanda tidak mampu menembusnya dan terpaksa mundur kembali ke masjid. Dalam pertempuran di sekitar istana itu, sembilan perwira dan 116 serdadu Belanda tewas. Pasukan Aceh lain juga berhasil memukul mundur Belanda sehingga kembali ke pantai.

Baca juga: Mitos dan Fakta Kolera di Aceh

“Usaha Belanda untuk mematahkan perlawanan rakyat Aceh ternyata tidak berhasil. Serbuan Belanda yang pertama menemui kegagalan,” tulis Sejarah Nasional Indonesia.

Malam itu juga Van Daalen mengadakan sidang dewan di medan perang. Para kolonel umumnya berpendapat harus mengundurkan diri. Nieuwenhuyzen minta diberi kuasa kepada Gubernur Jenderal di Batavia untuk memerintahkan ekspedisi kembali. Kuasa diperolehnya pada 23 April 1873. Dua hari kemudian pasukan masuk kapal dan kembali ke Batavia.

Baca juga: Upaya Belanda Mengalahkan Aceh

Van ‘t Veer mencatat, dari tiga ribu pasukan, empat perwira dan 52 orang bawahan tewas, 27 orang perwira dan 41 orang bawahan luka. Jadi, total korban hampir lima ratus orang dari tiga ribu tentara Belanda. Itulah kerugian Perang Aceh pertama yang bolak-balik perjalanannya belum sampai memakan waktu enam minggu.

Sementara Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, menyebut di pihak Belanda jatuh korban delapan perwira dan 37 bawahan mati, 405 orang luka-luka (termasuk 32 orang perwira) yang kemudian 30 orang di antaranya mati. Sedangkan di pihak Aceh diperkirakan jatuh korban sebanyak 900 orang mati.

“Usaha yang gagal," tulis Van ‘t Veer. "Namun, berdasarkan kebiasaan masih dibentuk panitia penyambutan di Batavia."

TAG

aceh

ARTIKEL TERKAIT

Thomas Nussy versus Anak Cik Di Tiro Kopral Roeman Melawan Teungku Leman Sejumput Kisah Sersan Baidin Sersan Zon Memburu Panglima Polim Di Masa Revolusi Rakyat Aceh Menerima Pengungsi Sebelum Sersan Pongoh ke Petamburan Darlang Sang "Radja Boekit" Meninggal di Meja Bedah Tewasnya Kapten "Sakti" Paris Ganden Sang Ksatria Fotografer Bersaudara dalam Perang Lombok dan Aceh